Kisah Seorang Preman (3 – habis)


Tuhan itu memang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bagi manusia tidak mungkin tapi bagiNya bisa dibuktikan dan dinyatakan. Sekarang tinggal manusialah yang memaknai arti kehidupannya di dunia.

Ternyata isteri melahirkan seorang bayi perempuan. Betapa marahnya saya mendengar kabar tersebut dan ada perasaan tidak menerima. Langsung saja saya masuk ke ruang bersalin dan saya hampiri isteri. Dengan darah dingin saya mencekik isteri (yang terlihat bukan lagi wajah isteri tetapi sosok wanita Madura).

Untung saja ibu dan perawat yang ada di ruangan tersebut mencegah dan  berhasil menyeret saya ke luar ruangan. Saya marah kepada Tuhan mengapa harus seorang bayi perempuan. Dalam keadaan yang sudah tidak normal maka saya tinggalkan rumah bersalin tersebut dan saya pergi ke tempat lokalisasi untuk mabuk-mabukan bersama teman-teman agar dapat menghilangkan pikiran.

Selama dua hari saya tidak pulang ke rumah. Ketika pulang ke rumah, saya tidak menemui isteri tapi hanya ibu, adik  dan bayi perempuan yang saya temui. Rupanya isteri ketakutan dan trauma atas perbuatan saya di rumah sakit bersalin. Dia pergi meninggalkan rumah dan hanya menitipkan bayi perempuannya kepada ibu serta berpesan untuk tidak menemuinya sementara. Ibulah yang memutuskan untuk mengurus bayi perempuan kami tersebut.

Beberapa bulan saya tidak menghiraukan kehadiran anak perempuan tersebut tapi ibu selalu menasehati saya untuk bisa menerima kehadirannya karena anak perempuan tersebut tidak bersalah dan Allah telah menitipkan kepada saya untuk merawatnya di dunia ini. Lama kelamaan hati saya luluh juga dan saya pun mulai memperhatikan dan merawatnya.

Hidup terus berjalan, sementara saya tidak mempunyai pekerjaan tetap kecuali menjadi preman yang penghasilannya diperoleh dari setoran parkir. Sampai suatu hari saya mendapatkan informasi dari Om Anton kalau pemerintah Soeharto akan melakukan operasi besar-besaran terhadap para preman yang dianggap meresahkan masyarakat.

Saya dianjurkan untuk pergi Pontianak sekalian menemui ayah. Benar saja ketika beberapa minggu di Pontianak, saya mendapat kabar bahwa beberapa teman saya ditembak mati oleh penembak misterius (petrus). Mayat-mayat mereka dibuang secara tidak manusiawi. Saya mengucapkan rasa syukur bisa lolos dari pembunuhan petrus.

Di Pontianak, saya tidak langsung menemui ayah tetapi menemui tokoh Madura yang masih adik Kakek saya. Saya diberikan tumpangan hidup oleh beliau. Perlu diketahui adik kakek sangat dihormati oleh kalangan orang Madura dan berkawan akrab dengan tokoh-tokoh Dayak  pada saat itu. Saya merasa aman tinggal di sana.

Walaupun tanpa adik kakek juga sebenarnya hidup saya di Pontianak tetap aman karena ayah juga mempunyai banyak teman baik dari golongan atas sampai bawah. Tetapi saya tetap pada pendirian dan masih mempunyai dendam kepada ayah sehingga saya enggan untuk menemuinya.

Selama di Pontianak, saya dipekerjalan oleh adik kakek untuk mengurus penagihan pada rekanan koperasi yang didirikan beliau. Koperasi tersebut berkembang pesat dan mempunyai banyak bidang usaha di antaranya perdagangan, perikanan, perkapalan dan simpan pinjam. Beliau banyak memuji saya karena semua pekerjaan yang ditugaskan dapat diselesaikan dengan baik dan jarang sekali terjadinya penunggakan yang dilakukan oleh rekanan koperasi.

Karena prestasi saya tersebut maka adik kakek mempercayakan saya untuk mengurus penagihan wilayah Singkawang.  Sebagai orang asing, Singkawang merupakan nama yang asing di telinga dan meraba-raba apa saja yang ada di sana. Ada kejadian unik saat saya mau pindahan ke Singkawang.

Saat itu terjadi operasi besar-besaran para preman. Pada operasi tersebut saya terkena razia preman karena alasan sepele yaitu masalah tato.  Berulang kali saya menjelaskan kepada polisi kalau saya adalah karyawan koperasi miliki adik kakek dan kawan-kawan. Saat itu nama koperasi tersebut sangat dikenal tapi tetap saja polisi tidak mau mendengar penjelasan saya. Sampai akhirnya saya menelpon adik kakek dan memberitahu kalau saya ditangkap polisi karena terkena razia preman. Beliau mengatakan akan datang ke kantor polisi dengan segera.

Ternyata yang datang ke kantor polisi bukan adik kakek tetapi dua orang tua yang seperti dari suku dayak. Rupanya dua orang dayak tersebut adalah teman adik kakek. Dua orang Dayak yang kelihatan sudah sepuh menemui komandan polisi dan menjelaskan kalau saya masih keturunan Dayak dan bukan preman walaupun bertato.

Tapi polisi tidak percaya dan sempat mengatakan kalau tato Dayak berbeda dengan tato yang saya miliki. Rupanya dua orang Dayak tersebut memberitahu kalau tato saya dibuat pada waktu di Jakarta dan teledor tidak mengikuti pakem yang dimiliki oleh budaya Dayak.  Akhirnya polisi membebaskan saya sebagai rasa hormat kepada dua orang Dayak tersebut. Rupanya polisi mengetahui kalau dua orang Dayak tersebut adalah sesepuh suku Dayak di pedalaman Kalimantan Barat tapi saya kurang mengerti dari suku mana mereka berasal.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi lagi maka oleh salah satu sesepuh Dayak mengangkat saya sebagai anak angkat. Sebagai anak angkat suku Dayak, saya diberikan benda semacam pusaka dan tanda khusus di tubuh. Peristiwa tersebut dirayakan secara besar-besaran secara adat dan adik kakek turut menyaksikan serta menangani segala kebutuhan pesta.

Tanpa suatu halangan, tibalah saya di Singkawang. Memang di kota itu saya hanya tinggal selama 2 tahun tapi banyak kenangan yang diperoleh. Salah satunya adalah untuk pertama kalinya saya bertemu dengan ayah. Ayah berkunjung ke Singkawang setelah mengetahu kabar dari adik kakek. Tidak ada perubahan yang terjadi dengan ayah walaupun sudah lama tidak bertemu. Yang berubah hanyalah ayah sering sakit batuk. Rupanya ayah terkena penyakit paru-paru pneumonia. Tapi sebagai tentara masih tampak gagah.

Tadinya saya tidak mau menemui dan berbicara dengan ayah sebagai bentuk marah dan dendam karena telah menyengsarakan ibu, saya dan adik. Tetapi saat ayah menunjukkan sakitnya di depan wajah saya maka timbul perasaan iba.

Ayah sengaja datang mengunjungi Singkawang khusus untuk menemui dan meminta maaf atas perbuatannya selama ini. Ayah juga bercerita kalau sebentar lagi akan pensiun dan mengundang saya untuk berkunjung ke rumahnya di Pontianak. Rupanya ayah telah mempunyai 3 orang anak laki-laki dari isterinya asal Madura tersebut.

Hampir dua jam, kami berdua berbincang-bincang di sebuah warung pada sebuah pantai di Singkawang. Benci, marah, dendam, rindu, kasihan, sayang, hormat dan perasaan lain bercampur aduk di dalam hati saat ayah banyak cerita tentang perjalanan hidupnya selama ini.

Rupanya itulah pertemuan saya yang terakhir dengan ayah. Karena 2 tahun kemudian ayah meninggal dunia akibat penyakit paru-paru akut. Saat meninggal ayah, saya tidak dapat menghadiri pemakaman beliau. Tapi saya masih sempat menziarahi makamnya pada saat saya meninggalkan Kalimantan.

Dari Kalimantan, saya kembali ke Surabaya untuk menemui ibu, adik dan anak perempuanku sekaligus memberitahukan kalau ayah telah meninggal dunia. Tampak wajah sedih meliputi wajah ibu. Walaupun disia-siakan tapi ibu masih menunjukkan rasa cintanya kepada ayah. Ibu memang wanita yang lembut dan sabar walaupun tahu suami dan anaknya mempunyai sifat yang keras dan bisa dikatakan keras kepala.

Selain itu saya juga merasa kangen kepada anak perempuan saya walaupun pada awal kelahirannya sangat tidak diinginkan oleh saya. Tanpa terasa puteri saya makin besar dan telah masuk sekolah dasar kelas satu. Semua ini berkat kasih sayang ibu dalam merawatnya. Memang puteri saya lebih dekat dengan ibu dan selalu menjauh bila saya mendekatinya tapi saya sadar bahwa itu adalah kesalahan saya semata.

Di Surabaya saya mengalami kesulitan mencari kerja. Mau tidak mau saya berkumpul kembali dengan teman-teman preman di lokalisasi. Walaupun tidak menjadi pekerjaan tetap sebagai tukang parkir tapi setidaknya masih dapat memberi makan keluarga di rumah.

Sesekali saya berjualan baju dan celana dalam untuk para PSK di lokalisasi. Lumayanlah buat biaya sekolah puteri saya. Saya berusaha untuk mensyukuri semuanya.

Pada suatu hari saya dapat objekan dari seorang teman yang berasal dari sebuah partai yaitu mengumpulkan massa untuk melakukan demo pada sebuah Kongres Partai Politik di Bali. Tanpa berpikir panjang saya terima objekan tersebut. Saya berhasil mengumpulkan massa mencapai 800 orang dan semuanya berhasil diturunkan di Bali walaupun sempat ketar ketir melihat tindakan represif petugas keamanan pada saat itu (orde baru).

Dengan kehadiran massa tersebut dapat menekan pimpinan partai yang menurut kabar didukung oleh pemerintah memenuhi keinginan lawan politik se partainya.

Karena keberhasilan usaha saya mengumpulkan massa maka nama saya makin dikenal oleh para tokoh partai politik yang menentang kongres di Bali. Jasa saya juga dipercaya pada saat ada Kongres Luar Biasa di Medan. Lama kelamaan saya makin dalam bergaul dengan tokoh-tokoh politik baik tingkat daerah maupun pusat.

Sebagai pecinta Bung Karno sudah sewajarnya saya mendukung segala aktifitas dan program yang diusung oleh anaknya. Tanpa berpikir panjang akhirnya saya bergabung dan menjadi anggota partai politik tersebut walaupun tidak diakui oleh pemerintah. Dari aktifitas partai politik inilah saya bertemu dengan seorang wanita yang beranak 2 yang kebetulan sering membantu masak di kediaman ketua partai politik. Kemudian kami menikah dan mendapatkan seorang anak laki-laki.

Pergumulan saya di dalam partai politik tersebut mencapai puncak pada saat 27 Juli 1996. Saya termasuk dalam golongan yang menentang perebutan kantor partai politik di jalan Diponegoro. Saya pun turut berperang melawan pendukung partai politik yang diakui pemerintah orde baru.

Dengan keterbatasan alat dan prasarana yang ada kami melawan tindakan arogan mereka yang didukung oleh tentara. Walaupun pada akhirnya kami menyerah juga dan ditangkap oleh aparat. Dengan proses pengadilan yang kilat, saya dan teman-teman seperjuangan divonis bersalah dan di penjara selama 3 tahun.

Penjara Cipinang menjadi labuhan hidup saya kembali. Dan saya tidak pernah menyesali atas apa yang telah saya lakukan demi sebuah kebenaran. Selama ini saya menemukan kebenaran menurut versi pribadi tapi saat  saya meyakininya sebagai kebenaran melawan pemerintah otoriter dan tiran.

Hanya satu setengah tahun saya di dalam penjara. Beberapa bulan kemudian terjadilah reformasi dengan jatuhnya pemerintahan orde baru. Sebagai pendukung partai politik yang berdasarkan ajara Bung Karno, saya merasa bahwa inilah saat partai saya untuk memenangkan pemilu.

Dengan segala upaya dan pengorbanan apapun saya berikan demi kemenangan partai saya dalam pemilu tahun 1999. Akhirnya partai saya memenangkan pemilu walaupun ketua partai saya gagal menjadi pimpinan nasional. Tapi tetap saja saya merasakan kepuasaan yang terhingga selama hidup di dunia.

Aktivitas kepartaian terus saya jalani walaupun dalam perjalanannya saya merasakan adanya ketidak adilan dan kemunafikan dari para pimpinan partai baik di pusat maupun daerah.  Sebagai pendukung setia partai maka saya terus mengikuti kegiatan partai walaupun secara ekonomi saya tidak mendapatkan apa-apa bahkan kekurangan.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, saya melakukan kerja serabutan mulai dari tukang cat, membuat bingkai foto sampai menjadi debt collector secara freelance. Berulang kali adik menasehati untuk meninggalkan aktifitas partai dan bekerja di perusahaan miliknya.

Pokoknya adik sanggup menggaji saya berapapun tanpa saya harus masuk kerja sebagaimana layaknya orang bekerja. Semua itu tidak pernah saya hiraukan dan tetap saja saya bertahan pada prinsip hidup dan meyakini partai adalah mati hidup saya.

Tetapi apa yang saya yakini hanyalah sebuah fatamorgana dan banyak kebrengsekan yang saya rasakan, lihat dan dengar di dalam partai. Akhirnya saya memutuskan untuk mengurangi aktivitas partai dan mulai mencari tempat atau orang-orang yang dapat membuat hati saya tenang dan menemukan arti sebuah kehidupan.

Suatu hari saya diajak teman berkunjung ke sebuah padepokan di Panimbang, Pandeglang yang dipimpin oleh seorang sepuh. Konon menurut apa yang saya ketahui sesepuh ini masih termasuk karuhun orang Sunda.

Ternyata banyak sekali orang yang datang ke padepokan tersebut. Sesepuh ini memang susah untuk ditemui, tapi saya tidak mengalami kesusahan untuk menemuinya. Dari awal bertemu beliau saya merasakan adanya kecocokan dan seperti menemukan apa yang saya cari selama ini. Tanpa terasa perkenalan saya dengan sesepuh tersebut telah mendekati waktu 4 tahun.

Dari sesepuh itulah saya dapat berkenalan dengan sesepuh-sesepuh yang ada di tanah Jawa walaupun kebanyakan dari Sunda. Sampai suatu hari saya diajak jalan-jalan ke Sumedang untuk bersilaturahim dengan sesepuh Sumedang. Oleh sesepuh Panimbang saya disuruh menetap di Sumedang selama 3 bulan. Saya tidak tahu alasan beliau untuk menetap di Sumedang tapi saya menuruti apa yang diperintahkan beliau.

Nah di Sumedang inilah saya bertemu dengan seorang pemuda yang sama-sama menetap selama 3 bulan. Kebetulan kami tidur dalam satu kamar. Akibatnya kami berdua makin akrab walaupun awalnya saya sempat kaget dan takjub ketika melihat perubahan wujud saat melihat wajahnya. Wajahnya sering menampakan wujud seorang kyai, pendeta jaman dulu, macan sampai wujud seorang perempuan berpakaian kerajaan jaman dulu (kayak seorang Ratu).

Memang selama 3 bulan saya dan pemuda tersebut tidak diajarkan apapun kecuali diajak jalan-jalan mulai dari masuk hutan sampai keluar kota dengan menggunakan kendaraan umum. Tetapi dari jalan-jalan tersebut saya menemukan kepuasan batin dan menyadari apa yang saya lakukan selama ini adalah perbuatan dosa walaupun sulit untuk menghilangkan sifat-sifat buruk karena dari kecil kehidupan saya dekat dengan kekerasan.

Herannya anak muda tersebut mengerti dan sabar menghadapi kelakuan saya. Sampai suatu hari anak muda tersebut mengatakan kalau inilah saatnya saya meninggalkan aktivitas partai selama-lamanya karena tidak memberikan manfaat apapun bagi diri sendiri maupun keluarga.

Saya mendengarkan dengan seksama perkataannya. Akibat perkataannya, saya memutuskan untuk meninggalkan dunia partai politik dan mulai mencari nafkah dengan pekerjaan apapun yang halal. Memang sulit dan sesekali sempat terpengaruh oleh bujukan teman-teman preman. Yang herannya selalu saja anak muda tersebut mengingatkan saya. Itulah mengapa saya menghormatinya dan tetap menjaga silaturahim antar keluarga dengan saling mengunjungi dan bercerita banyak hal.

Begitulah cerita Pak Ci tentang kehidupannya selama ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat dan memberikan hikmah bagi yang membacanya.

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *