Kritikan kepada Presiden SBY yang doyan berkeluh-kesah kepada rakyatnya, seperti yang terakhir berkeluh-kesah, curhat kepada rakyat karena dirinya direncanakan sebagai sasaran teroris, ditanggapi oleh Wakil Ketua Dewan Pembinaan Partai Demokrat Marzuki Alie, seusai rapat pimpinan di Gedung DPR, Selasa, 10/08/2010. Kata Marzuki, keluh-kesah Presiden SBY tidak ada salahnya. Sah-sah saja, karena keluh-kesah SBY itu tidak meyakiti orang lain.Kata dia, sikap Presiden SBY ini jauh lebih baik, daripada diam-diam menghanyutkan.
Ada presiden terdahulu, yang kelihatannya diam, senyum-senyum, tetapi di balik itu dia memerintahkan untuk menangkap, menghilangkan, dan bahkan membunuh. “Ada orang yang emosional begitu diancam dia balik membunuh, apa kita mau punya presiden begitu. Begitu dia diancam dia membunuh. Yang jelas apa yang disampaikan presiden itu terkait ancaman keamanan, dan (kalau menyangkut keamanan) semua harus tahu, harus sadar,” demikian Marzuki seperti diberitakan detik.com, 10/08/2010.
Tanggapan saya:
Siapa bilang, keluh-kesah Presiden SBY tidak menyakiti? Menyakiti secara langsung fisik memang tidak. Apalagi sampai berpikir terlalu jauh dengan mengibaratkan apakah mau punya presiden pembunuh para pengkritiknya. Pikiran yang terlalu jauh melenceng dari substansi kritikan. Kalau punya presiden seperti itu, bukan lagi kritikan yang harus diterimanya, tetapi mutlak harus diturunkan secara paksa dan diadili secara hukum dengan hukuman seberat-beratnya.
Keluh-kesah presiden tidak ada salahnya, kalau seandainya nasib rakyatnya terlebih dahulu telah benar-benar diperhatikan sepenuhnya.
Faktanya? Sudah lebih dari empat tahun berlalu, puluhan ribu korban lumpur Lapindo yang masih terus menderita tanpa kepastian, dan musnah/rusaknya infrastruktur-infrastruktur vital negara, anggaran negara yang tersedot sampai triliunan rupiah, kerugian ekonomi khususnya Jawa Timur yang mencapai ratusan miliar per hari, dan seterusnya akibat dari lumpur Lapindo.
Hanya di awal-awalnya saja SBY kelihatan seolah-olah menaruh perhatian, bahkan menyumbang air matanya di depan korban lumpur Lapindo, dan sempat melontarkan gertakan sambalnya dengan dua kali ultimatum yang sama sekali tidak digubris kubu Bakrie, setelah itu diam seribu bahasa. Bahkan di dalam diamnya itu justru demi kepentingan politiknya berkoloborasi dengan kubu Bakrie, dan membebankan negara atas kerugian yang ditimbulkan yang seharusnya ditanggung oleh kubu Bakrie.
Setelah itu SBY tidak pernah lagi bersuara, diam sejuta bahasa. Tidak ada lagi aksinya sama sekali, seperti sedang di bawah kontrol kubu Bakrie.. Diamnya SBY jelas sangat menyakiti hati para korban lumpur Lapindo. Juga rakyat Jawa Timur pada umumnya.
Gas elpiji meledak di mana-mana, hampir tak ada bedanya dengan bom teroris. Menghancurkan puluhan rumah, menewaskan beberapa orang, berbulan-bulan sudah. Di manakah suara, apalagi tindakan nyata dari SBY? SBY “hanya” diancam teroris. Tetapi rakyat sudah diserang “teroris” dengan ledakan-ledakan elpiji itu.
Umat agama minoritas SUDAH Â Â ratusan kali diteror dengan cara yang begitu brutal dan terang-terangan. Sudah ratusan rumah ibadahnya ditutup paksa dan dirusak. Bahkan mereka yang sedang menjalani ibadahpun bisa dengan leluasa di depan hidung aparat kepolisian dibubarkan dan dianiaya secara fisik sampai terluka. Di manakah suara, apalagi tindakan nyata dari SBY? (Lebih jauh tentang ini, silakan baca tulisan saya di: http://hankam.kompasiana.com/2010/08/09/simpatisan-fpi-di-pemerintahan/
Persoalan byar-pet listrik, dan harga barang-barang terus mendaki, terutama sembako, sampai tingkat yang melebihi kemampuan daya beli rakyat kecil. Tetapi dengan entengnya Presiden SBY berkomentar: “Kenaikan harga itu wajar.” Seolah-olah, kalau harganya tetap, atau malah turun, maka itu adalah seuatuyang tidak wajar. Rakyat kecil menjerit dengan kenaikan tersebut. Tetapi presidennya malah seperti mengejek berkata, kenaikan harga itu masih wajar.
Korupsi yang semakin merajalela, mulai dari Pusat sampai ke daerah-daerah. Bahkan korupsi di daerah-daerah semakin menukik tajam sebagai akibat dari kebijakan pemekaran wilayah yang ambur-adul, dan seterusnya. Di manakah suara, apalagi tindakan nyata dari SBY? Di tengah-tengah tekanan yang bertubi-tubi itu, kita hampir tidak pernah mendengar rakyat yang menjadi korban itu sampai berkeluh-kesah seperti SBY yang rajin curhat tersebut kepada rakyatnya yang sedang susah karena dia terlalu banyak diam.
Siapa rakyat yang tidak sakit hati, melihat fenomena ini? Rakyat tersakit-sakit didera dengan beraneka persoalan seperti yang saya sebutkan di atas yang seharusnya SBY sebagai presiden menjadi orang pertama yang bertindak tegas, sebagai penyagom rakyat, malah diam seribu bahasa. Seolah-olah membiarkan dan merestui semua itu terjadi. Namun begitu dirinya sendiri terdengar hendak dijadikan sasaran, entah itu sasaran kritik, atau sasaran serangan fisik (teroris), SBY langsung seperti spontan curhat, berkeluh-kesah kepada rakyatnya yang sudah entah berapa kali dan berapa lama menjadi korban ketidakadiland dari pemerintahannya.
Kalau presidennya tidak perduli dengan nasib rakyatnya, jangan salahkan rakyatnya kalau tidak perduli juga dengan keluh-kesahnya. Kalau sudah begini, masih adakah eksistensi NKRI? Benar, kata Marzuki, bahwa SBY, bukan presiden yang diam-diam menghanyutkan, tetapi presiden yang diam-diam menghancurkan. Menghancurkan tatanan kehidupan berbudaya, kehidupan beragama, kehidupan sosial dan ekonomi rakyat, dan seterusnya.