JAKARTA – Penyegelan yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur, terhadap Masjid Adz-Dzikri pada Kamis, 28 Juli 2011, harus dicabut kembali. Ini karena penyegelan seharusnya dilakukan berdasarkan keputusan pengadilan, bukan hanya karena atas desakan kelompok garis keras.
“Penyegelan harus melalui proses pengadilan, tidak bisa dilakukan pemerintah daerah,” tegas Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Erna Ratnaningsih, ketika dihubungi SH, Senin (1/8). YLBHI sejak 2005 menjadi kuasa hukum jemaah Ahmadiyah di seluruh Indonesia.
Menurut Erna, dalam beberapa kasus penyegelan terhadap rumah ibadah, dilakukan tidak melalui proses hukum, tetapi hanya atas desakan kelompok tertentu. Contohnya, penyegelan rumah ibadah milik jemaah Ahmadiyah di Kuningan dan Depok.
“Ini berbahaya pada proses penegakan hukum dan kewibawaan hukum. Kalau ini dibiarkan terus, orang-orang dari kelompok minoritas terus dikalahkan, bisa jadi pada satu titik akan melakukan perlawanan. Ini sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa,” ia mengingatkan.
Seharusnya yang dilakukan pemda adalah melakukan penyadaran kepada masyarakat mengenai konsep pluralisme; walaupun berbeda tetapi tetap dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
“Seharusnya kelompok ulama juga introspeksi diri, melihat ke dalam, bahwa mereka harus memperkuat anggotanya sendiri sehingga tidak masuk ke kelompok yang tidak benar; bukannya malah menyerang atau melarang orang lain untuk menganut keyakinannya. Karena keyakinan orang itu tidak bisa dipaksakan,” tegas Erna.
Bertentangan dengan SKB
Pemkot Samarinda telah menyegel Masjid Adz-Dzikri pada Kamis, 28 Juli 2011. Padahal masdjid milik jemaah Ahmadiyah itu memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Samarinda Nomor 288/G-4/DTK-komas/Pr.B/xi//1993. Oleh sebab itu, tindakan penyegelan juga dikecam Aliansi Antikekerasan terhadap Umat Beragama Samarinda.
Melalui rilis yang diterima SH, Minggu (31/7), dijelaskan bahwa landasan hukum yang digunakan Pemkot Samarinda itu tidak memiliki kekuatan hukum, karena bertentangan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga menteri Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP/A/JA/6/2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan atau Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan masyarakat, serta SK Wali Kota Nomor 200/160/BKPPM.II/2011 tentang Perintah Penghentian dan Penutupan Aktivitas JAI, yang tidak menyebut satu kata pun tentang penyegelan rumah ibadah.
Aliansi juga menganggap penyegelan tersebut melanggar Pasal 29 (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. “Kami meminta Pemkot Samarinda mencabut penyegelan Masjid Adz-Dzikri dan mengembalikan fungsinya sebagai tempat ibadah,” demikian pernyataan pers itu.
Mereka juga mengimbau semua pihak supaya menghormati bulan Ramadan dengan menghargai ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin dan tidak mengedepankan tindak kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Terhadap penyegelan tersebut, mereka akan melaporkan hal itu kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kepolisian Negara RI.
Sementara itu, Rizka Argadianti Rachmah dari Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia mengatakan, Senin, ia sudah memperkirakan akan ada beberapa eksekusi terhadap beberapa rumah ibadah menjelang Ramadan.
“Karena masyarakat di Jakarta dan daerah-daerah tingkat pluralismenya terhadap kaum minoritas tidak tinggi. Semestinya Polri berdiri atas nama warga Indonesia, bukan warga agama. Tetapi selama ini polisi selalu terlambat mengantisipasi kekerasan yang menyangkut agama, karena tidak dalam visi melindungi kaum minoritas,” tegasnya.