Cerita Mistis di Balik Evakuasi Jatuhnya Pesawat Trigana di Papua


Tim gabungan telah berhasil melakukan evakuasi pesawat Trigana Air yang jatuh di Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, beberapa waktu lalu. Proses SAR yang tidak mudah itu ternyata juga dibumbui oleh kisah mistis.

“Kalau cerita mistis, ya memang ada kepercayaan penduduk setempat,” ungkap Komandan Korem 172 Pegunungan Bintang, Kolonel Inf Sugiyono usai mendapat penghargaan dari Basarnas di Gedung Basarnas, Kemayoran, Jakpus, Kamis (27/8/2015).

Sugiyono bersama pasukannya termasuk pihak yang pertama mencoba untuk masuk ke lokasi jatuhnya pesawat. Lokasi tersebut berada di pegunungan dengan hutan lebat yang belum pernah dijamah manusia.

Sebelum Basarnas datang, Sugiyono bersama pasukan telah berusaha untuk mencoba masuk. Hal tersebut dikarenakan Sugiyono juga merupakan komandan komando pelaksa operasi wilayah perbatasan dengan beberapa pasukan di bawahnya. Namun saat Basarnas datang, mereka pun bergabung untuk melakukan pencarian.

Untuk sampai ke lokasi, tim awalnya harus menempuh waktu 6 jam dari pusat Distrik Oksibil. Padahal jaraknya hanya 15 km saja.

“Medannya naik turun, itu ekstrem. Jurang, lereng-lereng. Dari poskotis di Koramil ada jalan setapak, bisa naik mobil 2 jam. Setelahnya harus jalan kaki 4 jam, padahal jaraknya hanya 4 km tapi banyak pepohanan dan jaraknya mepet-mepet sekali,” kata Sugiyono.

Akhirnya untuk memudahkan tim, pada hari kedua pencarian Sugiyono meminta izin kepada Bupati Pegunungan Bintang Wellington Wenda dan Dinas Perlindungan Hutan untuk membabat pohon-pohon untuk membuka jalur menuju lokasi. Akhirnya perjalanan darat dari yang awalnya perlu waktu jam hanya menjadi 1,5 jam.

Kendala lain saat evakuasi adalah suhu udara yang dinginnya cukup ekstrem. Selain itu kabut tebal di lokai membuat personel tim evakuasi kesulitan untuk visualisasi.

“Dinginya antara 10-14 derajat celcius. Sempat sampai 7 derajat hari kedua. Jarak pandang hanya 2 meter. Di awal-awal evakuasi ada permasalahan logistik juga. Kita harus berbagi dengan masyarakat yang juga ikut melakukan pencarian,” jelas Sugiyono.

“Hari itu yang ada di kios sudah minim, karena bantuan belum datang. Kita tim dari TNI-Polri ada 46, warga 100 orang,” sambungnya.

Setelah tiba pertama kali di lokasi jatuhnya pesawat, Sugiyono menyatakan hampir semua korban tewas berada di satu tempat. Hanya ada 4 jenazah yang terpisah sejauh 100 meter. Sebanyak 54 penumpang dan kru Trigana tewas dalam kejadian itu.

Pesawat tersebut juga membawa uang dana bantuan sosial sebesar Rp 6,5 miliar. Ketika ditemukan, uang tersebut tersebar di sekeliling lokasi. Ada yang di atas pohon, di bawah, masuk ke semak belukar, dan juga ada yang terbakar.

“Uangnya bertebaran di mana-mana. Sisa uang yang masih utuh ada Rp 700 juta. Terus kan ada yang sudah terpotong-potong dan bisa digabungngkan itu ada Rp 2 m. Sisanya terbakar,” terang Sugiyono.

Mengenai cerita mistis, itu benar-benar dialami oleh Sugiyono dan tim. Beberapa keanehan muncul saat tim tengah melakukan pencarian maupun evakuasi.

“Banyak yang kadang tiba-tiba ada muncul orang yang sebelumnya tidak dalam kelompok. Terus di hutan lebat seperti itu ada bebek. Terus juga ada anjing. Dari mana datangnya hewan di hutan rindang kayak gitu?” tutur Sugiyono heran.

Dengan adanya keanehan-keanehan seperti itu, tim evakuasi disebut Sugiyono sempat merasa kecewa dan kesal. Itu justru semakin menambah kemunculan hal-hal di luar kewajaran lainnya.

“Lalu secara tiba-tiba kabut jadi tebal, saya cuma bisa mandang jarak 1 meter. Muncul angin kencang lalu 20 menit berikutnya hujan deras. Kabut muncul terus. Akhirnya saya usul ke Bupati sesuai saran dari Ketua Adat untuk potong hewan ternak. Itu sebagai doa supaya proses evakuasi diberi kemudahan dan akhirnya bisa berjalan lancar. Ya percaya nggak percaya,” kisah Sugiyono panjang lebar.

Keanehan yang muncul selama proses SAR juga diamini oleh Kapolres Pegunungan Bintang AKBP Yunus Wally. Lokasi jatuhnya pesawat dikatakan Yunus merupakan daerah keramat.

“Gunung itu memang keramat. Pernah juga tahun 2007 di lokasi berdekatan ada pesawat jatuh. Itu di Distrik Kiwirok, korbannya meninggal semua,” ujar Yunus di lokasi yang sama.

Senada dengan Sugiyono, Yunus pun menyatakan kendala terberat selama proses evakuasi adalah medan atau geografis dan kondisi cuaca. Jarak pandang yang sangat pendek membuat anggota tim harus saling berteriak untuk melakukan komunikasi meski dalam jarak berdekatan.

“Hambatan cuaca, cuma dua meter jarak pandangnya. Kita di hutan harus selalu pakai senter HP itu, kabut tebal. Konflik sosial di sana juga ada,” kata perwira Polri yang juga mendapat penghargaan dari Basarnas itu.

Yunus pun menduga Pesawat Trigana jatuh saat hendak kembali ke Jayapura karena tidak bisa mendarat di Oksibil. Namun malang, sebelum berhasil balik kanan, pesawat pun menabrak gunung.

“Dia sempat muter di Oksibil sebelumnya tapi ada kabut tebal, sehingga Distrik Oksibil tertutup, akhirnya pesawat balik terus nabrak gunung,” pungkas Yunus.( Dtk / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *