Kolaborasi Wisata & Pertanian, Melirik Potensi Usaha di Pangandaran, Ciamis
dilaporkan: Setiawan Liu

Sementara menunggu kondisi pulih dari pandemi covid, beberapa pelaku usaha terus memburu peluang sektor pertanian. Beberapa komoditas yang sempat diproyeksikan untuk peluang usaha, antara lain porang, kapulaga (sejenis rempah). Kartika mengaku bahwa kakek dan neneknya asli Pangandaran, dan sempat mewariskan tanah puluhan hektar. “Sebelumnya, status tanah sporadic. Sekarang, (tanah) sudah bersertifikat hak milik. Pemerintah kasih sertifikat gratis beberapa bulan yang lalu. Kondisi sporadic, karena masyarakat claim (kepemilikan tanah) ‘ini tanah saya’. Sekarang, minimal kami panen kelapa setiap tiga bulan. Kalau harga sedang bagus, Rp 2000 per buah. Petani bisa terima Rp 6 juta per tiga bulan,” kata Kartika.
Di tempat berbeda, Kang Mumu asli Pangandaran mengamini rencana Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil untuk proyeksi sentra perkebunan dan sayur-sayuran di Jawa Barat. Selain, Pangandaran juga terus dibenahi untuk menyongsong geliat wisata di masa new normal pandemi covid. Roda perekonomian terutama di daerah diyakini harus tetap berputar meski belum sekencang dulu. “Saya asli Pangandaran, menikah dengan orang Ciamis. Sekarang, saya beraktivitas di Ciamis, tapi emosinya tetap pada Pangandaran. Terutama wisata pesisir dan kuliner khas pantai Pangandaran jauh lebih bagus dibanding Ciamis. Banyak wisatawan dari luar negeri surfing. Tapi kedua-duanya juga potensial untuk usaha pertanian,” Mumu mengatakan kepada Redaksi.
Di beberapa kecamatan di Ciamis, terdapat sekitar 200 hektar milik petani. Selain, ada 300 hektar tanah milik Perum Perhutani (Badan Usaha Milik Negara). Sebagian dikelola masyarakat yakni Kelompok Tani Hutan. Sehingga prospek bisnisnya, terkait dengan sektor pertanian, skema kerjasamanya sewa kelola. “Misalkan ada investor mau budidaya porang, kapulaga di atas lahan seluas-luasnya, sebaiknya bekerjasama dengan kelompok tani hutan. Ada sekitar 280 anggota kelompok yang bisa menyesuaikan permintaan pasar. Tentunya, mereka harus mendapatkan hak berupa upah kerja,” kata alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Shalahuddin Al Ayyubi Jakarta Utara.
Kelompok Tani tersebut lebih banyak bergerak budidaya kapulaga. Kondisi keringnya saja, (kapasitas produksi di Ciamis) mencapai 60 ton. Sentra produksi tersebar di tiga desa, yakni Pasawahan, Kalijaya, Kalijati. Ketiganya ada di Kecamatan Banjarsari. Ketiga desa tersebut terus diincar para eksportir dan perusahaan manufacturing kapulaga. “Tahun ini, harganya tinggi untuk ekspor tahun ini yakni Rp 43 – 48 ribu per kilo dengan kondisi basah. Kondisi kering (kapulaga), harganya Rp 60 ribu. Prosesnya dari basah menjadi kerinng; 10 kilo menjadi dua kilo. Tergantung permintaan importir di Jazirah Arab, Eropah. Tetapi pengepul ekspor dulu ke Tiongkok, lalu (Tiongkok) kelola serta ekspor ke Arab, Eropah,” kata Mumu.
Tiongkok berhasil menciptakan nilai tambah kapulaga asal Ciamis dan Garut. Importir di Jazirah Arab, Eropah mengenal kapulaga dari Tiongkok, bukan dari Indonesia. Kendatipun kondisi kapulaganya agak kehitam-hitaman, atau kondisi kurang bagus, tapi bisa diolah perusahaan di Tiongkok. “(hasilnya) menjadi bagus.” Selama ini, kapulaga hanya dihasilkan di Ciamis dan Garut. Satu musim menghasilkan 62 ribu ton kering. Itu yang paling banyak. Kabupaten Garut berkontribusi (produksi) lebih banyak karena penanamannya 700 – 1000 meter di atas permukaan laut. Karena kapulaga ditanam pada dataran tinggi. “Masa panen selama delapan bulan, masa tanam satu tahun dan sudah berbuah,” kata Mumu. (sl/IM)















