Di Manakah Engkau, Negara?


Setelah reformasi, rakyat kehilangan pemerintahan yang berwibawa. Negara dan pemerintahan memang
masih ada, tetapi sekaligus juga tidak ada karena tidak hadir dalam kehidupan rakyat.Di manakah engkau
negara ketika kami tidak mampu membayar saat anak kami harus dioperasi? Di manakah engkau negara
ketika kami harus membangun kembali rumah kami yang lenyap oleh bencana? Di manakah engkau
negara ketika rumah ibadah kami ditutup paksa?

Namun, engkau muncul dengan kekuasaanmu ketika kami harus mengurus kartu penduduk, ketika mau
mengawinkan anak kami, ketika mengurus paspor, dan ketika mengurus izin usaha. Mengapa engkau
tidak hadir pada waktu rakyat kecil ini membutuhkan kekuasaanmu, tetapi justru hadir untuk menyulitkan
hidup kami?

Apa gunanya memiliki negara? Namun, akan ke manakah kami ini kalau tak harus di sini? Negara adalah
alamat kami mengadu kalau kami diperlakukan tidak adil. Negara adalah tempat kami berlindung apabila
bencana datang di luar kesalahan kami.

Sebelum reformasi, kami memiliki dua bapak yang akhirnya tidak kami sukai, tetapi keduanya berani
bertanggung jawab dengan cara mereka sendiri bagaimana melindungi rakyatnya. Bahkan, kami berani
untuk meminta nama bagi bayi kami. Kaum politisi mungkin tidak menyukai mereka berdua, tetapi kami,
rakyat kecil ini, tahu kepada siapa kami harus mengadu, meminta restu, bahkan mencaci maki. Negara itu
ada lantaran kami mengetahui alamatnya. Namun sekarang, siapakah negara ini? Kalau kami mengadu,
bola dilemparkan ke mana-mana.

Kami tidak tahu bagaimana pikiran para cerdik pandai yang mengurusi kekuasaan di negeri ini. Pada
waktu kedua bapak kami berkuasa, dan terasa hadir kekuasaannya, mereka dituduh otoriter. Namun,
setelah demokrasi yang mereka inginkan dilaksanakan sejak 1998, gerakan-gerakan menuju otoriter yang
sesungguhnya justru dibiarkan?

Reformasi kaum cerdik pandai dilancarkan berdasarkan buku-buku bangsa-bangsa yang usianya jauh
lebih tua daripada negara kami. Mereka tidak membaca realitas bangsa yang baru pada 1950 benar-benar
mandiri. Pemerintahan berdasarkan partai-partai politik telah berlangsung ratusan tahun di negara buku-
buku itu. Kesadaran rakyat terhadap politik dan kepartaian juga sudah tinggi, kira-kira sejajar dengan
kaum cerdik pandai negeri ini.

Akan tetapi, lebih dari setengah–bahkan tiga perempat–rakyat Indonesia buta politik, apalagi
memahami apa faedahnya partai politik bagi kehidupan mereka. Ketika mereka harus mencontreng tanda
gambar atau potret orang, mereka bingung karena hal itu tidak bermakna bagi mereka. Tentu saja mereka
akan mencontreng gambar orang yang setiap hari muncul di televisi sebagai pelawak.

Sistem politik di negeri ini harus dibaca ulang, tidak mengekor bangsa lain yang punya sejarah dan
konteks sosio-budayanya sendiri. Apa dan siapakah Indonesia ini pada zaman modern? Indonesia bukan
Malaysia, Singapura, atau Nigeria. Mungkin malah mirip India atau China. Inikah yang membuat negara
dan pemerintahan sejak reformasi ”tidak ada”? Sedangkan pada masa demokrasi otoriter malah ada?

PETRUK PUN JADI RATU

Apakah dari 200 juta rakyat Indonesia ini tak ada barang 2.000 atau 3.000 cerdik pandai yang benar-benar
mengenali realitas Indonesia yang sebenarnya? Mereka yang kritis terhadap buku-buku teori? Jumlah itu
akan cukup mengisi kursi-kursi penting pada sektor-sektor legislatif, eksekutif, yudikatif, dan pertahanan?

Salah orang di tempat yang salah, itulah kondisi saat ini. Salah orang justru terjaring dalam sistem politik,
sedangkan orang-orang yang tepat, the right man, justru mubazir. Masalahnya bagaimana menempatkan
putra-putra terbaik itu di tempat yang tepat? Sekarang ini banyak Petruk jadi ratu. Bagaimana nasib
negara apabila jatuh pada kekuasaan tokoh semacam Petruk ini? Atau Bagong dan Limbuk?

Para pendiri republik ini, yang mengenal betul kehidupan kami rakyat kecil ini, karena mereka benar-
benar pernah hidup di antara kami, telah mendesain sistem pemerintahan yang khas Indonesia meski
mungkin agak mirip dengan sistem sosialis di negara-negara komunis. Lembaga tertinggi negara ini
adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berhak untuk memandatkan kekuasaan kepada presiden
yang mereka pilih. Rakyat cukup sekali saja melaksanakan pemilihan umum untuk menunjuk wakil-wakil
mereka di MPR itu. Seharusnya MPR inilah yang benar-benar diinginkan dan dipilih oleh rakyat.

MPR adalah lembaga keresian. Resi adalah orang-orang bijak di bidangnya dan kenyang pengalaman.
Lembaga resi inilah yang memilih presiden dan berkuasa menurunkan presiden kalau kebijaksanaan
pemerintahannya merugikan rakyat yang mempercayakan mandatnya kepada para anggota MPR yang
resi-resi itu. MPR adalah pemegang mandat rakyat, kekuasaan tertinggi negara, tetapi tidak menjalankan
kekuasaannya itu. Para resi ini menyerahkan mandat kekuasaan kepada ratu atau presiden. Meski
presiden berkuasa, dia bukan pemilik kekuasaan itu karena pemiliknya adalah MPR. Sistem ini mencegah
munculnya ratu atau presiden sebagai penguasa otoriter.

Apakah Indonesia ini kekurangan resi tani, resi agama, resi adat, resi ekonomi, resi teknologi, dan ratusan
resi yang lain? Mereka inilah the right man. Orang-orang benar ini tentu akan memilih tanpa pamrih
orang yang tepat dan benar sebagai ratu atau presiden Indonesia. Jadi, presiden benar-benar dipilih oleh
orang-orang yang melek politik, melek budaya, dan melek ekonomi. Ya, daripada dipilih dengan biaya

mahal oleh kami yang buta dengan semua itu.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *