IDEOLOGI, PANCASILA, DAN KONSTITUSI


Pendahuluan

Pada prinsipnya ada tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah. [2] Ideologi dalam arti yang pertama, yaitu sebagai kesadaran palsu biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya.Ideologi ini dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.

Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.[3]

Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala

 

[1] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.

 

[2] Franz Magnis-Suseno,  Filsafat Sebagai ilmu Kritis  , (Jakarta, Kanisius, 1992), hal. 230.

 

[3] Art mencakup  ideologi  MENURUT  Kamus Oxford  adalah  (1) Bahwa seperangkat gagasan tentang kuali sistem ekonomi atau politik didasarkan, (2) seperangkat keyakinan, terutama oleh Diadakan di sebuah kelompok khusus, itu mempengaruhi cara orang Berperilaku  . Sedangkan MENURUT Martin Hewitt, ideologi adalah  “sistem gagasan dan citra melalui Orang Yang datang ke kata dan menentukan kebutuhan dan aspirasi mereka”  , murah  “sistem gagasan, nilai-nilai dan keyakinan bahwa Dan masyarakat terhadap individu bercita-cita.”  Lihat, martin Hewitt,  Kesejahteraan, Ideologi dan Mereka Perspektif Pengembangan di Negara Kesejahteraan  , (Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992), HAL. Sebuah 8 murah

 

pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi. [1]

Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.

 

Tipe-Tipe ideologi

Ada dua tipe ideologi sebagai ideologi suatu negara. Kedua tipe tersebut adalah ideologi tertutup dan ideologi terbuka. [2] Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak bisa dipertanyakan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak bisa dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.

Salah satu fitur khusus suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve .

Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.

Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.[3]

Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.

 

Perkembangan Ideologi Dunia

Istilah ideologi negara mulai banyak digunakan bersamaan dengan perkembangan pemikiran Karl Marx yang dijadikan sebagai ideologi beberapa negara di abad ke-18. Namun sesungguhnya konsepsi ideologi sebagai cara pandang atau sistem berpikir suatu bangsa berdasarkan nilai dan prinsip dasar tertentu telah ada sebelum kelahiran Marx sendiri.Bahkan awal dan inti dari ajaran Marx adalah kritik dan gugatan terhadap sistem dan struktur sosial yang eksploitatif berdasarkan ideologi kapitalis.

Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan Lenin kemudian disebut sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivisme dengan titik ekstrem menghapuskan hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak sipil dan politik individu. Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis yang menekankan pada individualisme baik dari sisi politik maupun ekonomi.

Kedua ideologi besar tersebut menjadi ideologi utama negara-negara dunia pasca perang dunia kedua sampai berakhirnya era perang dingin. Meskipun demikian baik komunisme maupun kapitalisme memiliki warna yang berbeda-beda dalam penerapannya di tiap wilayah. Ideologi selalu menyesuaikan dengan bidang pengalaman dari suatu bangsa dan masyarakat. Komunisme Uni Soviet berbeda dengan komunisme di Yugoslavia, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara Amerika Latin. Demikian pula dengan kapitalisme yang memiliki perbedaan antara yang berkembang di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Asia.

Meskipun negara-negara yang menganut kedua besaran ideologi tersebut saling berhadap-hadapan, namun proses penyesuaian diantara kedua ideologi tersebut tidak dapat dihindarkan. Kapitalisme, dalam perkembangannya banyak menyerap unsur-unsur dari sosialisme. Setelah mengalami krisis besar pada tahun 1920-an (  the great depression  ) Amerika Serikat banyak mengadopsi kebijakan-kebijakan intervensi negara di bidang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ke

 

 

[1]   Karl Mannheim misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan yang bersifat ideologis berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, daripada sarat dengan fakta-fakta empiris. Lihat, Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Judul Asli: Ideology and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge, Penerjemah: F. Budi Hardiman, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hal. xvii.

 

[2]   Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka, dan ideologi implisit. Lihat, Ibid., hal. 232-238.

 

[3]   Ibid  , HIDUP .. 232-233.

 

 

tersebut kemudian berkembang menjadi konsep negara tersendiri, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ideologi,  yaitu negara kesejahteraan (welfare state) yang berbeda dengan ideologi kapitalisme klasik.

Di sisi lain, beberapa negara komunis yang semula sangat tertutup lambat-laun membuka diri, terutama dalam bentuk pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik. Proses demokratisasi terjadi secara bertahap hingga keruntuhan negara-negara komunis yang ditandai dengan tercerai-berainya Uni Soviet dan Yugoslavia pada dekade 1990-an.

Ada yang menafsirkan bahwa keruntuhan Uni Soviet dan Yugoslavia sebagai pilar utama adalah merek kekalahan komunisme berhadapan dengan kapitalisme. Bahkan Fukuyama pernah mendalilkan hal ini sebagai akhir sejarah yang selama ini merupakan panggung pertentangan antara kedua ideologi besar tersebut. Namun kesimpulan tersebut tampaknya terlalu premature. Keruntuhan komunisme, tidak dapat dikatakatan sebagai kemenangan kapitalisme karena dua alasan, yaitu (a) ide-ide komunisme, dan juga kapitalisme tidak pernah mati; dan (b) ideologi kapitalisme yang ada sekarang telah menyerap unsur-unsur sosialisme dan komunisme.

Ide-ide komunisme tetap hidup, dan memang perlu dipelajari sebagai sarana mengkritisi sistem sosial dan kebijakan yang berkembang. Ide-ide tersebut juga dapat hidup kembali menjadi suatu gerakan jika kapitalisme yang saat ini mulai kembali ke arah libertarian berada di titik ekstrim sehingga menimbulkan krisis sosial. Demikian pula halnya dengan gerakan-gerakan demokratisasi dan perjuangan atas hak-hak individu akan muncul pada sistem yang terlalu menonjolkan komunalisme.

 

Ideologi dan Konstitusi: Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanya­an: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a consti­tution is a document which contains the rules for the the operation of an organization”[1]. Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tum­buh[2] menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.[3]

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang meng­ikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedau­latan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang dise­but oleh para ahli sebagai constituent power[4] yang merupakan kewe­nangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diatur­nya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demo­krasi, rak­yatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.

Constituent power menda­hului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pe­me­rin­tahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi.[5] Pengertian constituent powerberkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.

Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Consti­tutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words eng­rossed on parchment to keep a government in order”[6]. Untuk tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sede­mikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses peme­rintahan dapat dibatasi dan dikendalikan seba­gai­mana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekua­saan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.

Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seper­ti dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas, “constitutionalism is an insti­tutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepa­katan umum atau persetujuan(consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[7] Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepa­katan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi ke­kua­saan negara yang bersangkutan, dan pada gi­lir­annya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misal­nya, ter­cermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Ame­rika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun peristiwa besar di In­do­nesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.

Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalis­me di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kese­pakatan (consensus), yaitu[8]:

1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita Bersama ( tujuan umum dari masyarakat atau penerimaan umum dari filosofi yang sama pemerintah ).

2.     Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).

3.     Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).

 

Kesepakatan (  consensus  ) pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai filsafat kenegaraan atau  staatsidee  (cita negara) yang berfungsi sebagai  filosofische grondslag  dan common platforms  atau  kalimatun sawa  di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.

Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu­judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca­sila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne­gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah­teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde­kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.

Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis peme­rin­tahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks pe­nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa diguna­kan untuk itu adalah the rule of law yang dipelo­pori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu The Rule of Law, and not of Man untuk

menggam­barkan pe­ngertian bah­wa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.

Istilah  The Rule of Law  jelas berbeda dari istilah  The Rule by Law . Dalam istilah terakhir ini, posisi hukum ( law ) digambarkan hanya sekedar bersifat  instrumentalis  atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu  The Rule of Man by Law . Dalam pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang di puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis atau dalam arti tidak tertulis. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah  constitutional state  yang merupakan salah satu fitur penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan pada hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.

Kesepakatan ketiga adalah tentang (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya; (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain; serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi ( constitutional state ). Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para perancang dan perumus konstitusi tidak seharusnya membayangkan, bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat.Konstitusi tidak sama dengan hukum yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah seharusnya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Tentu saja, tidak mudahnya mekanisme perubahan hukum dasar tidak bisa menyebabkan hukum dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak bisa disakralkan dari kemungkinan perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru.

Keberadaan Pancasila sebagai filsafat kenegaraan atau  staatsidee  (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag  dan  common platforms  atau  kalimatun sawa  di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa orde baru. Namun dalam pelaksanaannya pada waktu itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan.Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.

Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakat kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi.

Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya.[1]

 

Pancasila UUD 1945 amandemen Pasco

Perubahan UUD 1945 sebagai agenda utama era reformasi mulai dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999. Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu: [2]

  1. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
  2. sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi fitur-fitur umum sistem presidensiil);
  4. sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
  5. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

 

Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR [3] dari tahun 1999 sampai perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No . I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.

Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang arahnya adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat posisi DPR (DPR) sebagai lembaga legislatif. [4] Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat posisi DPR, dan ketentuan-ketentuan yang rinci tentang HAM. [5] Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang Kebijakan-kebijakan landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum. [6]

Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan. [7]

Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan kesepakatan MPR yang kemudian menjadi lampiran dari Ketetapan MPR No.IX/MPR/1999, Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945 mengambil cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam

 

 

[1]  Lihat, Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum, Demokrasi, dan Dunia Usaha”, makalah disampaikan dalam Orasi Ilmiah Wisuda XX Universitas Sahid, Jakarta 20 September 2005.

 

[2] Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

[3] Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

 

[4]  Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945.

 

[5]  Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.

 

[6]  Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.

 

[7]  Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat ini meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23b; Pasal 23D; Pasal 24 ayat ( 3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), ( 4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.

 

 

kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema­jemukan. Pembukaan UUD 1945 juga memuat tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju­ga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslagdan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara. Inilah yang oleh William G. Andrews disebut sebagai Kesepakatan (consensus) pertama.

Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula posisi Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dilakukan dalam sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.

 

Pancasila Sebagai Materi Konstitusi

Telah diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila adalah  filosofische grondslag  dan common platforms  atau  kalimatun sawa.  Pancasila adalah dasar negara.Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana posisi Pancasila dalam tata hukum nasional?

Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi ideologi tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm)  dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.

Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hirarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum  (stufentheorie)  [1]  . Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan  theorie von stufenufbau der rechtsordnung  . Susunan norma menurut teori tersebut adalah: [2]

  1. Aturan Dasar Deny  (Staatsfundamentalnorm)  ;
  2. Dasar Adur negatif  (staatsgrundgesetz)  ;
  3. Hukum resmi  (formell Gesetz)  , itu
  4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom  (verordnung en autonome satzung) .

 

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatuStaatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi.Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[3]

Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkanStaatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.[4]

Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban­dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:[5]

1)   Staatsfundamentalnorm  : Pancasila (Pembukaan UUD 1945).

2)   Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.

3)   Formell Gesetz  : Hukum.

4)   Verordnung en Autonome Satzung  : Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah sampai Keputusan Bupati atau Walikota.

 

Penempatan Pancasila sebagai  Staatsfundamental-norm  pertama kali disampaikan oleh Notonagoro [6].Pancasila dilihat sebagai cita hukum (  rechtsidee)  merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai  Staatsfundamentalnorm    maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. [7]

Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945.

Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid[8]. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.[9]

Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.[10]

Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.[11]

Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antarastaatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamen­talnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.[12]

Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa. [13] Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama [14].

Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa  staats-fundamentalnorm  yang dikemukakan oleh nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar.Sedangkan  staats-grundgesetz  -nya Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen.Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm  atau me-rupakan bagian dari konstitusi?

Pancasila lahir dan dirumuskan dalam konferensi Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagaiPhilosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima dasar. [15]

Pidato yang disampaikan Soekarno pada saat itu adalah jaringan konferensi BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam konferensi tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan KH Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945. [16] Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Meskipun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini disamping mengambil lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga mengambil pohon-pohon pikiran yang lain.

Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai  Philosofische grondslag  atauweltanschauung  , maka hasil dari konferensi-konferensi tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag  dan  weltanschauung  bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.

Selain Pancasila, telah banyak dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu; (1) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan; (2) bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya; (3) bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan (4) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.[17]

Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.[18]

Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk pohon-pohon pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai  Philosofische grondslag  atau dasar negara secara umum.Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia.

Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945 merupakanstaatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan staats-fundamen­talnorm maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945 merupakan norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar(staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.

Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum  (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Hukum Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya “. Bahkan para  founding fathers  juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung) . Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pohon-pohon pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.

Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat[19]. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”[20]

Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms  yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai  staatsverfassung  . Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi , atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi untuk validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 meskipun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking  . UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi  (staatsverfassung)  yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.

Jika Pancasila bukan merupakan  staatsfundamental-norms  , lalu apa yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order)  . Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic thinking  ) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah sistem.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *