Gapki Optimis dengan 1,1 juta Hektar Landbank


Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) optimis dengan kapasitas produksi tahun ini dan selanjutnya. Kendatipun moratorium perizinan masih belum dibuka kembali, tetapi pengusaha masih punya landbank (lahan tersisa). “Sekarang ini (landbank) sekitar 1,1 juta hektar, di luar izin (usaha perkebunan) lama, yang sudah terbit. Landbank masih bisa ditanami untuk ekspansi,” Fadhil Hasan, executive director Gapki mengatakan kepada Harian Nusantara (9/9).
Kondisi tahun lalu, Gapki mencatat ada sekitar 10 juta hektar lahan usaha perkebunan sawit. Tetapi tahun ini, Gapki memperkirakan tidak ada rencana ekspansi dari setiap perusahaan produsen sawit. Ketentuan moratorium yang dikaitkan dengan pembukaan lahan sawit dan pengalihan fungsi hutan tidak signifikan menghambat proses produksi. “Masih ada sekitar 200 ribu hektar yang siap ditanami, di luar landbank.”
Kendatipun demikian, Gapki melihat perlunya pembukaan kembali kran industri dan perkebunan CPO. Karena selama ini, pengusaha dan produsen sudah dibebani oleh berbagai regulasi global. Misalkan negara importir Uni Eropah menerapkan ketentuan labelling, kalori dan lain sebagainya. Semua peraturan bermuara pada isu food security. “Tetapi isu terkait dengan tarif (bea ekspor) tidak didorong. Kami sebagai produsen masih tunggu harga bagus. Sekarang harga masih anjlok di pasar dunia. Kita juga tidak bisa simpan stok lama-lama, sebaliknya harus segera di jual. Kalau distok, kita tidak punya tangki-tangki.”
 
Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) melihat pengembangan program penggunaan biodiesel CPO (crude palm oil) dengan 30 persen campuran solar, sekarang ini bukan pada momentum yang tepat. Kemendag sangat mempertimbangkan kondisi pasar dunia, termasuk bursa saham untuk menentukansupply (pasokan) CPO dari Indonesia. “Ada musimnya, waktu yang pas dan penting untuk kita bisa segera supply. Sekarang ini (waktunya) kurang pas. Karena kita lihat keadaan perekonomian dunia yang lesu. Posisi harga saham (CPO) dalam posisibullish (harga sedang naik),” Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan kepada Harian Nusantara beberapa waktu yang lalu.
Program  biodiesel CPO seiring sejalan dengan terus meningkatknya produksi nasional. Kapasitas produksi juga lebih banyak terserap pada pasar ekspor ketimbang konsumsi domestik dalam negeri. Tetapi program penggunaan biodiesel melalui konversi belum efektif berjalan. Kemendag melihat banyak pertimbangannya, antara lain kondisi pasar, cuaca yang mempengaruhi musim tanam, infrastruktur (transportasi) dan lain sebagainya. Fenomena El Nino dengan intensitas lemah hingga moderat akan mengakibatkan kemarau menjadi lebih kering dan mengurangi stok air. Sementara penanaman kelapa sawit sangat ditentukan oleh ketercukupan stok air. “Ini sangat penting. Pada musim gugur karena ada tekanan (fenomena) El Nino, terjadi pressure. Kita masih tunggu, terjadi atau tidak (El Nino). Kalau terjadi, pasokan berkurang, otomatis harga CPO bisa lebih tinggi.”
Program biodiesel dalam konteks ‘mandatory’ (wajib) harus mempertimbangkan kapasitas produksi dan pasokan. Kalau pasokan terhambat, otomatis harga meningkat. Hal ini berlaku umum, sesuai dengan mekanisme supply and demand. “Kalaupun harganya tidak naik, minimal stabil.”
Tetapi ketika pasokan melimpah, harga di pasaran menjadi tidak kompetitif. Hal ini yang tidak diinginkan produsen CPO dalam negeri. Kemendag juga merasa perlu antisipasi kondisi pasar dan faktor penentu produksi CPO di dalam negeri. “Kami berharap, program biodiesel dengan konversi berhasil. Tahun ini, seharusnya semester kedua yang lalu, harga sudah jalan. Tetapi belum maksimal. Ada kendala pada pendistribusian. Informasi dari para pelaku pasar sangat cepat, karena penggunaan teknologi tinggi.”
Kemendag juga mempertimbangkan faktor pengalokasian pasokan dalam jumlah yangsubstantial. Artinya, jumlah pasokan substantial yaitu 30 persen solar untuk pencampuran dan konversi (CPO) menjadi biodiesel.
Program pengembangan biodiesel relevan dengan program peningkatan energi baru dan terbarukan (renewable resources). Produsen CPO Indonesia selama ini mengekspor yang masih mentah. Seiring dengan penerapan mandatory untuk biodiesel, Kemendag terus membenahi berbagai aturannya. “Kalau kita bisa konversi (CPO menjadi biodiesel), dengan harga stabil yaitu 793 USD, kita terapkan bea keluarnya 9 persen.”
Kendala lain, kebutuhan solar di beberapa daerah di Indonesia, termasuk bagian Timur seperti NTT (Nusa Tenggara Timur), Ambon tidak seiring dan sejalan dengan program biodiesel. Kemendag merasa perlu membangun semua perangkat industri dalam negeri untuk kepastian penjualan (biodiesel). Komitmen pemerintah mengganti (BBM) dengan bahan penolong ini, sangat baik. Hitung-hitungannya,  10 persen kegiatan konversi efektif berjalan setara dengan penciptaan nilai tambah senilai 3,5 milyar USD dan menyerap 200 ribu tenaga kerja. “Subsidi dibayar di dalam negeri. Saya melihatnya, tidak ada program (ketahanan energi) yang jauh lebih hebat (dibanding biodiesel), karena efeknya nyata untuk sektor moneter dan fiskal. Harga sudah dibahas, tetapi masih ada kendala pendistribusian.”
Kendala lain, bahwa industri/produsen CPO Indonesia belum terbiasa menjual biodiesel. Selain itu, sistem distribusi juga terkendala dengan ketidak-tersediaan infrastruktur. Selama ini biodiesel dikirim dari Singapura. Sementara kapal-kapal dari Singapura dengan tujuan ke wilayah Timur Indonesia bukan perkara mudah. Kebutuhan solar juga tinggi di wilayah timur Indonesia. “Tetapi pusat perkebunan kelapa sawit masih dominan di pulau Sumatera, Kalimantan. Mereka belum bisa distribusi minyak (kelapa sawit). Apalagi kalau pelabuhan yang skalanya sekunder seperti di NTT, Ambon, semakin sulit. Sehingga kita konsentrasi jangka menengah, kita tentukan jumlah substansial yaitu 30 persen konversi.”
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *