DPR Bikin Sinetron Lagi


Tak terelakkan lagi bahwa sejarah Indonesia kelak akan mencatat bahwa seorang Gayus Halomoan Tambunan adalah penjahat yang paling hebat di negeri ini. Betapa tidak, Gayus tidak saja memporakporandakan institusi hukum di Tanah Air, dia  juga sukses memaksa Presiden RI yang keenam Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan 12 butir inpres hanya untuk mengusut aksi kejahatannya.

Tak cukup sampai di situ, DPR pun kini sedang menyiapkan Panitia Khusus (Pansus)  Hak Angket Mafia Pajak sebagai buntut dari aksi kejahatan Gayus, setelah mereka melihat pembentukan Panitia Kerja (Panja) tidak cukup untuk mengusut kasus tersebut.

Di luar penyelenggara negara, tokoh-tokoh masyarakat madani pun tak ketinggalan bergerak. Mereka menggalang gerakan untuk memerangi mafia hukum yang mencuat ke permukaan dan mengganggu rasa keadilan masyarakat akibat sepak terjang Gayus.

Pertanyaannya sekarang, apakah semua langkah dan gerakan itu akan efektif  mengungkap tuntas dan memberantas mafia pajak dan hukum di Tanah Air? Terus terang kita pesimis. Pertama, kasus Gayus sudah mencuat sejak Maret 2010, tapi hingga kini masih begitu banyak kejanggalan yang menyelimutinya. ICW mencatat paling sedikit ada sepuluh kejanggalan di seputar kasus Gayus.

Kedua, hanya selang beberapa hari setelah  Presiden SBY mengeluarkan inpresnya yang antara lain mendorong diberlakukannya pembuktian terbalik, Kapolri Jenderal Timur Pradopo langsung mematahkannya di depan Komisi III DPR dengan menyatakan bahwa pembuktian terbalik tidak bisa diterapkan dalam kasus Gayus. Lebih dari itu, inpres tersebut juga memberi porsi yang terlalu besar bagi Polri untuk mengusut kasus Gayus, padahal jauh-jauh hari banyak orang sudah mengingatkan bahwa polisi sulit untuk bertindak independen akibat konflik kepentingan. Belum lagi dengan penunjukan Wapres Boediono sebagai orang yang menjadi komandan penanganan kasus Gayus, di saat yang bersangkutan sendiri belum benar-benar bersih dari bidikan kasus bailout Bank Century.

Ketiga, KPK yang diharapkan proaktif menangani mafia pajak dan mafia hukum, bereaksi lambat. KPK terkesan tak berani melangkahi polisi yang tidak ingin kasus ini menjadi terang benderang karena bisa menjerat para petingginya. Akibatnya, hingga hari ini data 151 perusahaan pengguna jasa Gayus belum dimiliki KPK, sementara polisi sudah lebih seminggu mengantonginya.

Keempat, politisasi kasus ini sangat kental. Keterlibatan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang begitu intens merecoki sejak awal, justru membuat kasus ini makin melebar ke mana-mana hingga memasuki wilayah politik. Satgas, sebagaimana yang diakui Gayus, ditengarai menjadi konduktor agar kasus ini mengarah ke Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar. Tak pelak para petinggi Golkar pun mencak-mencak dan menghubungkan serangan Satgas ini dengan perhelatan politik  2014.

Dalam situasi karut marut seperti itu, kini giliran DPR yang mencoba mencuri poin politik dengan aksi membentuk Panja ataupun Pansus Hak Angket Mafia Pajak. Sekali lagi, kita sangat pesimis dengan langkah politik DPR ini. Cukup sudah masyarakat dikelabui dengan tontonan sinetron Pansus Hak Angket Century selama berbulan-bulan, yang hingga hari ini tak karuan juntrungan hasilnya.

Jika benar-benar ingin berkontribusi mengatasi mafia pajak dan mafia hukum di Indonesia, DPR sesungguhnya bisa memaksimalkan fungsi pengawasannya dengan mendorong  Komisi XI dan Komisi III untuk proaktif mengawasi proses hukum kasus Gayus dan kasus-kasus mafia lainnya. Tak perlu membentuk Panja maupun  Pansus Hak Angket yang hanya akan menghabiskan banyak anggaran, sementara hasilnya sudah bisa diprediksi; tak bakal lebih hebat dari Pansus Century.

Kita pun khawatir Pansus Hak Angket Mafia Pajak ini hanya akan kembali  dijadikan alat untuk melakukan barter politik.  Citra DPR selama ini yang sangat transaksional dalam segala hal, membuat kita pesimis DPR bisa belajar dari kasus Century. Gembar-gembor para inisiator bahwa mereka akan belajar dari blunder Century karena tidak meningkatkan Hak Angket menjadi Hak Menyatakan Pendapat, tak bisa dipegang sepenuhnya.

Apalagi, pagi-pagi hari di kalangan inisiator sendiri sudah pecah kongsi, dengan balik badannya tujuh inisiator dari Partai Demokrat. Mereka khawatir Hak Angket ini bisa menjadi senjata makan tuan bagi Presiden SBY. Selain itu, Golkar yang kini mendukung Pansus Hak Angket Mafia Pajak juga  sudah menyatakan akan menarik dukungan bila Pansus ini berujung pada impeachment (pemakzulan). Lalu apa gunanya Hak Angket ini bila tidak punya potensi untuk dinaikkan menjadi Hak Menyatakan Pendapat? Apa pelajaran yang bisa ditarik DPR dari Pansus Century?

Tapi sebagaimana biasa, hujan kritik sederas apa pun pasti tak akan menyurutkan langkah DPR membentuk Pansus Hak Angket Mafia Pajak. Rasanya percuma kita berkomentar banyak karena ungkapan “Anjing menggonggong kafilah berlalu” sudah menjadi falsafah hidup para wakil rakyat kita.  Karena itu, kita hanya bisa mengingatkan;  belajarlah dari Pansus Century. Jangan terus menerus membodohi rakyat dengan suguhan sinetron murahan dari Senayan.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *