Masih Birokrasi Tong Sampah Juga


Pada masa pemerintahan Orde Baru dulu banyak identifikasi yang dilekatkan pada kepolitikan Indonesia sebagai negara nondemokratis seperti statis organis, state corporatism, technocratic military regime, patrimonialisme Jawa, beambtenstaat, post colonial state, bureaucratic authoritarian regime (BAR).


Semua identifikasi itu menunjuk pada substansi yang sama bahwa pemerintahan Orde Baru adalah otoriter dan korup. Bureaucratic authoritarian regime (BAR), misalnya, adalah identifikasi yang menjelaskan bahwa pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan yang otoriter dan korup yang selain sentralistis juga ditandai birokrasi yang lamban, bertele-tele, dan biaya mahal.

Di dalam kepolitikan BAR, peranan birokrasi sangatlah mencengkeram. Ia merupakan pelaksana dari keputusan politik otoriter yang dalam implementasinya birokrasi itu sendiri menjadi sangat korup dengan mempersulit dan memperumit semua urusan. Ada adagium yang umum untuk menggambarkan perilaku birokrasi saat itu,yaitu,”Kalau bisa dipersulit,mengapa harus dipermudah?” Adagium tersebut merupakan gambaran tepat bahwa kalau kita mengurus sesuatu ke birokrasi akan selalu menghadapi kesulitan.

Urusan baru bisa beres kalau kita punya koneksi atau membayar upeti, tepatnya suap atau amplopamplop dan kick back biaya proyek yang diserahkan di bawah meja atau secara diam-diam. Setelah birokrasi berjalan lebih dari 13 tahun (sejak Mei 1998), perilaku birokrasi kita saat ini tetap tak berubah, business as usual. Teman saya Alwi Shihab misalnya, saat menjadi dubes keliling untuk kawasan Timur Tengah pada Kabinet Indonesia Bersatu I,

berkali-kali berhasil menarik perusahaan kelas kakap untuk berinvestasi di Indonesia, tetapi prosesnya selalu macet di birokrasi. Proses pengurusan di birokrasi menjadi begitu bertele- tele dan sering dibenturkan pada prosedur-prosedur teknis yang rumit,padahal masalahnya sederhana. Bahkan tak jarang ada putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap dari semua lingkungan dan tingkatan, sampai vonis tingkat MA sekalipun,

tidak bisa dieksekusi karena hambatan di birokrasi. Pada umumnya urusan macet di pejabat-pejabat birokrasi level eselon II dan III sehingga ada yang menyebut bahwa pemerintahan kita ini adalah pemerintahan eselon II dan eselon III. Pada level ini urusan baru bisa berjalan kalau didorong dengan uang atau diintervensi dari atas. Makanya koneksi politik atau perkoncoan dengan pejabat tinggi menjadi sangat menentukan lancar dan tidaknya urusan di birokrasi.

Bisa jadi pejabat yang lebih tinggi daripada penguasa eselon-eselon tersebut tidak mengetahui permainan di bawahnya karena dia pejabat pendatang baru dari ranah politik yang tak paham selukbeluk birokrasi sehingga mudah dipermainkan dan dibohongi. Tapi banyak yang percaya bahwa tidak jarang pejabat yang lebih tinggi pun terlibat dalam kemacetan itu karena sengaja ingin mendapat bagian atau setoran dari proyek-proyek, tetapi kemudian setelah terbongkar berpurapura tidak tahu.

Alasan yang sering digunakan untuk mempersulit urusan, antara lain, ada prosedur dan syarat-syarat menurut keppres ini, ada ketentuan yang harus dipenuhi menurut PP itu, sehingga peraturanperaturan yang konservatif selalu dijadikan tameng.Tapi kalau urusan didorong dengan uang, janji setoran, kick back dalam persentase tertentu dari nilai proyek, bahkan konsesi dan proteksi politik, urusan akan menjadi sangat lancar.

Begitu kuatnya cengkeraman birokrasi ini, sehingga bisa digambarkan dalam apa yang pernah dikatakan Megawati saat menjadi presiden bahwa dirinya diwarisi ”birokrasi keranjang sampah”.Artinya, banyak kebijakan yang telah diputuskan di tingkat pimpinan pemerintahan, tetapi implementasinya macet di birokrasi dan pejabat-pejabat eselonnya. Berbagai keputusan pimpinan pemerintahan itu kemudian mengendap dan seakan-akan terbuang ke keranjang sampah.

Setelah 13 tahun perjalanan reformasi ternyata birokrasi kita belum berubah. Bahkan, kalau dilihat sampai ke daerah-daerah,keadaannya menjadi lebih liar daripada zaman Orde Baru. Reformasi birokrasi belum menghasilkan apa pun. Maka bolehlah kita mengonfirmasi kepada Mbak Mega bahwa, ”Benar sampai sekarang pun birokrasi kita masih merupakan birokrasi keranjang sampah.”

Dan simpul-simpul sumber korupsi ada di birokrasi-birokrasi. Kita sudah punya empat presiden sejak jatuhnya rezim Orde Baru yang birokrasinya korup itu, tetapi belum ada yang berhasil mengatasi korupsi-korupsi di birokrasi ini. Semua presiden kita tampak tak bisa mengurai benang kusut dan menggunting birokrasi yang korup itu. Semua lunglai setelah membentur batu karang.

Presiden Habibie berusaha menata undang-undang kepegawaian dan organisasi birokrasi pemerintahan, Presiden Abdurrahman Wahid berusaha melakukan tindakan- tindakan tegas, Presiden Megawati mengarahkan para menterinya agar mengendalikan birokrasi dengan ketat, dan Presiden SBY menjadikan ”reformasi birokrasi” sebagai salah satu program penting yang dijanjikannya saat kampanye pemilihan presiden.

Habibie dikenal pandai dan efektif, Gus Dur dikenal tegas dan berani, Mbak Mega dikenal hati-hati, tapi mendorong, SBY dikenal pandai dan memprogramkan, tetapi mereka belum bisa mengubah kebobrokan birokrasi meskipun telah memasang menteri pendayagunaan aparatur negara yang baik pada kabinet masing-masing. Lantas, di mana letak masalahnya? Apa yang dapat dilakukan oleh negara atas problem ini? Itulah yang tampaknya harus dijawab secara bersama dan menegara.Tak bisa hanya dibebankan kepada Presiden.

MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi   

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *