EKSKLUSIF, Bupati Tolikara: Andai Kapolres Dengarkan Saya…


Insiden berdarah pecah di Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat, dua pekan lalu. Kerusuhan terjadi ketika ratusan peserta seminar dan kebaktian kebangunan rohani (KKR) internasional yang diselenggarakan Gereja Injili di Indonesia (GIDI) mencoba membubarkan sejumlah warga yang sedang melaksanakan salat Idul Fitri di lapangan Komando Rayon Militer Tolikara.

Peristiwa yang menyebabkan terbakarnya sejumlah rumah, kios, dan Masjid Baitul Muttaqin itu, menurut Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo, terjadi karena kelalaian petugas kepolisian. Dia mengaku sudah menyarankan Kepala Kepolisian Resor Tolikara Ajun Komisaris Besar Soeroso menggelar salat Id di musala. “Tapi tidak dilaksanakan,” katanya kepada Maria Hasugian dariTempo dalam dua kali wawancara pada pekan lalu.

Mengapa terjadi rusuh?

Saya berangkat ke Jakarta pada Minggu pagi, lima hari sebelum kerusuhan. Senin keesokan harinya, lewat telepon, kepada Ajun Komisaris Besar Soeroso, saya mengatakan menerima surat dari pengurus GIDI wilayah Tolikara. Isi surat itu tentang larangan salat Idul Fitri di Tolikara. Pengurus GIDI minta salat Id dilakukan di Wamena atau Jayapura. Alasannya agar jangan sampai terjadi sesuatu. Mahasiswa peserta seminar dan KKR internasional, yang merasakan penutupan gereja di luar Papua, kecewa. Itulah yang menjadi alasan terbit surat pengurus GIDI wilayah Tolikara tertanggal 11 Juli 2015. Saya meminta surat itu diralat. Isinya ibadah salat Id boleh di Karubaga tapi di musala. Saya sampaikan itu ke Kapolres.

Mengapa salat Id hanya boleh di musala?

Supaya tidak menimbulkan persoalan. Kalau salat Id di luar, apalagi pakai pengeras suara, tidak boleh. Warga muslim tahu itu. Itu sudah baku dan berlangsung dari tahun ke tahun. Saya sarankan ke Kapolres, tapi tidak dilaksanakan.

Kapolres memberi tahu Anda tentang perubahan lokasi salat?

Dia tidak kasih tahu saya, tak ada komunikasi sampai peristiwa itu meledak.

(Kepada Tempo, Soeroso mengaku tahun-tahun sebelumnya salat Id selalu digelar di lapangan karena kapasitas musala tidak mencukupi. Itu alasannya dia memberi jaminan keamanan)

Baca juga: (Jokowi ke Perwira TNI-Polri: Jiwa Korsa Jangan Sempit!)

Seharusnya apa yang dilakukan jika salat Id pindah tempat?

Untuk salat Id di markas Koramil, izin ke Komandan Distrik Militer. Saya tahu ada kegiatan di situ walau tidak ada surat pemberitahuan ke saya. Sedangkan jumlah pemuda GIDI membeludak, sekitar 2.000 orang, yang ikut seminar. Yang ke lokasi salat Id untuk menghentikan pengeras suara sekitar 150 orang. Karena bunyi terus, hendak mereka rampas. Lalu terdengar letupan senjata. Mahasiswa melempar batu, membubarkan mereka.

Kapolres ikut salat Id?

Ya, Kapolres ikut salat. Kapolres sebagai pelaksana keamanan. Dia hadir, kok, justru terjadi masalah.

Lalu di mana Anda saat rusuh terjadi?

Saya tidur di ruang kerja jam tiga pagi.

Bagaimana Anda tahu ada rusuh?

Saya dengar pengeras suara, ada yang aneh. Ternyata ada salat Id. Saya kaget, tidak pernah begini. Anak-anak sudah ribut. Saya lari ke lokasi salat Id. Saya masih pakai piama.

Anda melihat polisi tidak dipersenjatai saat itu seperti penjelasan Kapolres?

Benar. Tapi, kalau saya buka lagi, lebih rusak.

Apa maksud lebih rusak?

Tidak dipersenjatai, terus bunyi senjata dari mana? Aparat Koramil tidak ada yang keluar, hanya menjaga kompleks Koramil.

(Soeroso mengaku massa tidak lagi mengindahkan Bupati dan Kapolres. Sesuai dengan prosedur, dia memerintahkan tembakan peringatan) ( Tp / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *