Industri Patin Terintegrasi di Banyuasin Butuh Efisien Logistik
dilaporkan: Setiawan Liu
Jakarta, 3 Maret 2020/Indonesia Media – Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Deny Mulyono menyoroti sistem logistik terkait dengan rencana Pemerintah membangunan industri patin terintegrasi di desa Merah Mata, kecamatan Banyuasin, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan (Sumsel). Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengacu pada keberhasilan budidaya patin di Vietnam yang mengandalkan sungai Mekong. Aliran sungai Mekong dimanfaatkan untuk sirkulasi air serta pasang surutnya sangat membantu kejernihan air. Selain, endapan pada kolam-kolam patin tereduksi. “Saya setuju dengan rencana KKP, (bahwa) kalau mau membangun integrasi budidaya patin hulu – hilir di Merah Mata Banyuasin, harus seperti di Mekong. Tapi bagaimana pemasarannya?, apakah hanya di Sumatera Selatan atau sampai pulau Jawa. Palembang – Lampung, memang sudah ada jalan tol dengan jarak tempuh lebih cepat. Ruas tol Terbanggi Besar – Pematang Panggang – Kayu Agung sepanjang 189 Km, bisa ditempuh (Lampung ke Palembag) sekitar tiga jam (duluya 10 jam). Sehingga logistik yang lebih efisien sangat dibutuhkan,” kata Deny kepada Redaksi.
Untuk memasarkan produk perikanan termasuk patin, udang di Amerika, trader harus bisa melihat kondisi retail. Sebagian produk perikanan yang diekspor dari Indonesia, bukan end consumer (konsumen akhir). Retailer tentunya mengambil margin dari hasil penjualan. “Grosir di Amerika butuh harga, bisa dapat margin. Kalau harga tidak competitive, sulit juga. Pasar seafood banyak, harganya Rp 250 ribu per kilo (harga di restoran untuk vanname hidup). Padahal pembudidaya, khususnya di Jawa Barat harus berpikir bagaimana penyerapan udang di pasar ekspor. Untuk tetap menjaga stabilitas, kita juga harus memperkuat pasar dalam negeri,” tegas Deny.
Sebelumnya, Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto mengutarakan rencana industrialisasi patin terintegrasi di Merah Mata. Konsep pengembangan patin mengadopsi keberhasilan budidaya di Vietnam, yakni pemanfaatan pasang – surut air sungai Mekong. “Industri patin terintegrasi seperti di Mekong, Tentu ini, dalam upaya meningkatkan supply patin terutama pasar ekspor,” kata Slamet pada acara Outlook Perikanan 2020 TComm (Trobos Communication) beberapa hari yang lalu.
Di tempat berbeda, pelaku usaha perikanan melihat perlunya sarana dan prasarana budidaya patin khususnya di Sumatera Selatan, mengingat Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang memproyeksikan pembangunan industri patin di desa Merah Mata, kecamatan Banyuasin, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan (Sumsel). Sektor hulu sudah memadai, yakni tersedianya sekitar 100 kolam untuk budidaya patin. “Tapi hilirisasi belum efektif khususnya untuk fillet,” pembudidaya patin dari Banyuasin Joni mengatakan kepada Redaksi.
Khususnya Banyuasin, para peternak ikan patin harus berjibaku dengan para trader atau pengumpul saat bertransaksi. Harga bahan baku yang terlalu murah untuk memasok ke pabrik fillet patin. Sebaliknya, kalau pembudidaya jual dengan harga ikan hidup, trader tidak sanggup. Harga dianggap menjadi masalah antara pembudidaya dengan trader sekarang ini. “Harga patin fillet kan ada harga pasarannya. Trader pasti berpikir ekonomis. Caranya, sisa tulang, kepala ikan dan kulit harus diolah sehingga memberi nilai tambah. Tapi pabrik pengolahan di Sumatera Selatan belum ada,” kata Joni.(sl/IM)