Penembakan Misterius di Freeport, 3 Tewas + Polisi Ribut Gara-gara Briptu Jamil + What’s Behind Violence at the World’s Largest Gold Mine?


Pelaku menembaki mobil Pick Up L300 , nomor lambung RP11 yang saat itu sedang berpatroli.

Aksi penembakan oleh orang tak dikenal kembali terjadi di areal PT Freeport Indonesia Timika Papua, Jumat 14 Oktober sekitar pukul 15.45 WIT. Pelaku menembaki  mobil Pick Up L300 dengan nomor lambung RP11 yang saat itu sedang berpatroli tepat di Mile 36 Levee Timur.

Dari data yang berhasil dihimpun, posisi mobil datang dari arah Mile  26 ke arah shop Mile 26 di arah kampung Nayaro, Kali Kopi. Mobil itu mengangkut empat orang, di antaranya dua anggota TNI dari Batalyon 754, yakni Serda Eko, Pratu Tobias dan dua anggota security risk manajemen (SRM) PTFI, Deny serta  Ronald.

Saat ditemukan, seorang bernama Nasep Risza Rahman (ID.905782 PT Puri Fajar Mandiri) ditemukan tewas dalam keadaaan terbakar bersama mobil patroli. Dua orang lainnya yang hingga kini identitasnya belum diketahui juga ditemukan tewas di luar mobil. Sementara salah seorang anggota TNI juga tertembak di bagian tangan dan kaki.

Tim security yang langsung menuju tempat kejadian, juga mendapat rentetan peluru hingga mengakibatkan seorang satpam dan seorang prajurit TNI terkena tembakan.

Pangdam XVII Cenderawasih  Mayjen Erfi Triassunu ketika dikonfirmasi membenarkan adanya penembakan itu. “Saat ini masih dilakukan penyelidikan,” singkatnya.

Sementara Juru Bicara Polda Papua, Kombes Wachyono ketika dikonfirmasi mengatakan, tiga orang karyawan Freeport tewas akibat aksi penembakan yang dilakukan orang tak dikenal. “Tiga karyawan Freeport tewas ditempat akibat luka tembak , mobil L300 open kap yang ditumpangi para korban juga dibakar,” jelasnya.

Dia menambahkan, saat mobil perusahaan berisi 1 anggota TNI dari Yonif 754 dan seorang security, saat itu hendak menjemput para korban di lokasi kejadian juga ditembaki. Akibatnya anggota TNI terluka di lengan kiri sedangkan security perusahaan tertembak di lengan kiri dan paha kiri. Untung mereka sempat melarikan diri ke Pos Narayo. “Orang tak dikenal itu juga menembaki mobil yang hendak mengevakuasi para korban,” singkatnya.

Kondisi ketiga korban yang identitasnya masih dalam penyelidikan, jelas dia, korban pertama luka tembak dikepala tembus dagu. Korban kedua, jari tangan putus dan kepala hancur. Sedangkan korban ketiga masih terbenam di dalam sungai.

Saat ini, sambungnya, sedang dilakukan evakuasi. Tim identifikasi Polres Mimika juga sedang memeriksa identitas para korban yang meninggal.  Sementara pelaku yang bertanggung jawab belum bisa diketahui secara pasti. “Pelaku masih dalam lidik tapi yang pasti mereka orang tak dikenal,” terangnya.

Peristiwa  penembakan dan pembakaran kendaraan di Mile 37 Tanggul Timur jalan menuju Kampung Nayaro Kali Kopi telah terjadi dua kali dalam tahun 2011 ini. April  lalu, dua orang petinggi security PT Freeport Indonesia tewas setelah ditembak dan kendaraan yang mereka tumpangi dibakar orang tak dikenal.

 

Polisi Ribut Gara-gara Briptu Jamil

Polda Papua menyalahkan Polres Mimika. “Orang belum meninggal, dibilang meninggal.”

Kabar terakhir yang menyebut anggota Brimob, Briptu Syaifudin Jamil, tewas akibat dianiaya massa pendemo di Terminal Gorong-gorong milik Freeport, beberapa kali diralat oleh polisi.

Atas kesimpang-siuran dan kesalahan informasi tersebut, Polda Papua lantas menyalahkan Polres Timika. Juru Bicara Polda Papua,  Komisaris Besar Polisi Wachyono menjelaskan, ada kesalahan komunikasi antara Polda Papua dan Polres Timika.

“Memang ada kesalahan informasi dari Kapolres dan Kanit Reskrim Polres sana. Orang belum meninggal, dibilang meninggal,” kata Wachyono, Jumat 14 Oktober 2011. Ia menambahkan, luka yang dialami Briptu Jamil memang cukup parah. Namun dia ternyata tidak sampai meninggal dunia.

“Lukanya parah di sekujur tubuh. Kapolres bilang, sudah meninggal. Tapi ternyata masih bisa diselamatkan,” ujar Wachyono lagi. Sebelumnya, Mabes Polri telah meralat kabar meninggalnya Briptu Jamil. Briptu Jamil saat ini sedang dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta.

“Kondisi terakhir Briptu Jamil pasca operasi hingga kini semakin membaik. Nilai tingkat kesadarannya dari 5 menjadi 10. Terkadang sudah dapat melakukan interaksi,” kata Juru Bicara Polri, Komisaris Besar Polisi Boy Rafli Amar.

Nama Briptu Jamil disebut kali pertama oleh Juru Bicara Polda Papua, Kombes Wachyono, pada Senin 10 Oktober 2010 — hari terjadinya demo berdarah di Freeport. “Ia tewas dikeroyok para pekerja Freeport yang demo, bahkan senjatanya juga dirampas dan hingga kini belum ditemukan,” kata dia saat itu.

Kemudian, sehari setelahnya, Selasa 11 Oktober 2011, Wachyono meralat informasi yang ia sampaikan. “Info itu salah. Dia masih hidup, namun kondisinya kritis akibat luka yang cukup parah. Saat ini masih dirawat di Rumah Sakit Timika. Saya sudah marahi anggota di lapangan yang memberikan informasi salah itu,” ujarnya.

Kemudian, pada Selasa malam, hari itu juga, disebut bahwa Briptu Jamil meninggal dunia. “Akibat luka yang cukup parah, nyawa Briptu Jamil yang sebelumnya kritis, tidak terselamatkan. Dia tewas hari ini. Tapi, pastinya jam berapa saya belum mendapat laporan secara detail,” ujar Kombes Wachyono.

Informasi itu ternyata tidak benar, dan Briptu Jamil masih bisa diselamatkan.

 

Police fire warning shots in the air to disperse protesters from Freeport-McMoRan Copper and Gold Inc's Grasberg mine during a demonstration in Timika of Indonesia's Papua province, October 10, 2011. (Photo: Muhammad Yamin / Reuters) Read more: http://globalspin.blogs.time.com/2011/10/13/whats-behind-violence-at-the-worlds-largest-gold-mine/#ixzz1ao601uEy

What’s Behind Violence at the World’s Largest Gold Mine?

Rights groups are calling on Indonesia to investigate the fatal shooting of gold and copper mine workers in eastern Indonesia. In a gruesome escalation of a dispute between U.S.-based Freeport-McMoRan and workers from their Grasberg mine, security forces opened fire on a crowd of strikers, killing one man and injuring more than a dozen others. “This latest incident shows that Indonesian police have not learned how to deal with protesters without resorting to excessive, and even lethal, force,” said Amnesty International’s Sam Zarifi in a statement published online. “The authorities must launch an independent and impartial investigation into this tragedy.”

The violence, though tragic, is hardly surprising. Grasberg, which holds one of the world’s largest reserves of gold and copper, has frequently seen protests over wages, working conditions and public accountability. About 8000 of the site’s workers have been on strike since Sept. 15, demanding that their pay, which reportedly ranges from $1.5 to $3.00 an hour, be raised significantly. An eight-day strike in July crippled the mine, contributing to a global rise in copper prices.

The fight at Grasberg is, in many ways, about the fight for Papua itself.  The western part of the island of New Guinea was once a Dutch colony, but has been Indonesian territory since a highly contested 1969 plebiscite known as the “Act of Free Choice.”  Much of the indigenous Melanesian population opposes Indonesian rule and see the government–and their allies at Freeport–as occupiers.

The massive mining operation has long been a flashpoint in the conflict. Over the years, there have been periodic episodes of violence and reports of environmental abuse. In 2005, the New York Times described “a spreading soot-colored bruise of almost a billion tons of mine waste” (That account was based on satellite images, because reporters are banned from Papua.) Their investigation also found that Freeport had unusually close ties to the Indonesian military, an organization with a “blighted” history of rights abuses. In a recent op-ed for the Guardian, Benny Wenda, an exiled Papuan independence leader, said companies like Freeport legitimize Indonesian rule while giving little back to the community. “While they have profited from our natural resources, my people have been subjected to nearly 50 years of oppression, hardship and poverty,” he writes.

Both Freeport and Jakarta insist that mining benefits the region. In a statement released Sept. 21, the company called their compensation packages “highly competitive” and noted that between taxes, wages and procurement, the firm contributed $3.8 billion to the Indonesian government in 2010. They blamed the strikers for the instigating violence–a version of events backed by local police, but denied by workers representatives. On Tuesday, Reuters reported that the protesters may lower their wage demands to $7.50 per hour from a previous demand of at least $12.50 per hour. That may bring them closer to a settlement. For Papua, though, there is no deal in sight.

Emily Rauhala is an Associate Editor at TIME.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *