Hasil referendum British Exit (Brexit) pada Kamis, 23 Juni lalu, akhirnya memisahkan Inggris Raya dari Uni Eropa (UE). Momentum tersebut mengakhiri 42 tahun keanggotaan Inggris di dalam blok yang dulunya bernama Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
Pilihan 52% rakyat Inggris yang memutuskan untuk tidak lagi bernaung di bawah bayang-bayang UE, sontak mengguncangkan perekonomian dunia. Pelaku pasar khawatir, keputusan itu membuat situasi ketidakpastian hubungan ekonomi Inggris dan 27 negara yang masih menjadi anggota UE dalam beberapa tahun ke depan, bakal berimbas ke ekonomi global.
Benarkah dampak Brexit begitu suram? Secara sederhana ada dua skenario yang bisa terjadi.
Skenario Cerah
Sesudah tiga malam memikirkan dan mengevaluasi apa yang akan terjadi dengan diri mereka, dengan kekayaan mereka, akhirnya pasar modal, lembaga keuangan dunia pada Senin, 27 Juni, sadar bahwa sebetulnya tidak ada alasan untuk panik. Pada Jangka menengah sebetulnya tidak akan ada perubahan sama sekali. Perusahaan dan dunia industri akan tetap berproduksi. Pedagang akan tetap berdagang dan Inggris untuk sementara masih akan tetap berada di dalam UE.
Sesudah ketakutan dan keresahaan itu berlalu (ingatan manusia sangat pendek), maka seluruh dunia maupun pasar modal dan keuangan akan berkonsentrasi pada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih penting: Siapa yang akan menjadi presiden Amerika serikat dalam waktu lima bulan yang akan datang? Apakah perekonomian Tiongkok akan mengalami soft atau hard landing?
Di Indonesia: apakah amnesti pajak akan berhasil disetujui oleh DPR? Di ASEAN: apakah ASEAN akan mengalami hal yang sama seperti di UE?
Dalam minggu berikut akan terlihat bahwa Inggris akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan posisinya di pasar UE. Calon kuat (mungkin) Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Nigel Farage akan bersuara lebih lunak mengenai Brexit. Bersama pemerintahan sekarang, akan mencoba untuk adanya pengalihan kekuasaan yang lebih terkendali.
Mereka pun sadar bahwa mereka tidak dapat membangun Tembok Berlin terhadap pasar UE. Mereka tidak akan memcederai diri sendiri dengan mengisolasi dirinya melalui perang tarif dan bea masuk. Lebih penting bagaimana mengamankan posisi Kota London sebagai pusat pasar keuangan Eropa. Dari semula, Britania Raya akan mengedepankan dan memperjuangkan pasar bebas.
Ke-27 negara lain yang masih berada di dalam UE, mulai memperlihatkan kesetiaaannya terhadap organisasi itu. Sementara para oposan di negara anggota UE akan lebih sedikit menyuarakan usulan untuk mengadakan referendum “Exit”, yang lama-kelamaan akan terlupakan.
Pada saat yang bersamaan akan ada banyak janji yang dikedepankan seperti: UE akan tetap membantu Yunani dan negara lainnya yang berada pada poisisi yang lemah yang dapat mengakibatkan krisis baru di kawasan itu. Nyonya Merkel akan memperlihatkan sikap yang jauh lebih bersahabat dan lunak terhadap Yunani dibandingkan sebelumnya.
Kalau ternyata Boris Johnson dan Nigel Farage tidak dapat memenuhi janj-janji yang muluk, seperti pada kampanye sebelum referendum Brexit, masyarakat Inggris akan merasa sangat kecewa, dan mereka yang selalu ingin menunjukkan sifat populis di negara negara UE lainnya juga akan kehilangan dukungan.
Mata uang poundsterling juga secara pelan akan kembali menguat, kalau ternnyata pihak Inggris tidak memperlihatkan urgensi untuk menyelesaikan “Withdrawal Agreement” seperti yang dikemukakan Menteri Luar Negeri Indonesia. Bank sentral di dunia akan melakukan intervensi yang terselubung untuk menghindari gejolak valuta yang berkelebihan. Juga pasar modal akan kembali membaik karena banyak pembeli yang tertarik dengan harga saham yang sudah jauh lebih murah.
Pada akhirnya, ternyata, Brexit tidak akan mempengaruhi keuntungan korporasi di dunia.
Skenario Kelam
Kekacauan politik akan mengakibatkan kekacauan ekonomi. Kepercayaan di Britania Raya dan Eropa mencapai titik nadir, karena di negara anggota UE lainnya, pihak yang skeptis berhasil mendapatkan dukungan untuk melakukan referendum “Exit”. Terjadi ketakutan yang luar biasa virus Brexit menular menjadi Swexit, Frexit, Denxit, Nexit, dan sebagainya.
Investor internasional menghindari investasi di Eropa. Karena hengkangnya modal dalam jumlah besar ini, nilai poundsterling dan euro akan anjlok. Terutama untuk Britania Raya, hal ini akan berdampak sangat negatif. Inggris menghadapi neraca perdagangan yang negatif sebesar 7% bahkan harus meminta IMF untuk membantunya seperti di akhir dekade 70-an. Di negara-negara daratan Eropa yang ekonominya cukup kuat, partai politik yang populis akan memaksa untuk mengeluarkan Yunani dari pemakaian mata uang euro.
Pada triwulan III 2016 diputuskan untuk tidak lagi memberikan pinjaman kepada Yunani. Maka akan terlihat eksplosi suku bunga di negara-negara Eropa Selatan, seperti yang terjadi di Irlandia, hal mana sangat berhubungan dengan nasib yang dihadapi Britania Raya. Kelangsungan mata uang euro akan menghadapi keadaan yang berbahaya ketika Bank Sentral Eropa memperlihatkan 2.500 miliar dalam bentuk obligasi di dalam neracanya.
Euro akan anjlok dan akan terjadi penarikan dana besar-besaran pada perbankan, sama seperti yang terjadi pada krisis kredit tahun 2008. Pemerintahan di negara Eropa harus melakukan nasionalisasi terhadap bank yang bermasalah. Inilah krisis kedit 2.0, karena terjadinya di Eropa (Krisis kredit 1.0 terjadi di Amerika Serikat).
Kekacauan akan bertambah besar karena hancurnya keadaan keuangan dan ekonomi Britania Raya. Irlandia Utara yang memilih untuk tetap bergabung dengan UE akan memilih untuk bersatu dengan Irlandia dan Skotlandia, melepaskan kebergantungannya pada Inggris. Porak poranda Britania Raya akan mengakibatkan krisis ekonomi dan krisis moneter, di mana semua negara Eropa pada akhirnya harus mencetak mata uangnya sendiri dan pada akhirnya harus mengimplementasi kembali peraturan dan regulasinya masing-masing.
Pertanyaannya, apakah mimpi Winston Churchill untuk melihat Eropa Raya yang bersatu sekadar mimpi indah yang belum selesai, yang akan berakhir menjadi mimpi buruk. Hanya sejarah yang bisa menjawabnya.
Sumber: rangkuman pendapat berbagai ahli keuangan dan wawancara TV internasional
Penulis adalah Duta Besar RI untuk Polandia ( SP / IM )