Ketika Pesawat Tak Bisa Terbang


OLEH: ZAINAL MUTTAQIN
ERUPSI Gunung Kelud di Jawa Timur telah membuat tujuh bandar udara (bandara) di Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Jogjakarta, dan Jawa Barat, ditutup dari aktivitas penerbangan sejak Jumat (14/2) lalu.
Ratusan jadwal penerbangan berbagai maskapai penerbangan telah dibatalkan. Tak terbayangkan jumlah kerugian perusahaan penerbangan itu. Tak terhitung pula jumlah kerugian dari ribuan calon penumpang, yang keperluan mereka terbang adalah untuk mengurus perusahaan, dagangan, maupun sekadar urusan pribadi lainnya.
Setidaknya saya termasuk yang harus menanggung kerugian itu. Jumat pagi itu saya seharusnya terbang dari Surabaya ke Balikpapan dengan Lion Air jam 08.30. Di Balikpapan, istri dan anak saya telah menunggu, selanjutnya kami bertiga siang itu akan meneruskan terbang ke Samarinda dengan Susi Air. Tiketnya sudah dipegang istri saya.
Karena saya tidak bisa terbang ke Balikpapan, istri dan anak saya membatalkan penerbangan dengan Susi Air itu. Maka hangus lah tiket kami bertiga yang total nilainya lebih sejuta rupiah. Harga tiket per orangnya Rp 400 ribu lebih.
Sabtu (15/2), saya juga punya jadwal rapat di Makassar. Saya juga disiapkan tiket Balikpapan-Makassar PP oleh perusahaan di Makassar. Berangkat dari Balikpapan dengan Garuda pukul 10.15, dan pulang dari Kota Daeng pukul 16.40 hari itu juga. Tapi, semuanya hangus. Ini sekadar contoh kecil dari kerugian itu.
Masih banyak contoh lainnya dari kawan-kawan saya, yang sama-sama menjadi korban seperti itu, ketika kami saling bercerita kerugian saat bertemu di ruang tunggu penumpang, di Executive Lounge Singosari, Bandara Juanda Surabaya.
Ada kawan saya yang sudah punya tiket lanjutan terbang dari Balikpapan ke Singapura, yang jika tidak digunakan pada Minggu (16/2) maka tiketnya akan hangus. Ada yang hari itu harus berada di airport Jakarta karena akan melanjutkan penerbangan ke Arab Saudi. Ada yang sudah punya jadwal menjadi pembicara seminar di Manado, Sulawesi Utara. Ada yang terpaksa menggeser acara pernikahan sehari di Jepara, Jawa Tengah, karena kawan saya itu menjadi wali nikah kemenakannya yang yatim.
Alternatif transportasi yang bisa digunakan hari itu hanyalah kereta api. Karena menggunakan bus akan sangat berisiko, mengingat semua jalan raya dari Surabaya menuju Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Jawa Barat sudah terlapisi abu vulkanis erupsi Gunung Kelud, yang bentuknya sangat lembut dan tajam seperti kristal, yang bisa membuat roda kendaraan gampang selip.
Saya sendiri, karena banyak pekerjaan yang harus saya tuntaskan di Kaltim, hari itu juga mencoba alternatif naik kereta api (KA) menuju Jakarta. Karena dari grup BlackBerry Messenger (BBM) yang ada di BB saya, ada kabar bahwa penerbangan dari Jakarta lancar-lancar saja. Saya bersyukur dapat berkah adanya teknologi BBM, yang dari situ pula saya bisa mendapatkan tiket KA Eksekutif Bangunkarta. Siang itu KA yang di jadwalnya berangkat jam 14.45 dari Stasiun Gubeng Surabaya, ternyata juga sudah diserbu ribuan calon penumpang pesawat yang gagal terbang hari itu.
Meski KA itu kelasnya eksekutif, yang membedakan dengan kelas non-eksekutif hanya tempat duduk. Sedikit agak lega dan dari bahan yang lebih empuk. Tetapi guncangan dan berisiknya sepanjang perjalanan 14 jam sama saja.
Kebetulan saya berada di gerbong yang sama dengan Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Dahlan Iskan, yang hari itu juga harus ke Jakarta. Selama perjalanan itu saya sempatkan ngobrol seputar kereta api di Indonesia, yang nyaris tak banyak berubah sejak dibangun oleh penjajah Belanda, dahulu sekali.
Kebetulan pula dahulu ketika Pak Dahlan masih menjadi pimpinan saya di Jawa Pos, sering mengajak saya naik kereta api di luar negeri, seperti di Amerika, Eropa, Jepang, dan Tiongkok. Dari kereta yang supercepat Euro Star, Shinkasen Jepang, dan Maglev-nya Tiongkok, sampai ke sepur kluthuk dari Monaco di Prancis sampai ke Milan, Italia. Saya juga pernah diajak Pak Dahlan naik sepur kluthuk-nya Tiongkok dari Zhengzhou ke Wuhan. Berangkatnya malam, tibanya pagi. Juga dari Shanghai ke Kota Yiwu, tempat kulakannya para pedagang Indonesia.
Sepur kluthuk itu sebutan orang di Jawa untuk kereta api yang jalannya sangat pelan. Pelannya sepur kluthuk di Eropa masih berkecepatan rata-rata 80 km/jam. Sepur kluthuk-nya Tiongkok, menurut Pak Dahlan, kecepatan rata-ratanya 120 km/jam. Nah, KA Eksekutif Bangunkarta itu rata-rata kecepatannya 50 km/jam. Karena itu Surabaya-Jakarta yang berjarak sekitar 700 km lewat jalur selatan itu, harus ditempuh dalam waktu 14 jam.
Di Tiongkok tahun lalu saya naik kereta api supercepat Shanghai ke Beijing, yang jaraknya 3.000 km itu. Cukup ditempuh dalam waktu lima jam. Kecepatannya bisa mencapai lebih 400 km/jam, itu bisa dilihat pada display yang ada di atas pintu antar-gerbong.
Naik KA supercepat di Tiongkok itu kita bisa tidur pulas. Karena selain hening, juga tanpa guncangan sedikit pun. Harga tiketnya pun beda tipis dengan KA Bangunkarta. Sekali jalan KA supercepat di Tiongkok itu harga tiketnya per orang CN¥ 500 atau sekira Rp 1 juta. Sedangkan harga tiket kelas eksekutif KA Bangunkarta Rp 430 ribu sekali jalan.
Kepada Pak Dahlan, saya tanyakan, kenapa KA kita tidak ada kemajuan dalam hal kecepatan dan kenyamanan? Menurut dia, rel KA kita kurang lebar setidaknya 20 cm, sehingga tidak memungkinkan untuk dipakai kecepatan tinggi. “Kalau digas pol, bisa ngguling sepur-nya,” katanya. “Fondasi relnya pun tidak bagus, karena itu jalannya KA berisik banget,” sambungnya.
Selain sepanjang jalannya KA dari Surabaya ke Jakarta itu glodak-glodak, juga sering kali terdengar derit suara rem, sering kecepatannya tiba-tiba diturunkan sehingga membuat penumpang terguncang.
Namun, meski naik KA Bangunkarta itu sama sekali tidak nyaman, Pak Dahlan beserta istri tetap enjoy selama perjalanan. Bahkan Pak Menteri tetap fresh setibanya di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, ketika azan subuh bersahut-sahutan dari masjid-masjid di sekitar stasiun. Fisik Pak Dahlan memang oke banget, berkat rajin senam setiap pagi hari, di mana pun.
Kapan kita bisa punya KA seperti di Tiongkok itu, yang sepur kluthuk-nya saja bisa melaju 120 km/jam? “Sekarang tim BUMN sedang membuat kajian, satu paket dengan rencana pembuatan jalan tol tepi laut dari Jakarta ke Surabaya, sepanjang pantai utara Pulau Jawa,” ungkap Pak Dahlan.
Jika kajiannya sudah tuntas, perlu waktu berapa lamakah untuk mewujudkan jalan tol dan jalan KA yang nyaman itu? “Empat tahun saja,” tegas Pak Dahlan.
Saya nyaris tak percaya dengan jawaban empat tahun itu. Maka saya perlu mengulang pertanyaan itu sekali lagi. Dan, jawaban Pak Dahlan tetap sama,

“Hanya empat tahun,” tandasnya. “Jika tidak yakin, tunggu saja tanggal mainnya,” sambungnya dengan canda khasnya.

Meski Pak Dahlan sudah menunjukkan sarat prestasi, di antaranya membangun jalan tol 12 km di atas laut di Pulau Bali hanya dalam tempo 12 bulan sudah bisa digunakan masyarakat, saya tetap menyimpan kebimbangan.
Boleh dong saya bimbang. Wong di Kaltim aja untuk bikin sekadar bandara di Samarinda, lebih lima tahun tidak kelar-kelar kok. Juga jalan tol Balikpapan-Samarinda yang panjangnya tak sampai 100 km itu bakal perlu waktu lebih sepuluh tahun. Lah, ini bikin jalan tol, sekaligus rel KA supercepat, lebih dari 500 km hanya dalam tempo empat tahun. Tidak sampai 50 bulan. Emangnya Bandung Bondowoso yang membangun Candi Sewu hanya dalam tempo semalam? Itu ‘kan cuma ada dalam legenda…
Tapi dalam kebimbangan itu, saya harus terus berdoa agar Pak Dahlan diberi panjang umur dan diberikan kesehatan terus, agar bisa mewujudkan proyek-proyek legendaris itu. Agar saya, juga Anda sekalian wahai pembaca yang budiman, bisa tidur nyenyak bila kelak naik KA dari Surabaya ke Jakarta, atau sebaliknya.
Dan supaya syair lagu legendaris sejak masa kecil saya juga berubah. Tidak lagi: naik kereta api, tut…tut…tut…
Ketika cucu saya menyanyikan lagu itu kelak, syair lagu itu jadi begini: naik kereta api, mak wuuss…wuuss…(zam@kaltimpost.net/zal/k7)
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *