Potret penegakan hukum 2011 masih sangat mengecewakan. Masih banyak terjadi penjungkirbalikan fakta untuk membantah kebenaran dalam setiap kasus hukum.
Tahap demi tahap penyidikan, penyelidikan, hingga peradilan bahkan identik sandiwara. Ini karena “kebenaran” dan “keadilan” versi kekuasaan dan uang suap sudah dirumuskan, bahkan sebelum peradilan itu dimulai.
Tengok saja kasus Century. Publik tentu merasa geli menyikapi kebuntuan proses hukum Skandal Bank Century. Ketua KSSK mengaku hanya bersedia bertanggung jawab atas sekitar Rp 680 miliar lebih dana talangan.
Kalau jumlah yang dicairkan sampai Rp 6,7 triliun, bukankah angka itu sudah menunjukkan adanya penyimpangan dalam bailout dan valid sebagai bukti? Kalau dikatakan belum ada bukti, itu jelas kebohongan.
Hasil audit forensik Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengecewakan. Laporan audit forensik BPK yang akan diserahkan ke DPR, Jumat (23/12), tidak memuat hal baru dan jauh dari harapan. Tekanan kekuasaan berhasil mereduksi audit forensik tersebut.
Laporan BPK tidak beda jauh dengan laporan audit investigasi BPK yang pertama. Tidak ada pengungkapan aliran data detail yang kita harapkan dengan berbagai alasan. BPK hanya mengungkap ada aliran dana ke PT MNP, penerbit koran partai tertentu pada periode 2006-2009 senilai Rp 100,95 miliar.
Auditor forensik yang menangani audit lanjutan kasus Bank Century juga diduga telah membohongi publik. Pemimpin BPK mengatakan penanggung jawab audit investigasi lanjutan mempunyai sertifikat CFE, ternyata tidak. Auditor Forensik BPK itu adalah I Nyoman Wara, Novy Gregory Antonius Palenkahu, dan Harry Purwaka.
Di kasus lain, publik dibuat tercengang ketika menyimak isi dakwaan terhadap aktor utama kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin.
Dakwaan itu memperlihatkan adanya penjungkirbalikan fakta pengakuan Nazaruddin. Nama elite partai politik dan seorang menteri yang keterlibatannya telah berulang kali diteriakkan Nazaruddin sama sekali tidak disebut-sebut dalam dakwaan itu.
Dalam kasus mafia pajak, upaya membohongi publik praktis gagal total. Eksistensi mafia pajak berawal dari pengungkapan oleh seorang pejabat tinggi Polri. Karena disebut mafia, publik langsung mendeskripsikan kasus ini sebagai organisasi kejahatan dengan spesialisasi penggelapan atau pencurian pajak negara.
Organisasi mafia mempunyai anggota banyak dengan jaringan luas. Ketika Gayus Tambunan akhirnya berhasil dibawa pulang ke Jakarta oleh (katanya) Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH), publik membayangkan Gayus yang eselon bawah di Direktorat Jenderal Pajak akan menyebut sejumlah nama.
Gayus memang melakukannya. Tetapi dalam proses penanganan kasusnya kemudian, penyidikan dan penyelidikan hanya fokus pada kasus Gayus, tidak menyentuh kasus penggelapan pajak lainnya, seperti dugaan manipulasi restitusi Wilmar Group, Asian Agrie, Ramayana Group, dan lain-lain yang pernah diperiksa Panitia Kerja (Panja) DPR.
Lagi-lagi, penegak hukum menghindar dari kewajibannya memeriksa sosok-sosok penting yang diduga terlibat kejahatan.
DPR kemudian menggagas Hak Angket mafia pajak. Aneh bin ajaib, justru pemerintah dan partai pemerintah berupaya menggagalkan Hak Angket tersebut, sehingga 151 perusahaan kakap yang diduga “bermain” pajak menjadi bebas.
Penanganan kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) pun sama menggelikan. Fakta dijungkirbalikkan sehingga justru yang melaporkan menjadi tersangka. Mantan panitera pengganti MK Zaenal Arifin Hoesein ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Sementara Andi Nurpati yang diduga memalsukan justru dilindungi. Publik melihat ada kejanggalan.
Jangan Hanya “Perang-perangan”
Kasus yang menjadi perhatian publik hingga kini adalah suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Tanpa pernah mendengar keterangan dari pihak yang melakukan suap, sejumlah orang divonis bersalah dan dipenjarakan.
