Jadi Tersangka Gara-gara Obat Kuat


Tidak ada jaminan seorang pemimpin putra daerah memiliki kepedulian membangun daerah.

Hati siapa yang tak miris dan geram ketika mendengar dana bantuan sosial (bansos) Pemerintah Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) 2006, 2007, dan 2008 sebesar Rp 110 miliar diselewengkan, salah satunya untuk membayar tagihan obat kuat peningkat gairah syahwat lelaki.

Hal ini terkuak berdasarkan keterangan terbuka Wali Kota Pontianak, Sutarmidji, pada 24 Mei 2010. Keterangan inilah yang kemudian menjadi dasar penyidik Kejaksaan Tinggi Kalbar menetapkan mantan Wali Kota Pontianak 1999-2009, Buchary Abdurrachman dan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Pontianak, Hasan Rusbini, sebagai tersangka pada 19 Februari 2014.

Sutarmidji menuturkan, selama menjabat Sekda Kota Pontianak, Hasan pernah memesan obat kuat lelaki senilai Rp 1 juta. Pembayaran obat peningkat vitalitas seksual lelaki dewasa itu ternyata dibebankan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Pontianak.

Tagihan obat kuat pesanan Hasan dicatat dalam pembukuan Kantor Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Kota Pontianak. Bukti kwitansi pembayaran dimuat di halaman satu salah satu media cetak di Pontianak, pada 25 Mei 2010. Anekdot pun bermunculan, “Obat Kuat Sekda Ditangani Jaksa”.

Bias Otonomi

Dalam tiga tahun terakhir, masyarakat Pontianak lelah karena terus-menerus disuguhkan proses pemeriksaan Kejaksaan terhadap indikasi penyalahgunaan bansos Pemerintah Kota Pontianak 2006 sebesar Rp 42 miliar, pada 2007 Rp 37 miliar, dan 2008 Rp 31 miliar.

Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Kalbar, Didik Isyanta menegaskan, dari Rp 110 miliar, sekitar Rp 16 miliar di antaranya terindikasi terjadi penyimpangan dalam pendistribusiannya. Dari Rp 16 miliar bantuan yang tidak jelas peruntukkannya, ada Rp 4,8 miliar di antaranya yang diindikasikan fiktif.

Inilah kasus korupsi terbesar yang pernah dibongkar institusi penegak hukum di lingkungan Pemerintah Kota Pontianak di era Reformasi terhitung sejak 1 Januari 2000. Praktik korupsi di Pemerintah Kota Pontianak membuat masyarakat kecewa dan geram, karena aktornya adalah putra asli Provinsi Kalbar.

Isu pemberdayaan putra daerah di era Reformasi ini membuat bias aplikasi otonomi. Otonomi daerah yang mestinya diasumsikan sebagai penyerahan kewenangan penyelenggaraan roda pemerintahan sesuai ketentuan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), secara sepihak diterjemahkan sebagai penyerahan kekuasan.

Euforia Reformasi dan otonomi daerah membuat setiap orang bebas melakukan apa saja dengan dalih otonomi, termasuk di antaranya sikap tidak terpuji pejabat yang tega membeli obat kuat untuk kebutuhan pribadi, dan membebankannya ke dalam APBD.

Pemborosan Birokrasi

Saat mengampanyekan dirinya menjadi calon Wali Kota Pontianak 1999, figur Buchary Abdurachman sempat menarik simpati masyarakat Kota Pontianak. Buchary yang ketika itu menjabat Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dokter Soedarso, sempat sesumbar jika terpilih ia akan menjual Rumah Jabatan Wali Kota Pontianak.

Saat itu, masyarakat Kota Pontianak diributkan dengan mahalnya biaya pembangunan Rumah Jabatan Wali Kota Pontianak di Jalan Abdurachman, Pontianak Selatan, yang mencapai miliaran rupiah. Namun, setelah terpilih, diam-diam Buchary menempati Rumah Jabatan, yang pernah dihujatnya tersebut, sebagai praktik pemborosan birokrasi di lingkungan Pemerintah Kota Pontianak.

Pada 2004, Buchary terpilih lagi menjadi Wali Kota Pontianak periode kedua, berpasangan dengan Sutarmidji, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pontianak. Pada periode inilah indikasi penyalahgunaan wewenang Buchary terjadi secara kasat mata melalui distribusi bansos, bersamaan dengan penetapan Hasan sebagai Sekda Pemerintah Kota Pontianak.

Ketika Sutarmidji terpilih menjadi Wali Kota Pontianak 2009, masyarakat cukup gencar menyuarakan indikasi ketidakberesan penyaluran dana bansos Pemerintah Kota Pontianak 2006, 2007, dan 2008 sebesar Rp 110 miliar. Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat pun turun tangan.

Praktisi hukum di Pontianak, Tobias Ranggie, mengatakan hikmah kejadian ini adalah tidak ada jaminan seorang pemimpin putra daerah memiliki kepedulian dan kepekaan dalam membangun daerahnya.

Masyarakat membutuhkan figur pemimpin yang memiliki kejujuran, sehingga dalam melayani masyarakat selalu berpegang pada hati nurani. “Isu putra daerah sudah tidak relevan, karena hanya membuat masyarakat muak,” seru Tobias.

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *