Hidup di antara Orang Mati..


Para penggali kubur di TPU Cipinang Besar, Jakarta Timur, Senin (22/8/2011), hanya bisa tidur-tiduran di bilik kayu yang ada di dalam garasi di depan TPU lantaran pesanan liang lahat sepi. Dalam sekali penggalian, rata-rata seorang penggali memperoleh Rp 60.000.

Penggali Kubur

Sudah seminggu enggak ada galian. Sepi. Alamat tak bisa Lebaran,” kata Sujana (33), Senin (22/8/2011) siang, di kompleks Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cipinang Besar, Jakarta Timur.

Sebagai penggali kubur dan perawat makam, momen Lebaran adalah “siksaan”. Betapa tidak, penghasilan mereka yang pas-pasan sebagai penggali kubur amat tergantung pada ada atau tidaknya pesanan liang lahat. Dengan kata lain, jika tak ada keluarga yang berbelasungkawa karena keluarganya meninggal, para penggali kubur seperti Sujana bakal merana.

“Istri di rumah sudah menunggu kiriman. Tapi ya mau bagaimana lagi. Makam lagi sepi,” ungkap Sujana yang saat ditemui sedang beristirahat di bilik kayu yang ada di dalam sebuah garasi, di depan TPU Cipinang Besar. Di bilik kayu itulah Sujana melepas penat setelah menggali kubur.

Saat ditemui Senin siang, di dalam bilik ada juga Deden (24), Dedi (30), Subadi (32), yang sedang beristirahat. Di atas tikar anyaman, mereka berguling tidur membunuh waktu.

Sujana menuturkan, setiap Lebaran datang ia cuma bisa pasrah. Sementara bagi orang lain kematian adalah pedih, bagi Sujana justru sebaliknya. Kematian artinya “rezeki”. Pendek kata, ada tidaknya uang Lebaran bergantung pada ada tidaknya orang meninggal dan permintaan menggali kubur.

Untuk setiap satu liang lahat, Sujana dan empat kawannya mendapatkan rata-rata Rp 300.000. Pendapatan itu dibagi berlima, sehingga per orang hanya Rp 60.000. “Dalam seminggu belum tentu dapat segitu. Sering kali cuma menggali dua kali dalam seminggu. Kadang-kadang bisa sebulan tak ada galian,” katanya.

Delapan hari menjelang Lebaran, suasana di TPU Cipinang Besar masih sepi. Tidak nampak persiapan apapun yang dilakukan, misalnya untuk menyiapkan liang lahat seandainya ada orang meninggal saat Lebaran. Yang tampak di sana cuma beberapa perawat makam yang sedang memotong rumput dan menyapu kompleks makam.

Bagi Sujana yang asli Bogor itu, pekerjaan sebagai penggali kubur adalah gantungan hidup. Ia gagal total berdagang di kampung halaman. Bapak satu anak itu pun “coba-coba” merantau di Jakarta. “Susah sekali cari kerjaan di sini,” ungkapnya.

Deden yang asli Subang, Jawa Barat, juga mengaku “coba-coba” daripada menganggur di Jakarta. Pemuda lulusan SMP itu bosan menjadi buruh tani di kampung. “Sekalian ingin cari kenalan di Jakarta sambil menabung,” ujarnya.

Harapan untuk bisa menabung dari hasil menggali kubur ternyata susah diwujudkan. Seperti Sujana, Deden juga kebingungan. “Mau kembali ke kampung belum punya uang. Mau terus di sini hidupnya pas-pasan,” kata Deden.

Pengelola TPU Cipinang Besar berbaik hati dengan membiarkan para penggali kubur itu menginap dan tinggal di garasi mobil. “Kalau harus mengontrak, ya jelas tidak bisa bertahan di Jakarta,” kata Deden lagi.

Demikian pula Dodi yang merantau dari Purwakarta, Jawa Barat. Dengan hanya ijazah SD, Dodi tak punya banyak pilihan pekerjaan. Makam adalah rumah dan harapan. “Kalau sudah punya uang, saya mau beternak di rumah,” tuturnya.

Beruntung, Deden dan Dodi belum berkeluarga. Dua pemuda itu relatif tak punya tanggungan keluarga. Bisa pulang kampung saat Lebaran saja sudah cukup bagi mereka.

Para penggali kubur di Cipinang ibarat hidup di antara orang mati. Hidup adalah jika yang mati datang. Momen Lebaran bagi mereka pun tak ubahnya mengharap rezeki dari yang sudah mati…

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *