Kalangan Perbankan Khawatir Praktik Cash Back


Praktik pemberian cash back atau insentif berupa dana tunai demi menggaet dana masyarakat masih saja terjadi di perbankan. Yang terbaru dan kemudian berbuntut panjang adalah penempatan dana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batu Bara, Sumatra Utara, senilai Rp 80 miliar di Bank Mega.

Berdasarkan keterangan kepolisian dan Kejaksaan Agung, Bank Mega memberikan cashback Rp 405 juta kepada Yos Rauke dan Fadil Kurniawan, dua pejabat pemkab yang mengurus keuangan. Rayuan dana tunai mendorong keduanya mau memindahkan Rp 80 miliar dari Bank Sumut ke Bank Mega.

Uang ucapan terimakasih itu bukan cuma mendatangkan malapetaka bagi si pejabat, juga merugikan masyarakat kabupaten tersebut. Yos dan Fadil kini mendekam di jeruji besi. Sementara, pemkab yang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) kurang dari Rp 20 miliar per tahun tersebut terancam kehilangan dananya.

Bank Mega mengklaim, tidak menyimpan lagi uang itu. Deposito on call pemkab sudah cair, beberapa hari setelah penempatan dana.

Kejadian ini menimbulkan keprihatinan. Beberapa bankir meminta Bank Indonesia (BI) bersikap tegas. Di mata mereka, cashback menyuburkan praktik semacam itu. Maklum, dengan iming-iming hadiah tunai, para wakil pemilik dana bisa “gelap mata”.

Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengatakan, bank seharusnya menghapus pemberian cashback dalam bentuk uang tunai, karena merusak persaingan perbankan dalam merebut dana pihak ketiga (DPK). “BI lebih mempunyai otoritas melakukan pelarangan ini,” ujarnya Selasa (10/5).

Dari sisi bank, cashback juga meningkatkan beban mendapatkan DPK. “Bisa juga menjadi wadah perwakilan pemilik dana mencari keuntungan tanpa memberitahu pemilik dana,” tambah Sigit.

Melalu benchmarking

Jahja Setiaatmadja, Plt Direktur Utama Bank Central Asia (BCA), mengatakan, dalam menjaring DPK, terutama deposito, pihaknya tidak pernah memberikan cashback dalam bentuk apapun. “Bunga deposito kami juga maksimal 6,5% per tahun,” ujarnya.

Difi A. Johansyah, Kepala Biro Humas BI, mengatakan, BI sulit mengatur masalah tersebut terlalu jauh. Ini urusan industri dalam menertibkan para anggotanya. “Kalau bank sentral mengatur lebih detail, celah itu (penyelewengan) tetap ada,” katanya.

BI hanya bisa memeriksa biaya dana dan biaya promosi bank. Dari situ akan terlihat, bank mana saja yang melakukan praktik tidak sehat dalam menjaring DPK. “Kami juga membuat benchmarking biaya dana. Kami bisa masuk dari situ,” katanya.

Dari proses benchmarking ini, bank sentral kemudian mengintervensi. Bank yang biayanya lebih tinggi dibanding dengan bank lain yang sekelas harus menurunkan hingga batas wajar. Jadi, lewat skema inilah BI menertibkan dan mengontrol perilaku bank. “Bukan sedikit-sedikit merespons dengan menerbitkan PBI,” katanya

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *