Living With Dual Citizenship


Nenek moyangku seorang pelaut / Gemar mengarung luas samudra / Menerjang ombak tiada takut / Menempuh badai sudah biasa.

Sebuah lagu yang akrab dinyanyikan ketika kita masih anak-anak, yang menggambarkan betapa nenek moyang bangsa Indonesia sudah punya kebiasaaan berlayar ke banyak bangsa. Dan sangat banyak yang menetap di daerah baru.

Satu hal yang terpenting adalah, meski telah lama melakukan berbagai petualangan dan menemukan dunia baru, mereka tidak pernah melupakan tanah airnya. Ini bagai sudah kodrat para petualang atau perantau, seperti yang terjadi juga pada Christophorus Columbus, para saudagar dari Guzarat, atau pun para perantau dari Tanah Tiongkok.

Tradisi petualangan, merantau, atau mencari daerah baru yang lebih menjanjikan bagi kehidupannya, tak pernah pudar hingga kini. Masyarakat Indonesia menyebar ke hampir semua penjuru dunia. Seolah tak ada satu pun tempat di dunia ini yang tak dihuni oleh keturunan bangsa Bhinneka Tunggal Ika ini. Mereka tak ingin hidup sekadar hidup. Mereka ingin kehidupan yang penuh dengan penaklukan, mereka ingin merasakan saripati hidup.

Diantara para petualang / perantau Indonesia yang hidup di negara lain, sebagian sangat terpandang di bidangnya. Sekedar contoh, beberapa nama bisa kita sebut seperti Prof Dr. Khoirul Anwar (pemilik paten sistem telekomunikasi 4G berbasis OFDM [Orthogonal Frequency Division Multiplexing]); Prof Dr. Ing BJ Habibie (Pemegang 46 Paten di bidang Aeronautika) JOHNY SETIAWAN, Ph.D  (Penemu Planet Pertama dan Bintang Muda),Prof Nelson Tansu, PhD (Pakar Teknologi Nano), dan banyak lagi.

Sebuah kenyataan lain, keturunan Indonesia yang tersebar di luar negeri, sebagiannya tidak tercatat sebagai WNI. Mereka sangat mencintai Indonesia, tetapi karena Negara Indonesia tidak mengenal kewarganeraan ganda (dual citizenship), warga keturunan nan hebat-hebat itu hanya bisa menyuarakan kecintaannya terhadap negara asal-muasalnya, tanpa bisa memiliki KTP/Paspor Indonesia. Mereka punya kerinduan untuk punya kewarganegaraan Indonesia, ada panggilan untuk ikut berkontribusi untuk membangun tanah leluhur, tapi terhalang oleh aturan. UU di Indonesia tak mengakui kewarganegaraan ganda,

UU No.12 tahun 2006 yang sebetulnya telah mengenal prinsip kewarganegaraan ganda, namun dalam kenyataannya prinsip tersebut masih sangat sempit. Dimana kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak-anak hasil perkawinan campuran sampai berusia 21 tahun, untuk selanjutnya mereka harus memilih salah satu kewarganegaraan orangtuanya.

Polemik Dual Citizenship

Ada banyak alasan kenapa prinsip dual citizenship masih menjadi polemik di banyak negara, termasuk Indonesia. Salah satunya adalah kekhawatiran terhadap gelombang migrasi besar dari negara-negara berpendapatan rendah. Pasalnya, keberadaan para imigran di negaranya berpotensi melunturkan identitas lokalnya. Dalam konteks ini, para imigran pun kemudian dianggap sebagai sebuah ancaman.

Dengan alasan itu, banyak negara tujuan para imigran yang membuat sejumlah aturan keimigrasian dan kewarganegaraan yang super ketat. Di Amerika Serikat misalnya, meskipun prinsip dual citizenship telah diadopsi ke dalam peraturan keimigrasian, namun dalam praktiknya terdapat banyak aturan yang cukup ketat, terutama terkait dengan kontribusi secara militer dan pajak.

Sementara negara-negara asal imigran, seringkali merasa takut bila gelombang migrasi dari negaranya akan mengurangi sejumlah tenaga pekerja yang memiliki keunggulan dalam skill dan pengetahuan (brain drain). Dan contoh paling nyata adalah di India, dimana sejumlah ahli mesin (engineer) lulusan Indian Institute of Technology berbondong-bondong menyerbu AS dan sejumlah negara maju di Eropa. Para pengamat di India waktu itu mengatakan, bila gelombang migrasi tersebut telah menghilangkan modal intelektual yang berharga dan melegitimasi istilah “brain drain” yang berkembang.

Padahal, seperti diungkap Prof. Dr. Mashelkar, mantan Direktur Indian National Academy of Science, bahwa negara berkembang sejatinya tak perlu risau dengan fenomena brain drain. Menurutnya, brain drain itu adalah non sense. Yang ada adalah brain circulation, yaitu dorongan curiosity yang kuat dalam setiap diri petualang untuk mengaktualisasikan impiannya (Weekly Brief, No.31 Oktober 2012).

Dan nyatanya, fenomena brain drain yang dianggap menakutkan, justru sebaliknya malah menguntungkan. Dimana pada akhir 90-an dan menjelang abad 21 India malah dihadapkan dengan arus besar u-turn circulation. Yaitu kembalinya para imigran dari perantauan, dari tempat pencarian mimpi-mimpi mereka.

Akhirnya seperti kata Einstein, kecepatan cahaya itu bersifat sama, sementara waktu menjadi relatif, ia tergantung kecepatan gerbongnya. Dalam konteks sebuah negara, maka India menjadi negara yang cukup cepat dihampiri oleh u-turn circulation. Sehingga brain drain yang ditakutkan pun tak pernah ada, yang ada adalah brain circulation, yaitu potensi besar, modal intelektual, dan juga modal jaringan (network circulation) untuk kemajuan negerinya.

Brain circulation dan network circulation, itulah yang sejatinya juga dialami bangsa Indonesia bila cukup sigap dengan kemungkinan itu. Bagaimana tidak, berdasarkan sumber data Kementrian Luar Negeri mengenai Diaspora WNI, diketahui bahwa total WNI yang tersebar di luar negeri berjumlah 4.485.431. Sayangnya, ada dua persoalan yang membuat efek brain circulation dari para diaspora dengan brain power luar biasa tak kunjung menghampiri Indonesia.

Pertama adalah masyarakat kita seringkali terjebak pada pemahaman bahwa efek brain circulation hanya dapat diraih bila para diaspora memutuskan untuk “pulang kampung”. Padahal, perkembangan teknologi informasi yang terjadi saat ini telah membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Implementasi internet, electronic commerceelectronic data interchangevirtual office, dan telemedicine telah menerobos batas-batas fisik antar negara (borderless).

Dalam hal ini kita lupa, bila sejak dulu B.J. Habibie sebetulnya telah memiliki visi yang sangat jelas, dimana beliau ingin menghubungkan seluruh Indonesia. Misalnya konektivitas telekomunikasi dengan mempergunakan fiber optic, sementara konektivitas transportasi yang ditindaklanjuti dengan pengembangan industri pesawat dan perkapalan (Jacky Mussry, 2013).

Perspektif Ketahanan Nasional

Dalam konsep ketahanan nasional yang sebenarnya, penolakan atas dual citizenship tentu saja bagaikan membuang peluang emas yang ada di depan mata. Karena dalam konsepnational security, ketahanan nasional bersandar pada premis bahwa keamanan harus dimaknai dalam pengertian yang holistik (holistic way). Baik yang mencakup segala hal yang terkait dengan ancaman militer maupun non-militer.

Artinya, meskipun penolakan atas prinsip dual citizenship didasarkan pada pertimbangan keamanan nasional, namun semestinya jangan dilupakan bila ketahanan nasional juga sebetulnya telah memasukan isu-isu human security, sesuai dengan anjuran PBB dan konvensi HAM sedunia.

Bila mengacu pada konsep yang dikembangkan UNDP, maka konsep keamanan nasional sejatinya meniscayakan adanya kebebasan dari kekurangan (freedom from want), dan kebebasan dari ketakutan (freedom from fear). Artinya, setiap manusia apalagi warga negara Indonesia semestinya mendapat jaminan keamanan dari negaranya untuk memperoleh hak-haknya.

Hanya saja, karena konsep ketahanan nasional kita lebih berorientasi ke dalam (inward-looking), termasuk dalam menghadapi isu kewarganegaraan ganda. Maka, konsep dwi kewarganegaraan pun dianggap sebagai pintu masuk munculnya ancaman bagi ketahanan nasional. Baik ancaman munculnya persoalan kependudukan, lunturnya identitas budaya, hingga ancaman spionase dan penyadapan, seperti yang saat ini marak terjadi.

Memang betul bahwa persoalan kependudukan dapat menimbulkan ancaman bagi ketahanan nasional, tapi itu hanya dapat terjadi bila para pendatang yang masuk ke dalam negeri tidak memiliki skill yang mumpuni dan tidak diseleksi secara ketat.

Unsur atau Gatra Penduduk dalam konsep Ketahanan Nasional kita telah mengisyaratkan bahwa, penduduk suatu negara sesungguhnya menentukan kekuatan atau ketahanan nasional negara yang bersangkutan. Artinya, penduduk sebagai sumber daya manusia merupakan modal dasar yang penting dalam penyelenggaraan konsepsi ketahanan nasional.

Selain itu, setidaknya ada 4 keuntungan utama yang didapat Indonesia ketika dual citizenship diterapkan. Pertama, menambah pendapatan pajak. Ketika seseorang menjadi WNI, maka hak dan kewajibannya sebagai WNI berlaku, meski dia lebih banyak menghabiskan waktu di negara lain. Salah satu kewajiban yang mutlak adalah membayar pajak. Warga diaspora yang super sukses di bidangnya tak terhitung jari. Mereka merupakan pembayar pajak potensial bagi Indonesia ketika kewarganegaraannya diakui. Apalagi posisi Indonesia yang berpenduduk lebih dari 260juta jiwa, adalah pasar yang sangat besar, sehingga potensi pemasukan negara dari pajak, cukai dan PNBP menjadi Golden-Asset keuangan negara kita.

Kedua, Indonesia berhak mengklaim warga diaspora yang super sukses di bidangnya sebagai anak bangsa. Ini akan menaikkan harga diri bangsa Indonesia karena memiliki banyak expertis yang diakui dunia Internasional.

Ketiga, memperluas jaringan (networkbusiness to business (b to b) Diaspora Indonesia yang berada di perantauan dengan warga Indonesia yang berada di dalam negeri. Akses finansial, pemasaran, peningkatan kapasitas SDM, pengolahan SDA yang meningkat pesat pada akhirnya akan menaikkan nilai ekspor Indonesia ke seluruh pasar dunia, dan menjadikan Indonesia mandiri dalam memenuhi kebutuhan pasar domestiknya.

KeempatCapital Flow-In. Para Diaspora yang berada di perantauan, khususnya yang berada di negara maju, akan melihat competitive  advantage  dan comparative  advantage yang dimiliki Indonesia, dan mereka lebih mengenal Indonesia daripada orang asing, sehingga potensi masuknya modal untuk investasi di Indonesia menjadi signifikan.

Karena itulah, mengingat kualitas penduduk Indonesia masih sangat memprihatinkan. Hal ini terbukti dengan data Human Development Index 2012, yang menempatkan Indonesia pada urutan 121 dari 187 negara yang ada di dunia. Maka dari itu aturan yang menghambat izin dwi kewarganegaraan bagi para diaspora menjadi layak dipertimbangkan untuk kemudian diamandemen.

Mendorong Amandemen

Negara India sekali lagi memberi contoh, ketika banyak negara, termasuk Indonesia melakukan kebijakan untuk mencegah atau paling tidak mempersulit warga negaranya yang potensial untuk bekerja di luar negeri, India malah mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Dimana dari sekian banyak orang India yang menjadi tenaga kerja ahli bidang teknologi informasi di Amerika Serikat, India lalu dapat menjadikan hal itu sebagai tawaran untuk membangun hubungan baik dengan AS dalam bidang diplomasi dan ekonomi (Bhagawati, 2004: 215).

Sementara di negaranya sendiri, India kemudian menerapkan kebijakan Overseas Citizenship of India (OCI). Dimana pemegang OCI yang pernah menjadi warga negara India dapat melakukan perjalanan ke India tanpa keharusan memiliki Visa. Selain itu, pemilik OCI juga dapat bekerja tanpa disertai dengan izin kerja walaupun tetap ada batasan-batasan tertentu.

Contoh lain misalnya, adalah Mexico, yang meskipun pada awalnya hanya menerapkan dwi kewarganegaraan terbatas pada tahun 1996 hingga tahun 2003, yaitu non-voting Mexican cultural “nationality” di samping kewarganegaraan baru, dengan restriksi pada kepemilikan property. Lalu, setelah tahun 2003, dwi kewarganegaraan diperluas dengan kekecualian akan hak pilih, yang hanya diberikan jika yang bersangkutan secara fisik hadir di Mexico untuk memilih.

Hanya saja, karena perihal dwi kewarganegaraan ini tak sekadar persoalan fungsional, legal, sosial, politik, dan ekonomi, maka prinsip dual citizenship yang akan kita anut pun mesti dilihat dari sudut pandang etika, dan sistem nilai. Dalam hal ini adalah Pancasila. Atau paling tidak, seperti yang dikatakan Prof. Dr. Ing.B.J. Habibie di atas, dimana cinta bersinergi dengan agama, budaya, dan ilmu pengetahuan.

Dengan begitu, upaya amandemen aturan kewarganegaraan dan keimigrasian pun kemudian tak sekadar untuk menghilangkan kendala teknis dan meraup keuntungan ekonomi. Amandemen UU tersebut sejatinya juga tak melupakan nation and character building. Yaitu tertanamnya jiwa dan mental manusia Indonesia, dari jiwa dan mental manusia yang terjajah menjadi jiwa dan mental manusia yang merdeka. **

Anggota Komisi I DPR-RI dan Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia. More information at http://www.diasporamemilih.com/caleg/ir-fayakhun-andriadi-m-kom

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

11 thoughts on “Living With Dual Citizenship

  1. pengamat
    March 25, 2014 at 11:35 pm

    Negara itu sebenarnya simbol perpolitikan. Bila seseorang memegang dual citizenship patut dipertanyakan haluan politik / loyalitasnya akan ke Negara yang mana ? Sistem perpolitikan dan hukum akan kacau balau. Oleh sebab itu, kewarganegaraan ganda tidak cocok buat Negara Indonesia. Pilih salah satu saja anda mau jadi warga Negara mana.

  2. james
    March 26, 2014 at 1:19 am

    diharapkan Dual Citizenship diterapkan di Indonesia dalam waktu jangka pendek ini melihat lebih banyak Kebaikan dan Keuntungannya dan Indonesia akan lebih maju seperti Negara Maju lainnya dengan Melegalisir Dwi Kewarganegaraan, hampir semua negara maju menjalankan Dwi Kewarga Negaraan ini, coba Lihat Pakistan, India dan beberapa yang lainnya maka Negara Tetangga di Asia saja lebih maju dari pada Indonesia

    1. pengamat
      March 26, 2014 at 11:01 am

      tidak semua Negara menerapkan dual citizenship. China, jepang, Malaysia, india tidak mengakui dual citizenship. Dual citizenship hanya menguntungkan individu tertentu, merugikan warga lainnya. Hanya akan menambah masalah demi masalah dengan adanya dual citizenship. Penegakan hukum akan semakin sulit.

  3. Anti+FPI
    March 26, 2014 at 8:44 pm

    Semoga malah nanti bisa tri citizenship.Yang penting bayar pajak dan negara dapat banyak pemasukkan.

  4. james
    March 26, 2014 at 11:31 pm

    betul sekali dengan adanya Dual atau Tri Citizenship maka Negara diuntungkan dengan Masuknya Pajak Negara dan Pemasukkan Uang Pendapatan termasuk kemajuan Ekonomi Perdagangan juga

  5. pengamat
    March 27, 2014 at 12:35 am

    kalau saya cukup satu citizenship. Yang penting itu sebenarnya bagaimana orang2 mudah keluar masuk suatu Negara tanpa proses yang mahal dan berbelit-belit. Contoh, bagi WNI yang ingin bekerja ke amerika bisa masuk dengan mudah kesana tanpa harus berganti kewarganegaraan disana. Perlu dinegoisasikan dengan pemerintah amerika bagaimana agar WNI bisa memperoleh visa bekerja tanpa adanya sponsor dari perusahaan disana. Dengan banyaknya WNI yang bekerja di luar negri tanpa merubah kewarganegaraan tentu ini pemasukan devisa buat Negara. Intinya sebenarnya bagaimana agar ” bisa mudah bekerja ke luar negri tanpa harus merubah kearganegaraan”. Ini yang sebenarnya mesti dipikirkan bersama.

  6. james
    March 27, 2014 at 4:52 am

    itu sudah dipikirkan, mengapa ?? andai seseorang masih memegang Kewarga Negaraan Indonesia tanpa Dual Citizen, tahu apa efeknya ??? Memegang Pasport Indonesia saja sangat sulit bila pertama kali datang ke USA dan sulit sekali Perusahaan Percaya pada pemegang Paspor Indonesia, tahu mengapa ?? karena sudah sangat di Curigai oleh Imigrasi disana dan pihak Aparat disana, itulah salah satunya sistuasi yang terjadi bagi Pemegang Paspor Indonesia, sudah berjalan sejak lama, maka banyak sekali yang belum menyadari keadaan nama baik Indonesia didunia International, maka disini juga keperluan Dual Citizen itu

  7. pengamat
    March 27, 2014 at 11:32 pm

    sebetulnya dicurigai bukan karena paspor Indonesia, tapi lebih karena bahasa inggris. Kalau komonikasi bahasa inggris lancar dan percaya diri, dijamin tidak akan dicurigai. Itulah sebabnya bagi TKI yang ingin bekerja kesana penting untuk mempersiapkan bahasa inggris. Dual citizen tidak diperlukan, cukup ” visa bekerja”.

  8. james
    March 28, 2014 at 4:25 am

    pada dasarnya Pemegang Paspor Indonesia bila Visa Turis untuk Negara Barat diseleksi secara ketat sekali cenderung seperti diskriminasi, kalau Negara Arab sih mudah saja, namun bagaimanapin pada buktinya Dual Citizenship itu sangat diperlukan, Indonesia ketinggalan oleh Negara lain dalam hal ini

  9. pengamat
    March 30, 2014 at 12:27 am

    jarang banget orang Indonesia berwisata jauh2 ke Negara barat, paling Australia yang dekat. Silakan saja dual citizen dengan Negara lain asal bukan Indonesia.

  10. james
    March 30, 2014 at 5:10 am

    orang Indonesia berwisata itu ke seluruh Dunia, Paris, London, New York, Negara Skandinavia, Denmark, Norwegia, Holland dan lain-lain, itu bukan Jarang, malah sampai Terkenal Anggota Parlemen Indonesia terutama DPR itu sangat amat banyak Memepergunakan Uang Negara Uang Rakyat untuk Foya-Foya disana, sudah diketahui Umum oleh Negara-negara Lain….he he mana bisa dikatakan Jarang Berwisata Kenegara Barat ?? ada diantara mereka juga berJudi disana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *