Ekonomi RI Tanpa Sri Mulyani


Pada tahun 1961, David McClelland menulis buku terkenal yang berjudul Achieving Society. Di buku itu McClelland mengingatkan, suatu bangsa akan jatuh bila mengandalkan pemimpin-pemimpinnya (baca: menteri atau CEO) berdasarkan motif-motif afiliasi (baca: persekongkolan, kekerabatan, afiliasi politik) atau motif kekuasaan (bagi-bagi kuasa). Sebagai gantinya, bangsa-bangsa harus mulai berorientasi pada achievement (hasil/kinerja).

Riset yang dibukukan itu diterima luas di dunia dan diterapkan di negara-negara maju, mulai dari Amerika Serikat, Jerman, Inggris, sampai Malaysia, Thailand, dan Singapura. Sementara di Indonesia, orang- orang yang mengejar kinerja kehilangan rumah dan dibiarkan pergi. Itukah yang terjadi dengan Sri Mulyani? Bagaimana masa depan ekonomi Indonesia tanpa mereka?

Korban perubahan – Tak dapat disangkal bahwa negeri ini masih perlu banyak tokoh perubahan. Namun, perubahan selalu datang bersama sahabat-sahabatnya, yaitu resistensi, penyangkalan, dan kemarahan. Hasil yang dicapai para achiever selalu ditertawakan dan mereka diadili, dipersalahkan secara hukum, seperti yang dialami Nicolaus Copernicus di abad ke-16, Giordano Bruno (1600), dan Galilei Galileo (1633) saat memperjuangkan kebenaran.

Sebagian besar change maker diadili oleh bangsanya, dipenjarakan, dirajam, dan dibunuh, seperti Martin Luther King, Abraham Lincoln, Gandhi, dan Munir. Sementara itu di dunia ekonomi, di perusahaan-perusahaan, para pembuat perubahan dicari untuk diberhentikan, seperti yang dialami Rini Soewandi yang dianggap berhasil mengawal Astra Internasional dari krisis (1998). Ia diberhentikan secara tragis sebagai CEO oleh BPPN, padahal media masa memberikan penghargaan sebagai CEO terbaik (Kompas, 9/2/2000).

Pada tahun 2009, masalah serupa dihadapi Ari Soemarno setelah tiga tahun

Sri Mulyani Indrawati

memimpin perubahan yang dianggap berhasil di Pertamina. Dan, tahun ini, kita menyaksikan umpatan-umpatan tidak sedap, bahkan tuntutan hukum terhadap Sri Mulyani. Padahal, di luar negeri ia dianggap sebagai menteri terbaik yang dimiliki dunia dan dalam pertimbangan saat memilihnya sebagai direktur pelaksana, Bank Dunia mengakui keberhasilannya dalam menangani krisis ekonomi, menerapkan reformasi, dan memperoleh respek dari kolega-koleganya dari berbagai penjuru dunia (www.worldbank.org).

Inilah saatnya bagi para politisi Indonesia untuk belajar menerima change maker dan achiever untuk meneruskan karya-karyanya dengan berhenti mengumpat dan mengadili apalagi mengedepankan motif-motif afiliasi dan kekuasaan. Kalau kita tidak bisa melakukannya, berhentilah menertawakan mereka. Janganlah kita menjadi sok kaya, dengan membuang baju bagus hanya karena satu benangnya terlepas lalu beranggapan seluruh jalinannya terburai.

Sebagai akademisi, sudah lama saya menyaksikan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di negeri ini. Orang berdebat dengan standar yang berbeda-beda dan begitu mudah marah bila kehendaknya tidak dipenuhi. Kita lebih sering menghujat dengan ukuran-ukuran yang tidak masuk akal.

Sudah sering pula disaksikan para ahli kita lebih dihargai di luar daripada di sini. Kita pun beranggapan politisi bisa lebih dipercaya daripada lembaga-lembaga internasional yang menghendaki kinerja. Persoalan yang dihadapi Sri Mulyani Indrawati adalah sama persis dengan anak- anak Indonesia yang gagal bersekolah di sini, tetapi berhasil di luar negeri. Saya sendiri mengalaminya, betapa sulit mendapat nilai bagus di sini, sementara di luar negeri kita sangat dihargai. Kita merasa bodoh di negeri sendiri bukan karena tidak mampu, melainkan karena betapa arogannya para pemimpin.

Logo Bank Dunia

Ekonomi ke depan – Tentu saja di Indonesia ada banyak ekonom pintar yang siap menggantikan Sri Mulyani. Namun, untuk memimpin ekonomi Indonesia, diperlukan lebih dari sekadar orang pintar. Jujur, bersih, dipercaya dunia internasional, berpikir jauh ke depan, aktif bergerak dan responsif, berani melakukan perubahan dan diterima di dalam kementerian adalah syarat yang tidak mudah dipenuhi.

Indonesia butuh lebih dari sekadar pengumbar syahwat kebencian atau orang yang sekadar pintar bicara. Selama lebih dari sepuluh tahun proses reformasi berlangsung, ekonomi Indonesia telah menjadi pertaruhan berbagai kepentingan. Ekonomi yang seharusnya dibangun dengan fondasi makro-mikro yang seimbang selalu menjadi rebutan di kalangan politisi. Demikian pula kita butuh lebih dari sekadar birokrat yang hanya menjaga sistem. Kita perlu pengambil risiko yang berani menghadapi tantangan perubahan.

Ada kesan saat ini ekonom tengah diperlakukan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa. Setelah dihujat sebagai neoliberal, ekonom tengah diuji untuk duduk manis di tepi ring dan membiarkan ekonomi diurus oleh para politisi. Saya tidak dapat membayangkan apa jadinya masa depan ekonomi Indonesia bila ia harus diurus oleh orang-orang yang taat pada maunya para politisi atau politisi yang berpura-pura menjadi ekonom.

Kita harus mulai menghentikan kriminalisasi terhadap para change maker

Kantor Bank Dunia

agar orang-orang pintar yang punya keberanian mengawal perubahan dan memajukan perekonomian Indonesia dapat bekerja dengan tenang. Saya yakin Sri Mulyani bukan “kabur” dari masalah. Seperti Sri Mulyani, banyak orang seperti itu yang saat ini berpikir untuk apa mengurus negara. Bukan karena mereka takut, melainkan semua berpikir, “Untuk apa membuang-buang waktu percuma.” Ini hanya sebuah zero-sum game.

Tanpa Sri Mulyani, ekonomi Indonesia tentu akan tetap berjalan. Namun, sebuah kelumpuhan tengah terjadi karena orang- orang pintar memilih cari aman daripada memperjuangkan perubahan. Ekonomi Indonesia berjalan bak perahu kayu tanpa mesin yang mengarungi samudra luas. Tatkala kapal-kapal asing yang dilengkapi alat-alat navigasi modern menari di atas gelombang samudra dengan kekuatan pengetahuan, kita hanya mampu berputar di antara pusaran gelombang tanpa kepastian.

Sri, selamat bergabung di Bank Dunia. Tetaplah bantu negeri ini, seberapa pun perihnya cobaan yang kau alami; karena itulah hukumnya perubahan. Memang perubahan belum tentu menghasilkan pembaruan, tetapi tanpa perubahan tak akan pernah ada pembaruan.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

2 thoughts on “Ekonomi RI Tanpa Sri Mulyani

  1. October 23, 2014 at 12:39 am

    bagus…

  2. James
    October 23, 2014 at 9:55 pm

    semakin Anjlok

Leave a Reply to James Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *