Simpang Dogan.


Udara terasa sangat panas. Sudah hampir dua jam aku dibonceng dengan motor keliling kota besar P yang sudah hampir tak kukenal lagi. Disamping menelusuri jalan besar, kami keluar masuk lorong-lorong yang lebar maupun yang sempit. Urusan mencetak foto-foto yang kuperlukan sudah selesai.  Obat-obat gosok pelawan pegal-pegal seperti balsem, minyak kayu putih yang

S. Manap - penulis

kuperlukan sudah kubeli. Kerupuk dan pempek Palembang yang kering termasuk cukanya untuk diolah sendiri juga sudah dibeli dan semuanya sudah masuk kantong plastik. Kantong plastik yang berisi barang-barang yang baru dibeli kujinjing sendiri. Udara makin panas juga. Timbullah keinginanku mau minum air kelapa muda.

Untuk memenuhi keinginanku itu, aku dibawa ke satu tempat yang bernama ”simpang dogan”, tempat mana dalam kota P cukup terkenal. Dogan dalam bahasa di sini berarti kelapa muda. Kata-kata dogan juga sudah dikenal  oleh para pendatang dari luar, bahkan juga dikenal oleh tentara Belanda yang dikenal dengan nama serdadu  KNIL di jaman penjajahan dulu. Menurut cerita yang belum dilupakan orang sampai sekarang, kalau ada satu regu serdadu KNIL yang di dalamnya ada satu atau dua orang berkulit putih sedang yang lainnya terdiri dari orang-orang Ambon atau orang dari Menado datang ke desa, maka mereka akan menunjuk dengan senapang laras panjangnya ke atas pohon kelapa dengan menyebut kata dogan. Dalam keadaan demikian, maka penduduk setempat terpaksa naik pohon kelapa, menurunkan  kelapa yang masih muda untuk diminum oleh para serdadu KNIL  baik yang bule maupun yang berkulit sawo matang (biasanya yang berkulit sawo matang  ini dalam bahasa Jawanya dinamakan Londo ireng).

Di simpang dogan yang kami datangi ini, nampak di mana-mana bertumpuk-tumpuk atau dengan kata yang dilebih-lebihkan menggunung kelapa muda di sepanjang pinggiran jalan. Juga berderet-deret meja dengan kursi-kursi yang bersih dan teratur. Di samping tumpukan kelapa muda, di sini juga dijual bermacam-macam makanan lain seperti pisang goreng, ubi goreng, tempe goreng, kacang rebus, mi instant, bakso dan lain-lain lagi. Orang yang duduk di situ tinggal memilih saja makanan apa yang disukai. Tempat ini teduh, karena berada dibawah pohon-pohon yang rindang.

Kami minta dua buah dogan  kepada pelayan yang ada di situ. Pelayan itu mengacungkan dua jari, jari tengah dan telunjuk pada seorang pemuda yang duduk dekat tumpukan kelapa muda. Pemuda itu mengerti bahasa isyarat dari pelayan, segera saja dia mengupas dan memotong ujung 2 kelapa muda serta mengantarkannya kepada kami.

Ujung dogan yang sudah dipotong, kubuka dan kuisi dengan batu es yang baru dikeluarkan oleh pelayan dan diletakkannya di atas meja. Kutunggu sebentar biar batu esnya agak melarut, baru kuminum. Cara minumnya disedot seperti minum air dalam botol. Kelapa muda yang masih lembut kukeruk-keruk dengan sendok yang sudah tersedia dan dimakan di situ juga.   Dari goreng-gorengan yang ada di depanku, kuangkat satu ubi goreng yang masih panas, kumakan sebagai selingan minum air dogan yang sejuk dan manis.

Kutanyakan berapa harga satu dogan di sini. Menurut penjelasannya, harga satu dogan yang sudah dikupas dan siap untuk diminum Rp 5000 (kira-kira 1/2 euro). Sedang harga beli di pohon dengan memanjat sendiri Rp 1000 (kira-kira 10 sen/euro). Satu dogan seorang sudah cukup untuk pelepas lelah dan melepaskan dahaga karena terik matahari setelah keliling dan keluar masuk lorong kota P yang ramai dan panas .  Dengan menjinjing kantong plastik hasil belanjaan, aku dibonceng lagi dengan motor. Kami tinggalkan simpang dogan dan pulang.(IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *