DPR dan Pemerintah, Lembaga Paling Tak Patuh Putusan MK


20160425092638090Pemerintah dan DPR menjadi lembaga negara yang paling tidak patuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal tersebut salah satunya dengan tidak diakomodirnya putusan MK terutama terkait pengujian Undang-undang (UU) mengenai Sumber Daya Alam (SDA) seperti tentang Kehutanan, Pertambangan, Perkebunan.

Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Adam Mulya menjelaskan, sejak berdiri hingga saat ini, MK telah memutus 22 uji materi mengenai SDA yang terdiri dari 11 perkara mengenai Kehutanan, delapan perkara tentang Pertambangan Minerba, dua perkara di bidang Perkebunan, dan satu perkara tentan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Berdasarkan analisis pihaknya terhadap puluhan putusan tersebut, pemerintah dan DPR paling tidak patuh terhadap putusan MK. Dicontohkan, MK telah membatalkan ketentuan tentang larangan menduduki tanah secara ilegal dalam Undang-undang 18/2004 tentang perkebunan. Dengan demikian, norma tersebut seharusnya sudah tidak berlaku lagi, namun ketentuan yang dibatalkan MK kembali masuk dalam revisi UU nomor 39/2014 tentang perkebunan.

“Ketentuan tersebut sebenarnya memang tak dimasukkan kembali pada revisi UU, tapi secara tersirat, ketentuan pasal yang dibatalkan MK tetap dimasukkan dengan makna yang hampir sama,” kata Adam dalam diskusi ‘Meruwat Mahkamah Konstitusi: Menyigi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Kehutanan, Perkubanan, dan Pertambangan’, di Jakarta, Rabu (8/2).

Padahal, Adam mengatakan, sejumlah putusan MK mengenai SDA mengedepankan upaya-upaya pelestarian lingkungan dan masyarakat setempat. Dicontohkan, pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat dalam pengujian UU Kehutanan, Perkebunan, dan Pertambangan. Selain itu, MK juga mengakomodir pertambangan rakyat dengan memperhatikan syarat-syaratnya dalam pengujian UU Minerba, serta penanganan tindak pidana lingkungan hidup yang wajib dilakukan penegakan hukum terpadu dalam UU PPLH. Namun, norma-norma yang lebih mengedepankan pelestarian lingkungan dan masyarakat setempat ini menjadi angin lalu lantaran tidak diakomodasi oleh pemerintah dan DPR dalam menyusun aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut.

“Ketiga contoh tersebut dapat benar-benar terlaksana apabila ketentuan yang berubah pascaputusan MK diakomodir oleh penyelenggara negara,” katanya.

Adam mengungkapkan, ketimbang DPR dan pemerintah, lembaga penegak hukum lebih patuh terhadap putusan MK. Dikatakan, putusan MK telah digunakan peradilan umum sebagai pertimbangan untuk memutus suatu perkara yang berkaitan dengan tindak pidana SDA.

“Peradilan umum yang menangani tindak pidana sumber daya alam lebih patuh terhadap putusan MK dengan menggunakan putusan tersebut sebagai pertimbangan dalam memutus perkara,” jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah mengaku khawatir dengan ketidakpatuhan pemerintah dan DPR terhadap putusan MK ini. Menurutnya, ketidakpatuhan tersebut harus ditelusuri untuk dicari penyebabnya.

“Ini fatal kalau setelah putusan tidak ada revisinya di UU. Apakah karena marwah putusannya, atau argumentasinya, atau jangan-jangan masalahnya di pemerintah atau DPR. Itu yang harus ditelusuri,” tegasnya.

Sementara, Ketua Kode Inisiatif, Veri Junaidi menyatakan, sejak kelahirannya, MK yang merupakan anak kandung reformasi telah menjadi lembaga yang sukses dalam mengawal konstitusi dan memberi harapan bagi para pencari keadilan di tengah keterpurukan lembaga peradilan. Namun, kasus suap penanganan sengketa Pilkada yang menjerat mantan Ketua MK, Akil Mochtar pada 2013, dan penangkapan terhadap Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar lantaran diduga menerima suap terkait uji materi UU tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan telah mencoreng MK.

Veri mengidentifikasi sejumlah celah yang membuat MK dua kali diguncang skandal suap. Dikatakan, kewenangan yang strategis dan menentukan arah konstitusi telah membuat semua pihak tersadar untuk ‘menitipkan’ kepentingannya kepada MK. Selain itu, mekanisme rekrutmen sembilan hakim konstitusi yang tak terbuka berpotensi disusupi oleh orang-orang titipan baik melalui tangan DPR, pemerintah, maupun MA. Apalagi, pengawasan terhadap MK semakin lemah dengan dikebirinya pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial oleh putusan MK sendiri.

“Publik mungkin juga terlena dengan gelar the guardian of the constitution MK. Kepercayaan terhadap MK telah membuat mata publik berpaling dan tidak lagi menaruh perhatian khusus apalagi curiga bahwa lembaga ini akan tersesat. Faktanya, oknum hakim konstitusi justru kembali mencoreng arang di lembaga peradilan ini,” ungkapnya.

Dengan sejumlah celah tersebut, Veri menyatakan, perlu dilakukan pembenahan untuk mengembalikan marwah dan menguatkan MK secara kelembagaan. Dikatakan, mekanisme rekrutmen hakim baik oleh DPR, Presiden, maupun MA perlu dilakukan secara terbuka. Selain itu, perlu adanya mekanisme pengawasan eksternal untuk menjaga marwah dan kewibawaan hakim konstitusi, tanpa memaknainya sebagai bentuk hubungan subordinat.

“Presiden juga perlu membentuk tim seleksi untuk memilih hakim konstitusi yang baru. Kami juga meminta publik untuk berpartisipasi secara masif terhadap MK,” paparnya.

Sementara pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra menilai proses seleksi hakim atau peningkatan kesejahteraan hakim bukan obat yang mujarab untuk mengembalikan citra dan marwah MK yang sudah dua kali tercoreng. Dua hal tersebut akan menjadi sia-sia tanpa hakim konstitusi yang memiliki kenegarawanan.

“Proses seleksi dan gaji saya kira bukan obat jitu membangun kembali MK yang sudah dua kali terkoyak. MK hanya butuh para hakim yang memilki kenegarawanan,” katanya.

Saldi mencontohkan, hakim konstitusi jilid pertama telah membuktikan mengantarkan MK sebagai lembaga terhormat, meski proses seleksi mereka tidak ideal dan terkesan tertutup. Namun, dengan dengan kenegarawanan yang dimiliki, para hakim ini

“Rekrutmen iya, tapi di generasi pertama juga tidak jelas bagaimana rekrutmennya. Dulu tidak ada debat soal negarawan. Pada 2003 kita tidak pernah bicara bagaimana perekrutan, yang paling penting MK terbentuk dan hakimnya ada. Orang yang mau jadi hakim MK harus menjalankan amanah menjaga marwah MK. Kalau tidak bisa, itu akan menghancurkan. Tidak ada yang ideal dalam proses pengisian itu, tapi hakim ini harus melihat bahwa hakim itu bukan profesi tapi jabatan yang di dalamnya ada kepercayaan,” paparnya.

Saldi juga menyebut, hakim MK tidak membutuhkan gaji atau tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibanding jabatan lainnya. Dicontohkan, seluruh pengacara berpenghasilan tinggi di Amerika Serikat berbondong-bondong ingin mendapatkan kursi hakim agung yang gajinya jauh lebih rendah. Hal ini lantaran adanya kebanggaan untuk dapat menjadi hakim agung dan setelah terpilih berupaya menjaga marwah hakim.

“Maka kalau ada yang berpikir hakim MK harus selesai dengan dunianya, saya kira itu keliru. Hakim MK menurut saya harus memiliki pandangan bahwa jabatannya adalah tanggungjawab demi negara, demi konstitusi, dan bermimpi menjaga marwah MK,” paparnya.( SP / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

One thought on “DPR dan Pemerintah, Lembaga Paling Tak Patuh Putusan MK

  1. Perselingkuhan+Intelek
    February 9, 2017 at 9:07 pm

    kacau…….kacau dimana-mana diseluruh Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *