SBY “Menantang” Keberanian PKS


Selesaikan sudah teka-teki hasil perombakan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (mudah-mudahan jangan ada lagi jilid III-nya), sesudah Presiden SBY mengumumkan hasil perombakan tersebut, Selasa, 18 Oktober 2011, pukul 20.00 WIB.

Sekarang, kita nantikan, apakah tokoh-tokoh politik kita ini benar-benar jantan, sportif, dan konsekuen dengan kata-kata yang telah (beberapakali) keluar dari mulut mereka.

Menjelang perombakan kabinet ini yang paling bersuara lantang yang sekaligus mencermikan kegelisahan luar biasa di kubu mereka adalah PKS. Kenapa gelisah? Tentu saja karena khawatir luar biasa kalau sampai jatah mereka di kabinet sampai dikurangi oleh Presiden SBY.

Kenapa khawatir? Tentu saja, karena diam-diam di dalam lubuk hatinya mengerti bahwa sebetulnya memang kader-kader mereka di kabinet ini kurang atau bahkan tidak berkualitas. Tentu saja, tidak masuk akal kalau mereka gelisahjustru khawatir jatah mereka di kabinet akan ditambah oleh Presiden SBY.

Kegelisahan ini tercermin dari sampai banyak kali mereka melontarkan ancaman-ancaman secara terbuka ke kubu SBY. Bahwa kalau sampai SBY mengurangi satu saja kadernya di kabinet, maka mereka akan menarik semua kader mereka di kabinet yang totalnya ada empat itu. Dan, SBY harus menanggung akibatnya.

Tidak kurang dari mantan Presiden PKS, Muhammda Nur Wahid pun ikut melontarkan ancaman yang senada.

“Kalau empat menteri, koalisinya lima tahun. Kalau tiga menteri, koalisinya berarti tidak sampai lima tahun. Itu bagian yang akan diputuskan oleh Majelis Syuro PKS,” katanya (Kompas.com, 18 Oktober 2011).

Tentu ancaman itu berarti bahwa kalau SBY berani mengurangi satu saja jatah PKS di kabinet, maka PKS akan menarik dukungan politiknya terhadap SBY sebagai presiden, dengan terlebih dahulu menarik semua kader sisanya.

Jadi, dukungan mereka terhadap pemerintahan SBY untuk menjalankan roda pembangunan bangsa dan negara ini tergantung dari jatah mereka di kabinet.

Tidak cukup sampai di situ ancamannya.

Kata Sekjen PKS, Anis Matta, tindaklanjut dari penarikan semua kader PKS di kabinet itu dan penarikan dukungan kepada SBY adalah PKS akan mengungkapkan dokumen rahasia kontrak politik khusus antara PKS dengan SBY.

Fakta kini, ternyata SBY berani menantang ancaman PKS tersebut dengan benar-benar mengurangi satu jatah menteri mereka di kabinet pasca perombakan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Yakni, Suharna Surapranata, dicopot dari Menteri Riset dan Teknologi, diganti oleh Gusti Muhammad Hatta. Kini, kader PKS hanya tersisa tiga di kabinet.

Kita tunggu apakah mereka (PKS) akan berani konsekuen dengan ancaman-ancaman mereka itu?

Atau semua itu hanya gertakan sambal belaka? Kalau itu hanya gertakan sambal belaka dari PKS kepada SBY, maka seharusnya mereka tahu juga, bahwa mereka telah salah orang. Sebab SBY sebetulnya adalah jagonya gertak sambal. Sehingga saya pernah memberinya julukan “SBY, Si Raja Sambal”.

 

Kata Wakil Sekjen PKS, Mahfudz Sddiq, untuk sementara PKS akanterus mendukung pemerintahan Presiden SBY sampai ada keputusan Majelis Syuro PKS. Yang jelas, kata dia lagi, bahwa SBY telah melanggar salah satu kontrak politik yang pernah dilakukan dengan PKS, yakni jatah PKS di kabinet harus minimal empat orang.

 

Rapat Majelis Syuro PKS itu paling lambat akan diadakan pada November 2011, tetapi tak tertutup kemungkinan akan dipercepat berkaitan dengan keberanian SBY mengurangi satu jatah mereka di kabinet itu.

Mengacu pada pernyataan-pernyataan para tokoh PKS tersebut di atas, maka seharusnya kalau PKS benar-benar bisa dipegang kata-katanya, mereka akan benar-benar melaksanakan ancaman-ancamannya tersebut. Kecuali mereka hendak membuktikan bahwa PKS sungguh-sungguh adalah oportunis sejati dengan jurus-jurus ngeles-nya yang memuakkan demi tetap berada di kabinet.

Sebelumnya, beredar kabar pula bahwa SBY juga akan mengurangi jatah satu orang menteri dari kader Golkar, sebagai siasat untuk meredam kemarahan PKS, karena jatah mereka dikurangi satu. Seperti yang dilangsir Media Indonesia, Minggu, 16 Oktober 2011.

“Harus diingat bahwa Golkar itu masuk belakangan. Jadi biar PKS tidak marah, kursi Golkar juga bakal dikurangi,” ujar sumber Media Indonesia, Minggu (16/10). Maksudnya, tempo hari, PKS-lah yang lebih dulu bergabung dalam koalisi pemerintahan SBY, baru diikuti Golkar.

Tetapi, mungkin karena SBY tidak berani sama Golkar, terutama dengan Ketua Umumnya, Aburizal Bakrie, maka SBY pun terpaksa mengorbankan dan mengurangi satu jatah partainya sendiri (Demokrat).

Ada dua menteri dari Demokrat yang dicopot, yakni Freddy Numberi dan Darwin Saleh, masing-masing sebagai Menteri Perhubungan dan Menteri ESDM, tetapi bersamaan dengan itu SBY memasukkan satu kader Demokrat lainnya, Amir Syamsuddin sebagai Menteri Hukum dan HAM.

Apakah taktik ini berhasil meredahkan kemarahan PKS yang ngambek? Kita lihat saja nanti. Sekaligus membuktikan apakah kata-kata mereka itu bisa dipegang ataukah tidak?

Dari hal pengurangan satu jatah PKSini saja, sudah keluar dua pernyataan yang berbeda. Yang satu bilang (Sudi Silalahi) bahwa pengurangan jatah tersebut sudah dibicarakan sebelumnya dengan PKS. Sedangkan yang satu lagi (Wakil Sekjen PKS) bilang, pengurangan tersebut berarti SBY telah melakukan pelanggaran secara sepihak terhadap kontrak khusus yang pernah mereka sepakati bersama.

Sebenarnya, jika SBY benar-benar berani dan profesional, seharusnya pada momen inilah dia mengurangi sebanyak mungkin jatah parpol yang sesungguhnya masih ada beberapa yang tidak berkualitas dan diganti dengan profesional. Ini agar kabinet lebih optimal kinerjanya di masa tiga tahun mendatang, seperti yang dikemukakan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi sendiri.

Jatah PKS, seharusnya bukan hanya dikurangi satu, tetapi minimal dua. Satunya lagi adalah Tifatul Sembiring, Menteri Komunikasi dan Informatika. Selain karena selama dia menjadi menteri, belum ada kemajuan yang signifikan dalam dunia komunikasi dan informatika secara nasional. Juga, karena sedikitnya dua kasus besar di bidang Kementerian-nya yang membuat kita semakin ragu kualitas, profesionalisme dan kompetensinya sebagai seorang Menteri Komunikasi dan Informatika.

Dua kasus itu — seperti yang ditulis majalah Tempo, 23 Oktober 2011, adalah pelanggaran berat yang dilakukan oleh Grup Lippo yang menjual sahamnya di Link Net kepada sebuah perusahaan asing dari Inggris. Padahal waktuitu Link Net masih menggantongi izin prinsip, atau baru tahap uji coba dan belum operasional.

Yang berarti melanggar Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2010, yang melarang penyelenggara jaringan telekomunikasi mengalihkan sahamnya. Pelanggarnya dikenakan sanksi: izin prinsip menjadi tidak berlaku lagi alias dicabut.

Direktorat Telekomunikasi sebetulnya telah mengeluarkan rekomendasi kepada Tifatul agar mencabut izin Link Net, tetapi dia mengabaikannya. Malah bawahannya itu yang kena teguran.

Yang lain lain adalah pernah Direktorat Penyelenggaraan Pos dan Informatika mengusulkan agar Tifatul tidak memberi izin penyelenggaraan jaringan bergerak (seluler) kepada PT Bakrie Telecom. Karena perusahaan itu dinilai belum memenuhi syarat. Tapi Tifatul mengabaikan rekomendasi tersebut, dan tetap mengeluarakan izin kepada Bakrie Telecom.

Mungkin juga SBY sebenarnya malah berkeinginan membersihkan semua kader PKS dari kabinetnya, agar dia bisa lebih konsentrasi bekerja. Tidak terus-menerus dirongrong oleh parpol semacam PKS yang gampang ngambek, dan sedikit-sedikit menebarkan ancaman itu. Merasa diri seolah-olah paling penting di antara semua parpol yang ada. Padahal, sebenarnyajustru akan menjadi lebih baik kalau mereka itu tidak ada di kabinet.

SBY ingin membersihkan kabinetnya dari semua kader PKS, tetapi karena tidak berani melakukan tindakan sedrastis itu, maka SBY pun menjalankan taktiknya, meminjam jurus PKS untuk menghantam kembali mereka sendiri.

Yakni, mencopot satu saja menteri asal PKS. Setelah itu tunggu saja reaksi PKS. Bukankah mereka sendiri berkali-kali menebarkan ancaman, kalau satu saja jatah menteri mereka dikurangi, maka PKS akan menarik semua kadernya yang tersisa?

SBY pun diam-diam mengharapkan PKS benar-benar merealisasikan ancamannya tersebut. Sehingga dia tidak perlu repot-repot melakukannya sendiri. “Lebih cepat, lebih baik,” mungkin diam-diam dalam hati SBY megatakan hal itu.

Tanpa PKS SBY akan merasa lebih legowo dalam menjalankan tugas-tugas kepresidenannya.

Tanpa PKS, bukan berarti pemerintahan negara ini akan menjadi lumpuh. Jadi, sebaiknya memang PKS itu jangan terlalu GR-lah. ***

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *