Kisah Kosim, Mulai dari Pekerja Pengerukan sampai Sopir Grab Kapal di Marunda
dilaporkan: Liu Setiawan
Jakarta, 12 September 2025/Indonesia Media – Sengatan terik matahari di Jakarta Utara, menutupi suara deburan ombak yang dipecah oleh konstruksi dinding penahan di sepanjang Pantai Marunda, merupakan bagian dari keseharian Abdul Kosim (73). sesekali ia mengawasi kapalnya yang ditambatkan di dermaga dengan konstruksi kayu bambu. Ia duduk di atas dipan sambil menunggu sekali-kali ada yang mau pesan mie instan atau kopi hangat. Abdul Kosim, warga Marunda yang mulai masuk ke Marunda, kec. Cilincing tahun 1982/1983, ketika pelabuhan di areal usaha milik PT KBN (Kawasan Berikat Nusantara) mulai dibangun. Waktu itu, Kosim masih bekerja untuk perusahaan kontraktor pengerukan, konstruksi pengaman pantai Marunda dan beberapa di Pesisir Teluk Jakarta, yakni PT SAC Nusantara. “Saya sudah mulai kerja (proyek pengerukan) tahun 1980, dan keliling sampai ke Aceh, Papua, Sulawesi, Bangka Belitung dan lain sebagainya, bahkan sampai Singapura. Setelah selesai proyek di luar pulau, saya balik ke Marunda. Karena keluarga saya disini,” kata Kosim, yang lahir di Palembang.
Selama 40 tahun ia berlayar dari satu pulau ke pulau lain, dan kerja untuk berbagai proyek pengerukan khususnya pelabuhan, pengaman pantai, breakwater. Tapi karena faktor usia, ia memilih pensiun dari PT SAC Nusantara yang kantor pusatnya di bilangan Kuningan Setiabudi Jakarta Selatan. Marunda dulu dan sekarang, jelas berbeda. Terutama sebelum PT KBN berdiri, dengan ekosistem kawasan industri, pelabuhan, logistik. “Tapi sekarang ada docking Repair kapal-kapal pesiar, termasuk yang dari perumahan elite Pantai Mutiara (Pluit). dulu, lokasi KBN berupa empang-empang. Istilahnya, itu kampung orang Betawi. Tapi karena ada pembangunan KBN (1982/1983), orang Betawinya pindah. Saya juga mulai kerja di pengerukan Marunda saat itu, dan temu calon istri saya yang juga orang Betawi,” kata Kosim.
Setelah pensiun, jiwanya masih tetap tidak lepas dari kegiatan berlayar. Tapi sekarang, ia tidak berlayar dari satu pulau ke pulau lain, melainkan hanya sebatas dari pantai Marunda sampai beberapa kilometer saja ke lepas pantai. ia mengibaratkan pekerjaannya sekarang, seorang sopir grab di laut. Ia sering mengantar masyarakat yang mau larung abu di laut, tabur bunga, mancing di bagan dan lain sebagainya. Karena sudah sangat dikenal oleh para ABK (anak buah kapal), penumpang khususnya kapal yang bertambat labuh di Marunda, nomor kontak Handphone nya disimpan. Kadang ada ABK yang mau pulang misalkan ke Sulawesi, ia jemput sampai tengah laut. Lalu, ABK tersebut biasanya menginap di hotel di Jakarta dan lanjut ke Bandara Soekarno Hatta Cengkareng terbang ke Sulawesi. “Kalau antar penumpang untuk larung abu, mancing, tabur bunga, saya kenakan biaya Rp 50.000 Pp (pulang pergi). kalau ada kapal bongkar muat, dan ABK nya mau mendarat, saya kenakan agak mahal, Rp 75 – 100 ribu. Sebagian besar punya nomor Handphone saya. Selain sebagai sopir grab kapal di Marunda, saya buka warung kopi dan mie instan. Penghasilan saya juga nggak pasti. Kalau sedang banyak yang butuh kapal, saya bisa dapat Rp 300.000 per hari. Kalau sepi, sekitar Rp 100 – 150 ribu,” kata Bapak dari delapan anak. (LS/IM)
















