Kehidupan malam masyarakat miskin kota di tengah hutan beton
dilaporkan: Setiawan Liu

Baru tiga hari, ia kembali memulung. Sekitar jam 2 pagi dini hari, ia menarik gerobaknya dengan tertatih-tatih. Ia juga tidak mengenakan alas kaki. Dua ruas jalan Kuningan Persada, Jaksel paralel dengan sungai kecil dan jalur hijau pohon-pohon rindang. Sementara gedung-gedung pencakar langit, seperti hotel St. Regis, Allianz Tower, Gedung Merah Putih KPK sebagai saksi bisu para pemulung yang beristirahat berserakan di kolong jembatan, tanah kosong, emperan bangunan semi permanen. “Saya memulung sejak tahun 2015 seputar Setiabudi. Sebelum covid, saya cari barang rongsokan terutama bekas botol plastik dan kardus sampai Ratu Plaza. (usaha mencari barang rongsokan) pulang pergi sekitar sembilan jam. Saya berangkat dari Kuningan, sampai Ratu Plaza, saya putar balik ke Kuningan. Saya selalu berangkat kerja jam 9 malam karena (cuaca) dingin. Kalau siang hari, (kondisi badan) lebih capek karena terik matahari. Jakarta dulu kan macet sebelum pandemic covid. Penghasilan Rp 800.000/minggu,” kata Jaelani.
Tak dinyana, Kuningan yang merupakan bagian dari Segitiga Emas paralel dengan Jl. Thamrin dan Sudirman yang membentang dari wilayah Jakarta Pusat hingga Jakarta Selatan. Sebagian besar aktivitas bisnis, keuangan, dan diplomatik terjadi di daerah yang juga merupakan pusat kota ini. Tapi kehidupan malam Jaelani juga bagian dari ‘kelap-kelip’ metropolitan Jakarta. “Saya masuk Jakarta tahun 1960an, waktu itu berusia 12 tahun. Saya nekad ke Jakarta, karena merasa tidak punya pilihan untuk hidup. Saat usia 10 tahun, bapak dan ibu saya bercerai dan keduanya langsung menikah lagi. Tapi saya merasa tertekan sampai akhirnya nekad mengadu nasib ke Jakarta. Saya naik kereta (ternak) sapi selama 20 hari perjalanan. Ketika sampai di Jakarta, saya menyemir sepatu di seputar Gedung Jakarta Theatre dan Sarinah,” katanya.
Ia mengaku sudah terbiasa hidup berpindah-pindah bahkan dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain. Kehidupan nomaden karena ada kesempatan kerja dan untuk berpenghasilan. Ia pernah bekerja di perkebunan sawit di Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Ia harus melewati belantara hutan untuk kembali lagi ke Jakarta, dan harus meninggalkan isterinya yang ke-5. “Saya menikah setiap kali saya menetap di satu daerah. Keseluruhan, saya sudah menikah sebanyak delapan kali. Sekarang, saya hanya mau bertahan hidup dan bersyukur masih bisa temu dengan kedua anak saya. Walaupun ketemunya hanya setahun sekali, bahkan lebih, tapi masih ada semangat hidup untuk tetap memulung botol-botol plastic, kardus dan barang-barang bekas di seputar Kuningan dan Setiabudi,” katanya. (sl/IM)















