Aceh, Syariat dan Baju Ketat


Sebanyak 118 perempuan terjebak dalam razia busana muslimah. Usai dinasehati, mereka diperbolehkan kembali melanjutkan perjalanan. (SH/Junaidi Hanafiah)

Perempuan itu sudah biasa melewati Masjid Raya Baiturrahman setiap hari. Namun, pada Kamis (9/6) lalu, ada kejadian tak biasa menimpanya.

Tepat di depan masjid besar itu, ia harus berurusan dengan polisi syariat, gara-gara memakai pakaian ketat. Dewi demikian perempuan itu disapa setiapnya harinya. Usianya 21 tahun, tinggal di kawasan Lanteumen.

Ia adalah seorang mahasiswi di Universitas Syah Kuala, Banda Aceh. “Saya selalu lewat jalan ini kalau pergi ke kampus,” katanya. Naas menimpa Dewi, ketika Polisi Syariat Islam atau Wilayatul Hisbah (WH) merazia perempuan-perempuan berpakaian ketat di depan Masjid Baiturrahman.

Dewi pun tertangkap karena ia mengenakan celana jeans ketat dipadu dengan kaos oblong ketat. Saat aparat penegak syariat islam Provinsi Aceh bersama Satpol PP menghentikan sepeda motornya, Dewi hanya pasrah.

Setelah turun dari sepeda motornya, Dewi diminta menghadap beberapa personel WH yang sudah siap mendata dan memberi nasihat kepada siapa pun yang melanggar Qanun No 11 tahun 2002 tentang syariat islam.

Selain Dewi, puluhan perempuan lainnya juga telah dikumpulkan di dekat pagar Masjid Raya Baiturrahman. Kasusnya sama dengan Dewi, memakai celana atau baju ketat dan ada yang tidak memakai jilbab. Setelah 10 menit mendengarkan nasihat dari seorang personel WH, Dewi menandatangani lembaran buku bertuliskan identitas dirinya.

“Tadi orang WH menasihati agar kami tidak lagi memakai pakaian ketat karena hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam, mereka hanya menangkap perempuan yang beragama Islam, jika perempuan non-Islam mereka hanya diminta menghormati aturan yang berlaku di Aceh,” katanya. Dewi mengaku baru pertama kali terjaring razia WH. “Sebelumnya saya belum pernah di tangkap oleh WH,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Operasi Penegakan Syariat Islam Wilayatul Hisbah Banda Aceh Syamsuddin menyebutkan, dalam razia yang dilaksanakan WH dan Satpol PP Aceh selama dua jam pada Kamis (9/6) sebanyak 118 perempuan terjebak dalam razia busana muslimah.

Usai dinasehati, mereka diperbolehkan kembali melanjutkan perjalanan. Syamsuddin mengatakan, sebagian besar warga yang terjebak razia busana adalah mahasiswi yang mengenakan celana jeans ketat, legging, dan tidak berjilbab. “Peringatan ini kita berikan bagi yang terjaring baru pertama kali. Kemudian jika nanti tertangkap lagi, akan kita bina,” katanya.

Wilayatul Hisbah rutin menggelar razia busana di sejumlah ruas jalan di Banda Aceh. Razia busana juga dilakukan di kawasan pantai. Bulan lalu, Wilayatul Hisbah menggelar razia busana di Simpang Mesra dan mendapati 85 perempuan tak berbusana muslimah.

“Beberapa minggu yang lalu kami juga melaksanakan razia di jalan Banda Aceh — Meulaboh tepatnya di Kecamatan Peukan Bada kabupaten Aceh Besar, di sana kami juga menangkap seratusan pelanggar Syariat,” kata Syamsuddin.

Pelanggaran

Human Right Watch (HRW) ) menilai, penerapan Syariat Islam ini melanggar HAM. Dalam laporannya disebutkan, Peraturan Daerah atau Qanun Syariat Islam di Aceh melanggar hak asasi manusia.

Ini karena Qanun di Aceh mendiskriminasi perempuan dan membuka peluang terjadinya kekerasan massal dengan dalih menegakkan syariat Islam. Laporan yang disusun Christen Broecker, peneliti Divisi Asia Human Rights Watch, mengkritik Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum) dan Qanun Nomor 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam dalam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.

“Dua Peraturan Daerah Syariah di Provinsi Aceh, Indonesia, melanggar hak asasi dan sering kali diterapkan dengan cara yang kasar oleh pejabat publik bahkan individu,” ungkapnya.

Laporan HRW juga mendokumentasikan pengalaman-pengalaman orang-orang yang pernah dituduh melanggar peraturan Syariah yang melarang perbuatan bersunyi-sunyian dan penerapan secara paksa persyaratan busana kepada penduduk Muslim.

“Peraturan mengenai larangan perbuatan bersunyi-sunyian mengatakan bahwa kebersamaan individu-individu yang berbeda jenis kelamin dan tidak menikah adalah sebuah tindakan kriminal,” katanya.

Menurut HRW, polisi syariat sering menerjemahkan perbuatan bersunyi-sunyian secara luas. “Polisi syariat terlalu sering menginvestigasi pelanggaran secara tidak profesional dan kasar lalu menuntut dengan tidak pantas serta ilegal resolusi-resolusi seperti perkawinan paksa,” sebut HRW dalam laporannya.

Tentu saja, Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aaceh Rusdi Ali Muhammad membantah tudingan HRW itu. Ia mengatakan, pelaksanaan aturan Islam di Aceh tidak melanggar HAM karena aturan tersebut dibentuk secara legal dan mendapat dukungan dari negara.

“Suatu aturan baru dianggap melanggar HAM apabila tidak sesuai dengan aturan dalam sebuah Negara, sementara itu pemberlakukan Syariat Islam di Aceh mengikuti keputusan atau Undang-Undang yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia,” katanya

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

3 thoughts on “Aceh, Syariat dan Baju Ketat

  1. Colby Vardy
    January 6, 2015 at 1:03 pm

    baju rajut murah hanya 21rb

  2. Yahaira Courey
    January 7, 2015 at 12:47 am

    baju rajut murah harga 20.000

Leave a Reply to Yahaira Courey Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *