Calon astronaut itu Rizman Adhi Nugraha. Sayang, bukan program negara.
Rencana program pengiriman siswa Indonesia untuk meneliti di Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) disambut riuh oleh masyarakat Indonesia.
Mayoritas menyampaikan rasa bangga sebagai warga negara menyaksikan pelajar Indonesia nanti menghasilkan riset di NASA dan hasilnya diuji coba di Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS).
Masyarakat menyambut positif rencana riset siswa yang akan diuji di laboratorium stasiun tersebut dan dipantau dari laboratorium di daratan Bumi. Kebanggaan itu seakan menggambarkan “rasa haus” masyarakat atas pencapaian Indonesia di wilayah luar Bumi.
Program riset siswa tersebut digalang Surya University dan Indonesia Tranformation Network atas inisiasi peneliti Indonesia, Joko W Saputro yang sudah lama, 21 tahun, belajar dan mengajar di negeri Paman Sam.
Pria yang akrab disapa Prof. Sap itu mengatakan, awalnya ia bertemu dengan peneliti NASA dan kemudian meminta kuota dalam roket peluncur NASA yang akan terbang ke ISS.
“Jadi, lima minggu lalu saya ketemu dengan NASA. Saya kemudian minta slot ke NASA untuk dua tim bikin eksperimen yang dititipkan di roket yang akan naik ke ISS. Saya pesan dua eksperimen,” kata pria yang akrab disapa Prof. Sap kepada VIVA.co.id, Rabu 1 Juli 2015.
Gayung pun bersambut. NASA mengabulkan permintaan Prof. Sap. Segera, lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu langsung mengontak fisikawan Yohanes Surya, koleganya saat belajar di Amerika Serikat.
Setelah dicari, program ini telah menemukan dua tim SMA yaitu SMA Unggul Del, Sumatera Utara dan gabungan SMA di bawah Surya Institute.
Menurut jadwal, tim siswa yang terpilih dalam program ini akan menjalankan riset mini selama satu hingga dua pekan di laboratorium mini ISS di Amerika Serikat. Uji coba hasil risetnya dilakukan Desember 2015.
Disebutkan, hasil akhir riset siswa Indonesia, yang berupa modul eksperimen, akan diserahkan ke Badan Antariksa AS (NASA) pada awal Januari 2016, sebelum diluncurkan ke ISS pada 2 April 2016.
Peluncuran hasil riset siswa Indonesia akan menumpang muatan di roket SpaceX CRS-8. Prof. Sap mengatakan, tiap roket yang meluncur ke ISS akan membawa bobot dua ton. Nantinya, riset siswa Indonesia itu akan diuji di Laboratorium Nasional AS di ISS.
Sebagai langkah awal menjalankan program ini, dua guru dari masing-masing tim SMA akan dikirimkan ke NASA pada akhir Juli ini. Empat guru itu, yang akan menjadi pendamping tim masing-masing.
“Empat guru kami bawa ke California, untuk training. Kasih tahu cara desain eksperimen untuk di antariksa itu seperti apa,” tutur Prof. Sap yang merupakan doktor jebolan University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat itu.
Sepulang dari pelatihan, guru tersebut wajib menularkan ilmunya ke tim siswanya.
Sayangnya, sang inisiator program mengatakan, program ini diluncurkan tanpa uluran bantuan negara, tak ada sumbangan dana dari pemerintah.
Prof. Sap mengatakan, saat ini tengah berupaya keras menggalang dan mencari dana dari sponsor untuk mendanai misi riset yang butuh biaya setidaknya Rp200 juta untuk satu tim.
Praktis selama ini, Prof. Sap mengaku saweran dengan jaringannya untuk mendanai program ini. Miris, negara tak hadir.
Padahal, program ini bisa dibilang istimewa. Sebab, jika berhasil diuji di ISS, maka riset siswa Tanah Air itu akan menjadi riset pertama Indonesia yang ada di ISS. Selama ini, belum ada nama Indonesia hadir di antariksa. Jangankan untuk astronaut, untuk riset pun simbol Indonesia belum menembus.
Hal itu dikuatkan dengan keterangan dari Kepala Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung, Clara Yatini. Ia mengatakan, sejauh ini, kontribusi Indonesia dalam riset dalam dunia antariksa hanyalah menyumbangkan material penelitian.
“Kalau untuk hadir di sana (ISS) belum. Yang ada kerja sama dengan modul untuk diletakkan di ISS milik Jepang, Kibo. Itu kerja sama dengan ITB,” ujar Clara kepadaVIVA.co.id.
Kerja sama dengan negeri Matahari Terbit itu pun, kata Clara, masih tahap diskusi dan baru diluncurkan ke ISS pada 2017. Artinya, riset peneliti ITB dan Jepang itu akan didahului oleh pengujian eksperimen dari siswa SMA Indonesia.
Clara mengatakan, selama ini riset keantariksaan dari peneliti Indonesia masih menjalankan uji coba di daratan Bumi saja.
Misalnya, peneliti Indonesia melakukan simulasi dengan peralatan untuk meniru kondisi mikro gravitasi di antariksa. Pencapaian terbaik peneliti Indonesia dalam riset antariksa yaitu sebatas berkontribusi mengirimkan material penelitian di ISS. Peneliti Tanah Air tak terlibat.
“Kita kirimkan biji diterbangkan ke sana dan dikembalikan dan ditanam ke Bumi,” tutur perempuan jebolan Astronomi Universitas Tohoku, Jepang itu.( VV / IM )