Kisah MengIndonesiakan Paksa Anak Timor Leste (1)


Sepanjang periode 1975 hingga 1999, tatkala Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia, ribuan anak Timor Leste dibawa ke Indonesia dengan kapal.  Mereka diangkat menjadi anak oleh keluarga-keluarga tentara. Ada yang dititipkan ke panti asuhan hingga pesantren.

Disertasi doktoral Helene van Klinken di University of Queensland, Australia, yang diterbitkan menjadi buku Making Them Indonesians, Child Transfer Out of East Timor pada 2012, mengungkapkan di Indonesia mereka “dipaksa” berasimilasi dengan Indonesia.   Tempo melakukan penelusuran terhadap anak-anak tersebut, yang kini telah dewasa dan menemukan kembali keluarga aslinya.  Berikut tulisan pertama dari enam tulisan yang disajikan disini.

Kisah anak-anak keturunan Aborigin yang diambil dengan paksa dari keluarganya membekas kuat di benak Helene van Klinken, 66 tahun, seorang peneliti sosial. Tatkala dia kecil, ibunya yang menjadi relawan di permukiman kaum Aborigin di Cherbourg, Queensland, Australian, sering menceritakan kisah ‘Stolen Generations’. ‘Stolen Generations’ adalah julukan bagi anak-anak Aborigin dan anak-anak orang Kepulauan Selat Torres yang banyak menghuni panti asuhan. Mereka dibawa oleh institusi pemerintah federal dan pemerintah pusat Australia, juga oleh misi gereja, pada periode 1909 hingga 1969.

Bayangan penderitaan anak-anak Aborigin itu muncul kembali ketika Helene bertugas di Timor Leste pada 2003. Kala itu ia menjadi relawan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste (Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste, CAVR).

Ia mendengar pengakuan langsung dari orang tua yang kehilangan anaknya. Helene juga mendapat laporan dari banyak saksi mata yang  melihat bagaimana anak-anak Timor Timur (sebutan Timor Leste saat masih menjadi bagian dari Indonesia) dimasukkan ke peti besar oleh tentara Indonesia lalu diangkut kapal yang akan pulang ke Indonesia.

“Peti itu diketuk-ketuk dari dalam,” kata Helene di ujung telepon saat dihubungi ke kediamannya di Leiden, Belanda. Mereka dimasukkan ke peti agar dianggap sebagai barang bawaan untuk menghindar pemeriksaan polisi militer karena tentara dilarang mengangkat anak (yatim piatu) tanpa ada surat yang ditandatangani oleh bupati. (Baca:Jejak Pelanggaran HAM Hambat Wiranto-Prabowo )

Sebenarnya, informasi mengenai pemindahan anak-anak Timor Timur yang masih di bawah umur ke Indonesia sudah didengar Helene tiga tahun sebelumnya saat ia bekerja di Yogyakarta. Ketika itu ia bertemu dan mewawancarai bekas tenaga bantuan operasional (TBO) bernama Antonio asal Manatuto yang diselundupkan oleh seorang kopral ke Ambon pada 1980. Namun pengaduan dari banyak orang tua saat ia berada di Timor Leste itulah yang menyadarkan Helene bahwa pada rentang waktu dari 1975 hingga 1999 pemindahan tersebut bersifat sistematis.

Dari situlah Helene kemudian menyusun temuannya untuk dijadikan disertasi doktoralnya di The School of History, Philosophy, Religion, and Classics University of Queensland di Brisbane, Australia. Helene meraih gelar doktor pada 2009.

Disertasi itu kemudian diterbitkan oleh Penerbit Universitas Monash menjadi buku setebal 212 halaman berjudul Making Them Indonesians, Child Transfer Out of East Timor, pada 2012. Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia pada Januari lalu menerbitkan edisi bahasa Indonesia dengan judul Anak-anak Tim-Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam.

Penelitian Helene tentang pemindahan anak-anak Timor Timur ke Indonesia ini menemukan adanya kesejajaran dengan pencerabutan anak-anak Aborigin dari keluarganya di Australia, praktek yang baru berhenti pada akhir dasawarsa 1960. Meski tidak identik, menurut Helene, ada kesamaan tujuan politik dan ideologi dalam upaya pemindahan itu. Di Timor Timur, pelaku pemindahan adalah perorangan, lembaga dan institusi negara seperti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan institusi keagamaan.

“Gramedia langsung mau ketika saya tawari buku itu,” kata Helene mengenai buku setebal 354 halaman dan berukuran lebih kecil daripada edisi aslinya yang diluncurkan pada 12 Januari lalu itu di Jakarta.

Dian Yuliastuti | Purwani Diyah Prabandari (Jakarta) | Sri Pudyastuti Baumeister (Stuttgart) 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

33 thoughts on “Kisah MengIndonesiakan Paksa Anak Timor Leste (1)

  1. pengamat
    March 16, 2014 at 11:23 pm

    banyak anak timor yang sudah sukses jadi artis di Indonesia.

  2. james
    March 17, 2014 at 1:11 am

    lebih banyak anak Timor yang diculik, yang jadi artis itu bukan yang diculik Indonesia, belum termasyk anak Papua juga diculik ke Indonesia, jadi banyak sekali kasus Penculikan maka tidak mustahil bila Pesawat MH-370 juga diculik Teroris ke Indonesia, nah ini Bukti Nyata bahwa Meliter Indonesia melakukan Penculikan dengan menggunakan Pengiriman secara Dalam Peti Kemasan, kisah ini tidak sama dengan Aborigin di Australia karena di Australia masih dalam Lingkungan Lokal, jadi sejak dulu Persolan Timor Leste itu Indonesia bertindak Kejam diluar Hukum dan Melanggar HAM, maka tidak heran dulu di Timor Leste Penduduk sebanyak lebih dari 500.000 orang menjadi Korban Kekerasan Meliter Indonesia, itu Bukti Kenyataan buka hanya cerita

  3. pengamat
    March 17, 2014 at 1:37 am

    Australia justru jauh lebih kejam kepada orang aborigin.

  4. james
    March 17, 2014 at 4:59 am

    Tidak Sekejam Indonesia

  5. pengamat
    March 17, 2014 at 5:36 am

    semua orang juga tahu, kalau ” white guy” paling kejam sedunia.

    1. james
      March 18, 2014 at 12:30 am

      yang jelas dan terbukti selama ini Terroris bukan White Guy, titik bukankoma

      1. pengamat
        March 18, 2014 at 1:45 am

        banyak juga westerner yang jadi teroris akhir2 ini.

        1. james
          March 18, 2014 at 6:04 am

          Westener hanya perorangan yang sakit jiwa. itu bukan Teroris !!! jangan dicampur baur antara Teroris dan Orang Sakit Jiwa, kalau Teroris itu sakit jiwa karena dicuci otak oleh Agama dan pahamnya, kalau Perorangan/Individu itu dikarenakan sakit jiwa dalam tubuhnya/pikirannya sendiri bukan kelompoknya seperti Kelompok Teroris

        2. pengamat
          March 18, 2014 at 11:24 pm

          agama orang westerner yang menyebabkan mereka sakit jiwa lalu meneror membabi buta.

      2. james
        March 18, 2014 at 11:28 pm

        yang sakit jiwa itu justreru karena Tidak Beragama, sedang di Indonesia yang ngaku 90% beragama Islam/Muslim kok banyak kejadian yang Kesurupa nah itu Buktinya kan beragama Islam malah sering kena Kesurupan, nah loh !!!

  6. Pandova
    March 17, 2014 at 6:03 am

    Penilaian orang Australia macam ini hanya sepihak dan hanya sebatas pandangannya sendiri saja. Serta hanya untuk mendapatkan jutaan dolar dari tulisannya saja. Kalau dia memang menilai secara obyektif kenapa tidak menulis tentang kekejaman Amerika, Inggris, Belanda dalam penjajahannya di beberapa negara ini. Terus mana komentarnya saat pesawat Amerika Drone menembaki orang-orang yang belum tentu menjadi sasaran targetnya. Pasti pesawat itu membabi buta menembaki sesuatu yang bergerak dan mempunyai darah tanpa bisa memilih sasaran target yang sebenarnya. Doktor macam ini hanya ingin terkenal dan ingin mendapatkan jutaan dolar dari pemesannya saja.

  7. khairul+anwar
    March 17, 2014 at 11:40 am

    Tahun ini dan pada beberapa bulan kedepan merupakan tahun dan bulan politik di Indonesia kita rakyat Indonesia jangan mau terjebak dengan skenario-skenario pihak asing yang berusaha mempengaruhi rakyat ini melalui berbagai cara terutama lewat berbagai media (media elektronik dan cetak).Kita rakyat Indonesia harus tahu hampir 90% media-media massa skala international yang dikuasai oleh Barat dijadikan alat untuk menghegemoni dunia dan alat propaganda serta alat untuk mendukung agenda -agenda mereka di Indonesia.Bahkan media -media massa Nasional baik yang berafiliasi dengan asing maupun tidak ,baik secara sadar maupun tidak sadar ikut mengekor atau mengikuti irama dan skenario yang mereka ciptakan.
    Jadi tulisan saudari “Helene van Klinken”yang diualas di media Tempo dan media ini maupun media nasional kita lainya,jangan lantas membuat kita marah,terheran-heran,kaget . Apa sebab?..Sebabnya adalah seperti tulisan saya diatas ini tahun &bulan politik di Tanah air kita,penulisan dan penerbitan suatu berita atau artikel bukanlah tanpa sebab dan “timing” bahkan mereka sudah menetapkan “fase-fase ” untuk jenis/ bentuk beritta dan artikel yang akan mereka terbitkan dan tayangkan . Biasanya mereka akan menggiring opni publik dengan mem”blow up” suatu kelompok atau personal tertentu yang mereka harap dapat dijadikan alat untuk “memuluskan dan melancarkan setiap agenda dan kepentingan mereka.,Demikian sebaliknya terhadap kelompok dan personal yang dapat membahayakan dan mengancam agenda mereka akan mereka fitnah dan hancurkan dengan cara-cara “black campaign” (kampanye hitam).

Leave a Reply to james Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *