DPR Akhirnya Sahkan UU Intelijen Negara + UU Intelijen, Ancaman Kebebasan Sipil?


Meski mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat, DPR akhirnya mengesahkan undang-undang (UU) Intelijen Negara. Sembilan fraksi di DPR sepakat dengan UU yang mejadi payung hukum bagi intelijen tersebut.

Demikian pula dengan RUU Komisi Yudisial (KY) yang disahkan. RUU KY diharapkan untuk penguatan terhadap KY sebagai lembaga pengawas hakim.

“RUU Intelijen Negara ini adalah merupakan payung hukum bagi Intelijen, sebab selama ini intelijen tidak mempunyai payung hukum dalam menjalankan tugasnya. Jadi kita harapkan intelijen kita ke depan bertambah kuat sehingga tidak kecolongan setiap ada aksi terorisme. Karena itu kita sahkan RUU Intelijen Negara menjadi Undang-undang,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, yang memimpin rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/10).

Selain RUU Intelijen, DPR juga menyepakati dengan bulat lahirnya RUU Komisi Yudisial (KY). RUU KY dipandang sebagai penguatan terhadap KY sebagai lembaga pengawas hakim. “Kita sahkan RUU ini, karena DPR memandang KY memang perlu dikuatkan,” kata Priyo.

Sembilan fraksi (Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PPP, PAN, PKB, Hanura dan Gerindra) pun mendukung lahirnya RUU ini. Hanya saja, sebelum pengesahan kedua UU tersebut seperti biasanya anggota DPR yang hadir belum juga kuorum. Paripurna pun molor hingga pukul 10.30, padahal seharusnya pukul 09.00 sudah dimulai.

Rapat paripurna sendiri menjadwalkan 3 agenda yaitu pengesahan RUU Intelijen Negara, Pengesahan RUU Komisi Yudisial (KY), dan Laporan Komisi XI terkait hasil pembahasan calon anggoa BPK.

Sementara itu terkait pasal pembocoran rahasia dalam UU Intelijen tersebut menurut Kepala BIN Sutanto, adalah menjadi kekhawatiran pelaku pers. Namun pasal itu hanya ditujukan kepada anggota intelijen, bukan pers. “Ini lebih tertuju kepada anggota intelijen,” kata Sutanto.

 

UU Intelijen, Ancaman Kebebasan Sipil?

UU Intelijen resmi disahkan. Bagaimana pengaruhnya bagi masyarakat negeri ini?

Selasa, 11 Oktober 2011, Rapat Paripurna DPR akhirnya mengesahkan Undang-undang (UU) Intelijen dengan suara bulat. Pengesahan UU yang telah terkatung-katung selama 9 tahun itu disepakati oleh seluruh fraksi di DPR. Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, menyambut pengesahan UU yang sempat menjadi kontroversi itu.

“Pemerintah menyatakan setuju dan mendukung RUU Intelijen disahkan menjadi UU,” kata Patrialis di hadapan rapat paripurna DPR di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa 11 Oktober 2011. Ketua Panja RUU Intelijen, Agus Gumiwang Kartasasmita, dalam laporannya di hadapan paripurna DPR, menekankan pentingnya pengesahan UU Intelijen, terkait ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional yang kini jenisnya semakin beragam.

“Ancaman-ancaman itu tidak lagi bersifat tradisional, tapi lebih banyak diwarnai dengan ancaman nontradisional,” kata Agus. Politisi Golkar itu menyatakan, hakikat ancaman kini telah mengalami pergeseran makna, bukan hanya meliputi ancaman internal, tapi juga meliputi ancaman luar yang bersifat simetris atau konvensional, maupun asimetris atau nonkonvensional.

“Bila kedua bentuk ancaman itu tidak diantisipasi secara dini, maka dapat menimbulkan ancaman yang lebih multidimensional. Dengan demikian, identifikasi dan analisis terhadap berbagai ancaman tersebut harus dilakukan secara lebih komprehensif, sesuai dengan dinamika perkembangan dan perhitungan strategis,” papar Agus.

Wakil Ketua Komisi I DPR itu menegaskan, untuk mencegah ancaman-ancaman tersebut menjadi nyata, maka negara ini membutuhkan intelijen negara yang tangguh, profesional, dan proporsional. “Itu semua harus disertai penguatan kerjasama koordinasi intelijen, demi menjaga tegaknya hukum, nilai-nilai, prinsip demokrasi, dan penghormatan terhadap hak azasi manusia,” tutur Agus.

Menurutnya, intelijen negara juga perlu melakukan berbagai penyesuaian diri, termasuk perubahan dalam visi, misi, paradigma, azas, dan doktrin intelijen. Untuk itulah, kata Agus, UU Intelijen ini disusun. “Sebagai payung hukum dalam memberikan jaminan terhadap seluruh aktivitas intelijen, demi membentuk intelijen negara yang profesional dalam melaksanakan tugasnya,” kata dia.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menyatakan, masyarakat tidak perlu khawatir dengan kehadiran UU Intelijen yang oleh beberapa pihak dikhawatirkan akan mengekang kebebasan sipil. Tujuan utama UU Intelijen, ujar Priyo, adalah agar intelijen sebagai alat negara, tidak lemah dan lumpuh.

Priyo yakin, siapa pun pemimpin atau Presiden di Indonesia, tak mungkin bisa menggunakan intelijen untuk kepentingan politik semata. “Kekhawatiran bahwa Presiden akan menggunakan alat intelijen untuk kepentingan personalnya, lambat laun akan terbantahkan kalau DPR dan masyarakat bisa menjalankan misi pengawasan,” kata dia.

Pasal-pasal Krusial
Namun demikian, optimisme pemerintah dan DPR, tidak diamini begitu saja oleh beberapa kalangan masyarakat, termasuk peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jaleswari Pramodhawardani. Menurutnya, ada beberapa pasal dalam UU Intelijen yang harus mendapat perhatian serius. Pasal-pasal tersebut dikhawatirkan menjadi pasal karet yang nantinya multitafsir dalam penerapannya.

Pasal pertama yang patut diwaspadai adalah Pasal 32 yang mengatur tentang penyadapan. Pasal 32 ayat (1) UU Intelijen itu berbunyi “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.”

Pasal 32 ayat (2) berbunyi, “Penyadapan terhadap sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dilaksanakan dengan ketentuan: a. Untuk penyelenggaraan fungsi intelijen. b. Atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara. c. Jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.”

Pasal 32 ayat (3) berbunyi, “Penyadapan terhadap sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri.”

Pasal 31 sendiri yang dijadikan referensi oleh Pasal 32 itu berbunyi, “… Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan: a. Kegiatan mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. b. Kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.”

Pasal-pasal yang mengatur tentang wewenang penyadapan itu, dirasa Jaleswari belum cukup. Menurutnya, soal penyadapan seharusnya diatur lebih rinci dalam UU tersendiri, yakni UU Penyadapan. “Harus ada aturan soal bagaimana penyadapan, kapan disadap, dan batas waktu penyadapan. Muatan sensitif perlu diatur rinci untuk menghindari abuse of power,” kata Jaleswari kepada VIVAnews.

Apapun, soal kapan penyadapan dilakukan dan batas waktu penyadapan, telah tercakup dalam Pasal 32 UU Intelijen. Pasal selanjutnya yang menurut Jaleswari perlu diwaspadai adalah Pasal 26, 44, dan 45 yang mengatur tentang kebocoran rahasia intelijen. Ketiga pasal itu mengatur sanksi bagi pihak-pihak yang membocorkan rahasia intelijen, baik secara sengaja atau tidak sengaja.

Pasal 26 UU Intelijen berbunyi, “Setiap orang dilarang membuka dan/atau membocorkan rahasia intelijen.” Pasal 44 berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja mencuri, membuka, dan/atau membocorkan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.”

Pasal 45 berbunyi, “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta.”

Jaleswari menyatakan, pasal-pasal tersebut berpotensi menjadi pasal karet yang merugikan masyarakat, terutama peneliti dan insan pers. “Sanksi seharusnya dikenakan kepada lembaga atau personal yang berwenang merahasiakan informasi intelijen. Kalau tidak, bisa bahaya,” kata dia. Mereka yang patut menjadi target potensial pasal ini, menurut Jaleswari, misalnya adalah institusi dan pejabat yang berwenang merahasiakan sistem dan fungsi anggaran.

Jaleswari tidak setuju apabila masyarakat umum juga bisa dikenai pasal-pasal tersebut. “Misalnya, saya diberi informasi intelijen dalam kapasitas saya sebagai peneliti. Tapi kemudian saya dihukum karena membocorkannya ke publik dalam penelitian saya. Nah, ini kan yang dihukum malah saya, bukan orang yang memberi informasi intelijen kepada saya,” papar Jaleswari.

Dengan demikian, ia menegaskan, ketiga pasal itu bisa menyasar target yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Jaleswari pun mempertanyakan kriteria ‘rahasia’ yang dimaksud oleh pasal-pasal tersebut. “Kategori kerahasiaan saja kita belum punya, belum ada undang-undangnya. Lantas sampai kapan masa berlaku kerahasiaan itu juga belum diatur,” kata dia.

Pasal 34 tentang penggalian informasi intelijen, juga layak diwaspadai. Pasal 34 ayat (1)berbunyi, “Penggalian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan dengan ketentuan: a. Untuk penyelenggaraan fungsi intelijen. b. Atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara. c. Tanpa melakukan penangkapan dan/atau penahanan. d. Bekerja sama dengan pihak penegak hukum terkait.”

Pasal 34 ayat (2) berbunyi, “Dalam melakukan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penegak hukum terkait wajib membantu Badan Intelijen Negara.”

Hal terpenting dari semua pasal itu, kata Jaleswari, adalah terkait mekanisme kontrol terhadap BIN dalam menggunakan kewenangannya. “Siapa yang mengontrol mereka? Siapa yang bertanggung jawab jika ada penyimpangan dalam penggunaan wewenang itu? Kalau salah menyadap bagaimana? Undang-undang kan tidak mengatur secara detail,” ujarnya.

Padahal, tambah dia, UU Intelijen sangat rentan sekaligus erat kaitannya dengan urusan kebebasan sipil dan kebebasan serta hak masyarakat menerima informasi. Jadi, menurut Jaleswari, seharusnya mekanisme kontrol terhadap BIN, dan sanksi bagi para anggotanya yang menyalahgunakan wewenang, perlu diatur dengan rinci.

Jawaban Kepala BIN

Kepala BIN, Sutanto, berupaya menepis berbagai kekhawatiran tersebut. Menurutnya, pasal-pasal dalam UU Intelijen tidak dimaksudkan sebagai ancaman bagi masyarakat dan kebebasan sipil. Ia megatakan, DPR dan pemerintah telah mengikuti masukan-masukan dari para pakar, akademisi, hingga masyarakat, dalam menyusun UU Intelijen.

“Saya memahami kekhawatiran ini. Di masa lalu, mungkin saja. Tapi dalam UU ini, sudah ada rambu-rambu dan sanksi hukumnya. Semua sudah terakomodir di sini. Misalnya, jika penyadapan dilakukan bukan untuk kepentingan pengamanan negara, maka dikenai sanksi berat,” jelas Sutanto.

Hal itu, contohnya, diatur dalam Pasal 46. Pasal 46 ayat (1) berbunyi, “setiap personel intelijen negara yang membocorkan upaya, pekerjaan, kegiatan, sasaran, informasi, fasilitas khusus, alat peralatan dan perlengkapan khusus, dukungan, dan/atau personel intelijen negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.”

Pasal 46 ayat (2) berbunyi, “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh personel intelijen negara dalam keadaan perang, dipidana dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari masing-masing ancaman pidana maksimumnya.”

Penyalahgunaan penyadapan, diatur lebih detail lagi pada Pasal 47 UU Intelijen yang berbunyi, “Setiap personel intelijen negara yang melakukan penyadapan di luar fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.”

Sementara soal kebocoran informasi intelijen yang dikhawatirkan mengancam masyarakat pada Pasal 26, 44, dan 45, Sutanto juga memberikan penjelasan. “Ini lebih tertuju kepada anggota intelijen. Jangan sampai mereka dilobi oleh intelijen asing, sehingga membocorkan rahasia intelijen kita,” kata Sutanto.

Lebih lanjut, Sutanto menjamin bahwa kerja-kerja intelijen berada di bawah pengawasan ketat Komisi I DPR. Kerja intelijen, ujarnya, bukannya tanpa kontrol dan pengawasan seperti yang disangka sejumlah pihak. “Pengawasan dari DPR itu kuat. Komisi mengawasi ketat kegiatan intelijen,” kata dia.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *