Pluralitas yang Tercabik


Pluralitas di Indonesia kembali tercabik. Kali ini dilakukan Pemkot Bogor yang bersikukuh mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan menyegel lokasi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin.

Tindakan Wali Kota Bogor Diani Budiarto tersebut jelas-jelas melanggar putusan Mahkamah Agung (MA), yang justru membatalkan penyegelan gereja. Meski dikritik banyak kalangan, wali kota bergeming dengan keputusannya, dengan alasan kehadiran gereja ditolak warga sekitar dan proses pengajuan IMB diklaim cacat hukum.

Apa yang terjadi di Bogor, menambah panjang daftar kasus pelarangan beribadah dan penutupan tempat ibadah.

Kasus serupa yang terjadi sebelumnya antara lain dialami jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Ciketing, Bekasi, jemaat HKBP Filadelfia, Tambun, Bekasi, dan umat Gereja Katolik Santo Johanes Baptista, Parung, Bogor, juga tak kunjung bisa membangun gereja. Tak hanya itu, jemaah Ahmadiyah juga dilarang beribadah dan tempat ibadahnya dibongkar massa. Ironisnya, kasus-kasus pelarangan tersebut justru dilakukan oleh aparat pemerintah. Kalaupun dilakukan sekelompok massa, ada kesan aparat sengaja membiarkan hal itu terjadi.

Gejala ini menjadi keprihatinan kalangan pluralis di Tanah Air akhir-akhir ini. Keprihatinan mendalam didasarkan kenyataan betapa negara kalah oleh tekanan sekelompok orang yang menolak pluralitas, yang resah atau merasa terganggu jika di lingkungannya ada aktivitas ibadah dari agama lain. Kalangan pluralis merasa getir betapa sikap toleran telah terkikis. Kebinekaan seolah menjadi ancaman bagi sekelompok orang. Akibatnya, muncul penjajahan bentuk baru, yakni oleh kelompok mayoritas terhadap minoritas, dengan senjata perizinan pembangunan tempat ibadah.

Kita telah bersepakat, bahwa Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan tetapi bukan negara agama. Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia, tetapi bukan negara Islam. Itulah konsensus nasional yang telah dipatrikan para pendiri bangsa kita, bahwa negara Indonesia berdiri di atas semua golongan. Konsensus yang telah dituangkan melalui dasar negara Pancasila itu harus dilestarikan dan mengikat seluruh rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika negara terus-menerus kalah oleh tekanan golongan tertentu, kita khawatir Indonesia akan dirundung perpecahan, muncul sekat antarwarga. Gambaran sebagaimana yang terjadi di Pakistan, bukan tak mungkin akan kita hadapi di sini. Lambat laun, Indonesia akan menjadi negara gagal, negara tanpa pranata sosial dan hukum, di mana yang kuat bakal menindas yang lemah.

Kita yakin, bahwa pembiaran yang dilakukan aparat pemerintah atau kepala daerah, karena yang bersangkutan mencari popularitas politis di kalangan massa pendukungnya. Demi konstituen, kepala daerah berani melawan putusan MA, sebagai pemegang supremasi hukum tertinggi di negeri ini. Negara lebih memilih tunduk pada penghakiman massa daripada bertindak menjadi pembela konstitusi.

Sayangnya, tindakan kepala daerah yang melarang pendirian tempat ibadah, apalagi dibumbui pembangkangan terhadap MA dan konstitusi seperti yang dilakukan Pemkot Bogor, luput dari tindakan pemerintah pusat sebagai atasan. Dalam kasus GKI Yasmin, misalnya, seharusnya mendorong Gubernur Jawa Barat untuk menegur Wali Kota Bogor. Jika itu tidak dilakukan, Menteri Dalam Negeri bisa mengambil alih kewenangan itu. Jika itu tidak juga terjadi, Presiden sebagai kepala pemerintahan tertinggi, seharusnya yang mengambil tindakan.

Pemerintah harus berdiri di atas semua golongan dan agama. Dengan demikian, tidak boleh terjadi pembelaan atau penganaktirian terhadap agama tertentu. Konstitusi menegaskan bahwa negara (pemerintah) wajib menjamin hak warga negara untuk memeluk agama dan beribadah seturut agama yang dianutnya.

Kasus GKI Yasmin, dan juga kasus sejenis lainnya, seharusnya tidak bisa dianggap sepele. Sebab, sudah menyangkut prinsip paling hakiki dalam kehidupan umat manusia, yakni relasi vertikal dengan sang pencipta. Jika pemerintah terus membiarkan, peristiwa penyegelan dan pengrusakan tempat ibadah serta pelarangan kegiatan ibadah oleh kelompok tertentu akan terus terjadi. Para pelaku merasa bahwa tindakan mereka dibenarkan.

Kita yakin, sebenarnya masih lebih banyak rakyat Indonesia yang mencintai pluralitas, yang bisa hidup berdampingan secara damai dengan orang yang berbeda agama dan golongan. Namun, orang-orang yang masih berpikir tentang Pancasila dan kebinekaan lebih memilih diam, menjadi silent majority. Itulah mengapa kekerasan terhadap agama merajalela.

Pemerintah harus menyadari potensi pembiaran tersebut terhadap masa depan kehidupan keberagaman dan keberagamaan  di Tanah Air. Pemerintah tidak boleh berdiam diri terus-menerus melihat kekerasan terhadap agama, apalagi yang dilakukan aparat di daerah. Tunjukkan bahwa negara hadir membela hak asasi warga negara, termasuk hak untuk beragama dan beribadah. Hanya dengan cara ini, pemerintah mencegah Indonesia mengarah pada negara gagal.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *