Di Indonesia banyak orang berpendapat bahwa berusaha di bidang minyak kelapa sawit adalah cara mencari nafkah yang sangat menguntungkan dan sekaligus ramah lingkungan. Lagi pula, selain bisa dikonsumsi, minyak
kelapa sawit juga bisa dijadikan bahan bakar.
Tapi organisasi lingkungan hidup Belanda Milieudefensie atau Pertahanan Lingkungan menilai, penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar, lebih banyak merusak lingkungan ketimbang bahan bakar konvesional seperti disel. Pegiat lingkungan Belanda  yang bermitra dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ini prihatin terhadap nasib hutan asli di Indonesia yang banyak dibabat oleh berbagai perusahaan.
Perusahaan Malaysia
Sebagai contoh Ritsema menyebut perusahaan minyak kelapa sawat Malaysia yang dianggapnya merupakan penyebab besar pencemaran lingkungan di Indonesia.”Kami telah meneliti cara perusahaan itu beroperasi. Mereka antara lain bersalah melakukan pembabatan hutan secara ilegal. Kami berhasil membongkar kasus ini dan telah menyusun laporan tentang itu. Kemudian kami berbicara dengan perusahaan tersebut, tapi tidak membuahkan hasil.”Oleh karena itu Milieudefensie menyampaikan keluhan di organisasi gabungan industri minyak kelapa sawit. “Dengan cara ini kami melakukan desakan,” tandas Ritsema.
Ritsma menambahkan, secara umum di Indonesia pembabatan hutan terjadi luar biasa. Oleh karena itu Indonesia termasuk negara-negara yang terbanyak menyemburkan emisi CO2. Tiongkok nomor satu, kemudian disusul Amerika dan setelah itu Indonesia.
CO2
“Ini aneh, karena Indonesia sebenarnya bukan negara yang paling maju industrinya. Tapi emisi CO2 itu disebabkan karena hutan banyak ditebangi,” tandas Ritsema. Karena pohon-pohon ditebangi, maka berkuranglah pohon yang menyedot CO2, jelas Ritsema.Kendati demikian, sekarang di Indonesia banyak proyek-proyek penanaman pohon, misalnya apa yang dilakukan oleh berbagai LSM di Jawa. Menurut Ritsema, proyek-proyek itu tidak bakal mampu berlomba melawan gencarnya penebangan hutan tadi. “Manfaatnya kurang kalau pohon ditanam tapi hutan tetap dibabat. Ini merupakan kemunduran”
Namun Ritsema melihat proyek-proyek tersebut ada manfaatnya. “Saya kira, proyek penanaman pohon itu ada juga dampak positifnya. Tapi ini tetap tidak akan bisa metralisir dampak pengrusakan hutan rimba. Proyek penanaman pohon itu tidak bakal bisa memulihkan hutan rimba.”
Sikap pemerintah RI
Namun syukur banyak juga hutan rimba yang diselamatkan. Pemerintah Indonesia tampaknya memang prihatin terhadap pembabatan hutan rimba. Tapi, tambah Ritsema, harus ada langkah kongkrit.
“Kami berpendapat, permintaan terhadap produk tertentu harus dikurangi. Atau produksi harus dilakukan dengan cara langgeng. Jadi, merupakan kombinasi.”Minyak kelapa sawit banyak digunakan sebagai pangan dan juga sebagai bahan bakar untuk mobil. Milieudefensie menilai penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar, bukanlah gagasan yang bagus.
Cari alternatif
Karena hal ini menggalakkan untuk membuka usaha di bidang minyak
kelapa sawit. Dan dampaknya adalah makin banyak hutan dibabat untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Sebaiknya dicari alternatif supaya jangan menggunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar.”Kalau dilihat dari proses produksi yang diawali dari penebangan hutan, pembersihan lahan, trasport – karena minyak kelapa sawit harus diangkut ke Eropa – dampak pembakaran dan lain-lain, maka minyak kelapa sawit lebih buruk dampaknya buat lingkungan dibandingkan disel konvensional.”
Tiap tahun kalau hari lingkungan internasional tiba, sering digelar acara penanaman pohon. Menurut milieudefensie, ini kegiatan baik untuk melestarikan lingkungan, tapi jauh dari cukup. Ritsema tetap berpendapat, yang paling penting adalah pengurangan produksi minyak kelapa sawit.
Label FSC
Lalu apakah sama sekali tidak boleh menembang pohon? Boleh saja, asal hutannya tetap dilestarikan. Kayu-kayu yang dipotong dan banyak diimpor misalnya ke Belanda harus memenuhi syarat label FSC (Forest Stewardship Council). “Kalau kayunya berlabel FSC, kita tahu proses penebangannya tanpa merusak hutan rimba.(RNW/IM)