Menolak Menjadi “Priyayi”


13 Agustus lalu menayangkan dampak kerusuhan di Inggris yang terjadi sejak Sabtu, (7/8). Saya sempat merasa khawatir, sebab kami mempunyai tempat tinggal di Surrey.

Bersyukur dengan adanya teknologi canggih saya mendapat informasi dari teman akrab dan tetangga kami di sana bahwa daerah kami bebas dari jarahan.

Ketidakadilan Sosial

Untuk pemerintah China, khususnya, dan semua pemerintahan umumnya, kerusuhan Inggris dapat dijadikan bahan masukan atau food of thought yang penting. Seandainya kerusuhan yang akhirnya bernuansa tuntutan keadilan sosial ini terjadi bukan di negara kapitalis, pasti negara Barat akan ramai memperdebatkannya.

Walaupun Cameron menyatakan kerusuhan ini kehajatan murni, sebagian besar masyarakat dan anggota parlemen Inggris melihat akar kejadian adalah keadaan sosial di Inggris saat ini. Sistem welfare Inggris mengakibatkan ketergantungan hidup warganya dari subsidi pemerintah.

Seperti di Amerika, orang yang malas bekerja dapat hidup berkecukupan karena subsidi yang berasal dari pajak yang dibayar oleh warga yang bekerja. Ini akan lebih sukar bila ekonomi sedang mengalami penurunan tajam.

Keseimbangan antara subsidi pemerintah dan penyediaan lapangan kerja ini antara lain terlihat sewaktu kami mengunjungi Yuyuan Gardens dan Bazaar di “Old Town” Shanghai.

Taman ini ditemukan oleh keluarga Pan, zaman Ming, dinasti yang memakan 18 tahun untuk mendirikannya (1559-1577), sebelum dijatuhi bom waktu terjadi perang Opium tahun 1842. Kemudian terjadi lagi kerusakan sewaktu Prancis melawan pemberotakan Taiping.

Sekarang tanah di mana Yuyuan ada, adalah milik pemerintah yang disewakan pada swasta untuk membuka toko-toko barang antik, cenderamata, menjual perhiasan mutiara (air tawar) yang terkenal dari China.

Tempat semacam Yuyuan ini memang ada di semua kota yang telah kami kunjungi: Chengdu, Xian, Datong, Dunhuang, dan lain-lain. Yang menjadi daya tarik utama adalah keaslian kota masing-masing, baik dari segi arsitektur maupun jenis barang yang dijual.

Sebenarnya di Inggris pun ada tempat seperti ini, tetapi apa bedanya? Kalau di Inggris atau negara Eropa lain, pedagang cenderamata dan lain-lain ini kebanyakan adalah kaum pendatang dari negara Asia atau Afrika. Di China, pedagang/penjual adalah bangsa China sendiri.

Apa artinya ini? Orang Barat sudah mulai “malas” bekerja dan mereka memilih pekerjaan yang bersifat lebih “priyayi” seperti di kantor atau di pemerintahan. Di China, rakyatnya masih mau mengerjakan apa saja asal dapat hidup.

Ini yang kadang dikritik Barat sebagai pekerjaan yang inhuman dengan gaji tidak memadai. Bahkan kadang alasan human right juga dipakai dalam mengkritik jam kerja yang berkelebihan, kenyamanan tempat kerja, dan lain-lain. Untuk dapat bertahan hidup, bangsa China bersedia mengerjakan apa pun, karena social welfarememang tidak memadai.

Sebagai akibat kerusuhan di Inggris media networking seperti BlackBerry, SMS, Facebook, dan Twitter yang digunakan untuk mengkoordinasi kerusuhan mulai dipertanyakan. Di China networking tersebut memang sudah dibatasi. Mungkin sudah saatnya bagi Indonesia juga mulai bertanya, mana yang lebih sesuai untuk kita?

*Penulis buku A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia, Times Publishing International, Singapura, 2003 dan Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, Marshall Cavendish, Singapura, 2007.

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *