Kemendagri hanya menyetujui APBD DKI 2015 sebesar Rp69,28 triliun.
Jalan menuju pemerintahan bebas dari praktik “pembegalan” uang rakyat yang diimpikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah komando Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok rupanya tak semulus yang diimpikan.
Banyak sudah yang menjadi korban dari sebuah cita-cita birokrasi bebas “begal” itu. Tak hanya harus menghela napas dan menghimpun kekuatan penuh untuk tetap bertahan dalam pusaran kisruh dengan legislatif ibu kota.
Namun, Ahok juga harus mengorbankan dirinya, wakilnya, PNS-PNS-nya dan masyarakat warga DKI Jakarta dalam sebuah drama mempertahankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2015.
Puncak dari semua kisruh itu adalah saat Kementerian Dalam Negeri menyatakan memangkas besaran APBD 2015 yang diajukan Pemprov DKI. “Itu tidak masuk akal dan logika,” kata Ahok, Senin, 13 April 2015.
Apapun yang dikatakan Ahok itu, tak lagi bisa menghadang pemangkasan anggaran oleh Kemendagri. Atas berbagai pertimbangan, Kemendagri akhirnya hanya menyetujui besaran APBD DKI tahun 2015 sebesar Rp69,28 triliun dari Rp72,9 triliun yang diajukan Pemprov DKI.
Kemendagri memangkas anggaran sebesar Rp3,62 triliun dengan alasan Pemprov DKI terlambat menyerahkan dokumen rincian APBD. Kemendagri memiliki kekhawatiran Pemprov DKI tidak akan bisa melakukan penyerapan anggaran secara optimal di sisa masa penggunaan anggaran selama 9 bulan jika usulan APBD sebesar Rp72,9 triliun tetap dikabulkan.
Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, termasuk di periode pemerintahan gubernur-gubernur sebelumnya, Pemprov DKI tidak pernah tepat waktu menyerahkan rincian APBD.
“Dari zaman Bang Yos, APBD DKI sudah bermasalah,” kata Ahok.
Karena itu, ia mengatakan alasan yang disampaikan Kemendagri sebagai alasan yang tidak masuk akal dan menurut dia di luar nalar konstitusi.
“Saya belum pernah dengar hanya karena kami telat 3 bulan menyerahkan APBD, uangnya jadi dibagi hanya untuk jatah 9 bulan lagi. Saya enggak tahu itu teori dari mana cara berpikir seperti itu,” ujar Ahok.
Jalan Panjang APBD DKI
Pada 27 Januari 2015, DPRD DKI mengesahkan APBD DKI 2015. Dalam APBD tersebut, besaran anggaran yang diajukan mencapai Rp73,08 triliun atau meningkat 0,24 persen dibanding APBD Perubahan tahun 2014 yang mencapai Rp72,9 triliun.
APBD tersebut terdiri atas pendapatan daerah sebesar Rp63,80 triliun, belanja daerah sebesar Rp67,44 triliun, defisit sebesar Rp3,64 miliar, dan pembiayaan daerah yang mencapai Rp3,64 miliar.
Pos pembiayaan daerah, terdiri atas penerimaan pembiayaan sebesar Rp9,28 triliun, dengan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) dari APBD DKI tahun 2014 sebesar Rp8,98 miliar, serta pinjaman dari proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) sebesar Rp298,57 miliar.
Sementara itu, pos pengeluaran pembiayaan, mencapai Rp5,63 miliar dengan rincian Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) untuk 3 BUMD milik Pemprov DKI sebesar Rp5,267 miliar, dan pembayaran pokok utang Pemprov DKI sebesar Rp9 miliar.
Namun, di tengah perjalanannya, terjadi sebuah kekisruhan besar antara Pemprov DKI Jakarta dan DPRD. Kisruh itu bermula dari dikembalikannya draf APBD DKI oleh Kemendagri setelah sempat diserahkan Pemprov DKI ke Kemendagri.
Draf APBD 2015 itu dikembalikan karena banyak ketidaksesuaian besaran nilai mata anggaran yang ada dalam draf itu dengan draf APBD hasil rapat paripurna DPR DKI.
Usut punya usut ternyata diduga Pemprov DKI Jakarta telah mengubah draf itu sebelum dikirim ke Kemendagri.
Pemprov DKI Jakarta dengan lantang menyatakan bahwa draf itu tidak diubah, tapi hanya dibersihkan dari mata anggaran yang rentan “dibegal” dan mata anggaran yang diduga hasil titipan anggota DPRD.
Hal itu membuat DPRD naik pitam karena merasa telah dipermainkan. DPRD DKI pun membentuk hak angket untuk menyelidiki dugaan pelanggaran konstitusi yang dilakukan Ahok.
Kisruh itu berkepanjangan hingga menyebabkan terjadinya keterlambatan dalam penyusunan ulang draf APBD seperti yang diminta Kemendagri saat mengembalikan draf.
Beberapa kali Pemprov DKI dan DPRD dipertemukan agar bisa menemukan kata sepakat, tapi semua itu sia-sia.
Hingga pada akhirnya, Pemprov DKI terpaksa menggunakan Peraturan Gubernur (Pergub) yang menyatakan bahwa DKI kembali menggunakan besaran anggaran sebesar Rp72,09 triliun sesuai APBD-P DKI 2014.
Tapi, besaran anggaran itu kembali dipangkas oleh Kemendagri menjadi Rp69,28 triliun saja.
Tuah Kisruh
Tuah dari kisruh panjang itu pun satu per satu mulai terlihat jelas di depan mata. Usai keputusan pemangkasan besaran anggaran itu, dipastikan sejumlah rencana besar Pemprov DKI urung terlaksana.
Salah satu keinginan terbesar Pemprov DKI yang gagal dilaksanakan ialah memberikan modal kepada sejumlah badan usaha milik daerah (BUMD).
Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek mengatakan, Pemprov DKI hanya dapat memberikan penyertaan modal pemerintah (PMP) kepada dua dari enam BUMD yang sebelumnya telah dianggarkan dalam draf APBD DKI 2015.
Dua BUMD itu adalah, MRT dan PT TransJakarta. “Yang diajukan saat ini hanya untuk MRT sebesar Rp4,6 triliun dan TransJakarta sebesar Rp1 triliun,” kata Donny di kantor Kemendagri.
Sementara itu, empat BUMD yang gagal mendapatkan BUMD antara lain, PT Food Station, Bank DKI, PT Ancol, dan Jamkrida.
Namun, jumlah BUMD yang menerima PMP bisa saja bertambah jika permohonan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk memberikan PMP kepada PT Food Station diterima Kemendagri.
“Terhadap usulan itu (PMP untuk PT Food Station) akan ditampung di APBD perubahan pada bulan Juni. Akan diajukan nanti baru kami sahkan lagi,” ujar Donny