Setiap kali ditanyakan siapa penyuap sesungguhnya dan kapan akan ditangkap, penegak hukum hanya bisa berdalih. Setelah sekian lama, baru sekarang terbuka kemungkinan untuk mengungkap sosok pemberi suap dalam kasus ini. Pulangnya Nunun akan mengungkap kotak pandora itu.
Menjelang tutup tahun 2011 ini, Jakarta dikejutkan oleh terungkapnya kasus kekerasan di Mesuji. Proses penanganan tragedi Mesuji terasa janggal.
Kalau terjadi pelanggaran HAM berat di Mesuji pada April dan November 2011, mengapa Jakarta (pemerintah pusat) harus dibuat terkejut beberapa bulan kemudian? Tidakkah berarti ada SOP yang dilanggar pihak berwenang di daerah kejadian?
Tragedi Mesuji terasa janggal karena tidak menimbulkan heboh segera setelah terjadinya peristiwa. Ini menjadi heboh setelah korban dan keluarga korban bersusah payah mencari akses di Jakarta untuk mengadukan nasib mereka ke Komisi III DPR.
Hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, skala kasusnya memang tidak sedramatis yang dilaporkan kepada Komisi III DPR. Kedua, ada pihak yang berupaya menyederhanakan kasus. Ketiga, ada upaya menutup-nutupi tragedi ini.
Tragedi Mesuji terjadi pada April 2011. Kalau tragedi itu baru menjadi cerita yang menghebohkan di Jakarta pada pertengahan Desember 2011, itu adalah rentang waktu yang sangat panjang untuk mengungkap tragedi kemanusiaan. Ini jelas tidak wajar.
Bandingkan dengan keadaan di Papua. Dalam hitungan menit, aparat yang tertembak penyerang tak dikenal segera menjadi berita berskala nasional. Dengan begitu, dalam kasus Mesuji, patut diduga ada pihak yang berusaha menutup-nutupi tragedi ini. Apalagi, warga setempat mengaku selalui dihantui rasa takut untuk melapor karena mendapat ancaman.
Bagaimana dengan 2012? Menurut saya, ke depan hampir tidak ada celah untuk terjadinya situasi hukum yang kondusif. Imbas politik sandera yang diterapkan Pemerintahan SBY-Boediono sejak 2009 pasti akan terus mewarnai tahun depan. Tetap akan ada tarik-menarik kepentingan elite. Kasus korupsi besar yang terjadi tidak akan terselesaikan dengan baik.
Sikap ambigu dari SBY yang selalu menggembor-gemborkan penegakan hukum, tetapi pada kenyataannya tidak memposisikan diri sebagai panglima untuk pemberantasan korupsi, akan terus terjadi. Dinamika hukum yang terkesan saling sandera tetap dibiarkan, sebagai bentuk usaha lari dari tanggung jawab.
Tak aneh bila kemudian kasus-kasus korupsi besar yang terjadi di 2011 akan terus menjadi batu sandungan pemerintahan SBY di 2012. Menurut saya, kasus Century di tahun depan akan “meledak” menjadi lebih besar.
Kekecewaan penanganan kasus Century dan hasil audit forensik BPK yang jauh panggang dari api, akan berujung pada Hak Menyatakan Pendapat. Bila itu terjadi bukan tak mungkin kegaduhan politik akan mengiringi pergantian pemerintahan SBY dengan pemerintahan baru.
Belum terlambat untuk memperbaiki penegakan hukum dan mengembalikan kepercayaan rakyat. Itu dapat dimulai dengan mengungkap kasus-kasus besar yang hingga kini masih mengendap di institusi penegak hukum, termasuk di KPK. Jika penegak hukum berhasil mengungkap kasus itu, yang lainnya juga akan terungkap.
Kita berharap pemimpin KPK yang baru bisa menunjukkan keberanian melawan segala bentuk tekanan dan intervensi yang dilancarkan kekuatan-kekuatan tertentu. Jika harapan publik itu tidak direalisasikan, pemimpin KPK yang baru harus merealisasikan janjinya untuk mengundurkan diri.
SBY juga harus menunjukkan kemauan politik untuk tidak diskriminatif lagi dalam penegakan hukum. Kalau perilaku pemimpin masih tetap “sontoloyo”, agenda penegakan hukum pasti terus karut marut. Tekad presiden dalam perang melawan korupsi pun tetap dibaca publik sebagai “perang-perangan” melawan korupsi.
*Penulis adalah Inisiator Hak Angket Century, anggota Komisi III DPR.