Dialog Kebangsaan, Jangan Diragukan Nasionalisme Warga Keturunan Tionghoa


20160208135458726Rasa kebangsaan dan nasionalisme warga keturunan Tionghoa di Tanah Air seharusnya tak perlu diragukan atau dipertanyakan lagi. Sebab, sejak prakemerdekaan hingga Indonesia merdeka, kiprah dan kontribusi orang Tionghoa di berbagai bidang, sangat besar.

Demikian benang merah yang terangkum dalam Dialog Kebangsaan bertajuk “Nasionalisme Tionghoa untuk Indonesia”, yang digelar Forum Pemprov dan DPRD Jawa Tengah (FWPJT), di Teater Liem Liang Peng, Sekolah Nasional Karangturi, Sabtu (27/8).

Dalam acara yang digagas bersama Yayasan Pendidikan Nasional Karangturi tersebut, budayawan yang juga pengusaha minuman Harjanto Halim mengakui,  dalam sejarah Indonesia, keberadaan Tionghoa merupakan kelompok minoritas, dan orang-orang Tionghoa sejak kemerdekaan Indonesia telah dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia untuk sama-sama membangun Indonesia.

“Dari sisi ekonomi, keberadaan Tionghoa menjadi pionir pembangunan ekonomi di Indonesia, karena saat itu sistem membatasi orang Tionghoa untuk berkiprah di pemerintahan. Untuk menjadi PNS saja, orang Tionghoa tidak mungkin bisa. Karena tidak bisa masuk ke pemerintahan, maka orang-orang Tionghoa memilih untuk berdagang, saat itulah tonggak sejarah perekonomian Indonesia dibangun,” ujar Ketua Kopi Semawis, penggiat wisata pecinan Semarang, ini.

Dijelaskan, orang-orang Tionghoa memiliki jasa yang besar dalam pembangunan di Indonesia, namun demikian masih dipandang sebelah mata, serta dianggap minoritas yang tidak perlu diberi ruang untuk membangun Indonesia menjadi lebih besar. Kecurigaan dan diskriminasi pun terjadi.

“Namun demikian kegiatan ini bukan untuk mengungkit jasa-jasa Tionghoa dalam membangun Indonesia, bukan untuk sombong-sombongan, karena semua ini untuk Indonesia, saya Tionghoa dan saya bangga menjadi orang Indonesia,” terang Harjanto disambut riuh tepuk tangan hadirin.

Harjanto meminta agar orang Tionghoa untuk bangga dan berani menunjukkan identitas dan jatidirinya bersama elemen masyarakat Indonesia lainnya.

“Tunjukkan itu dan banggalah sebagai Tionghoa. Sebagai pengusaha, kita juga jangan melakukan diskriminasi, berikan hak dan gaji sesuai dengan kemampuan karyawan, bukan karena etnisnya,” tegasnya.

Presiden Komisaris Dafam Grup Soleh Dahlan menceritakan bagaimana tragedi 1998 saat runtuhnya Orde Baru. Peristiwa Trisakti sarat dengan rekayasa, dimana yang menjadi korban kerusuhan dan penjarahan adalah Tionghoa.

“Saat kejadian itu, kebetulan saya adalah tokoh masyarakat di Pekalongan. Pekalongan  adalah sumbu pendek yang hampir setiap tahun terjadi konflik SARA dan yang menjadi sasaran adalah Tionghoa. Pada 1998, saya mendapatkan kabar kalau Tionghoa di Pekalongan menjadi sasaran konflik SARA,” ujarnya.

Karena itu sebagai tokoh yang dekat dengan Kodim, Koramil dan aparat lainnya, ia pun meminta tolong supaya diamankan, namun kedua pimpinan itu menyatakan tidak berani keluar karena diperintah untuk mengamankan markas.”Maka saya meminta tolong Bapak Mardiyanto yang saat itu Pangdam IV/Diponegoro. Pak Mardiyanto saat itu menyatakan akan membantu dan ternyata benar, sebanyak 600 personil dikirim ke Pekalongan dan Pekalongan pun aman,” ujar pengusaha sarang burung walet dan hotel ini.

Dari cerita tersebut, menurut Soleh, kedekatan dengan siapapun bisa dilakukan, baik itu Tionghoa, warga Indonesia Asli, dengan pejabat negara, pejabat penegak hukum dan lain-lain, tapi kedekatan itu bukan untuk kepentingan sendiri melainkan untuk kepentingan Indonesia. “Kedekatan kita dengan pejabat apapun bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan Indonesia,” tambah Soleh Dahlan.

Pengusaha yang juga aktivis perempuan dan pemerhati anak, Dewi Susilo Budiharjo mendedikasikan dirinya untuk Indonesia di bidang sosial. Ketua Yayasan Berkat bagi Bangsa ini menyediakan rumah singgah bagi anak-anak jalanan dan orang miskin.

“Saat kecil, saya mau main dengan temen yang non Tionghoa saja susahnya minta ampun, temen-temen meledek saya dengan sebutan “Cina”. Saya sedih karena saya lahir dan merasa orang Indonesia, buka orang Cina,” ujar Ketua DPW Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Jateng ini.

Dalam perjalanan waktu, ia pun menyadari bahwa dirinya bukan China, tapi Indonesia. Maka ia pun mendedikasikan hidupnya untuk Indonesia dengan bergerak dibidang sosial, tidak membedakan status sosial, dan saat ini ia pun bisa berdampingan mesra dengan semua kalangan dan agama.

“Tionghoa hanya suku, tapi hati dan jiwa raga ini untuk Indonesia, dan saya bangga menjadi warga Indonesia,” tandas pendiri Hope of Prayer, rumah doa dan puji-pujian.

Founder Batikmal.com Ariyani Matius Maun menyatakan, mendedikasikan dirinya untuk Indonesia dengan membuat produk Indonesia yang bisa menjadi raja di negeri sendiri.

“Saya dedikasikan hidup saya untuk Indonesia. Saya memiliki ambisi besar membuat produk Indonesia. khususnya batik, menjadi raja di negeri sendiri, serta mengharumkan Indonesia di mata negara-negara lain,” ujar dosen sebuah perguruan tinggi di Semarang ini.

Senada dengan itu, penulis buku Lian Gouw yang sejak 1960 bermukim di AS menyampaikan untuk bisa mengangkat Indonesia di negara lain harus dimulai dari diri sendiri. “Kita harus bangga menjadi Indonesia, kebanggan kita kepada Indonesia dengan tidak mengumbar kejelekan Indonesia kepada negara lain. Membangun Indonesia dengan penuh keikhlasan, tanpa mengharap pujian atau penghargaan,” ujar pendiri Dalang Publishing, yang telah menerjemahkan dan menerbitkan sejumlah novel karya sastra Indonesia di AS ini.

Tokoh Islam Tionghoa Anton Medan menyatakan perjalanan hidupnya penuh dengan kebencian terhadap Tionghoa, karena dari masa lalunya. Ia merampok, membunuh dan bahkan pendukung Ahok ini pernah mendekam 12 kali penjara.

“Tapi ganasnya penjara Nusakambangan, Cipinang, Kedungpane dan lainnya itu hanya pengadilan yang sangat ringan dan kecil, tapi pengadilan akhirat nanti yang paling dahsyat. Dari perjalanan hidup dan ritual saya, saya akhirnya menjadi Islam dan saya mantan bajingan, saya Islam, saya bangga menjadi Tionghoa dan saya bangga menjadi warga Indonesia,” tandas Ketua Umum Persatuan Islam Tionghoa Indonesia(PITI)  ini.

Anton yang menjabat Dewan Kehormatan PSMTI Pusat ini juga menyatakan dalam pergaulannya, ia tidak membedakan siapapun. Semua unsur dan golongan, baik nahdiyin maupun muhammadiyah, kristen maupun katolik dan lain sebagainya, semua ia rangkul.

“Apapun etnisnya, apapun agamanya, apapun golongannya dimata Allah adalah sama, yang membedakan adalah bagaimana ketaqwaan orang itu kepada Allah. Yang Kristen laksanakan ibadahnya dengan baik, yang kepercayaan laksanakan menurut keyakinannya. Karena tingkat ibadah itulah yang membedakan kita dimata Allah,” pesan Anton.

Menurut Anton, persatuan, saling menolong, dan toleransi merupakan kunci kerukunan dalam membangun Indonesia menjadi lebih baik. “Sebaliknya, membedakan orang lain, membedakan etnis dan suku, agama dan lainnya merupakan sumber perpecahan di Indonesia. Mari kita bangun Indonesia menjadi negara hebat, dan banggalah menjadi Tionghoa Indonesia,” tandas Anton

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

3 thoughts on “Dialog Kebangsaan, Jangan Diragukan Nasionalisme Warga Keturunan Tionghoa

  1. Perselingkuhan+Intelek
    August 29, 2016 at 11:01 pm

    memang tidak perlu di Ragukan lagi karena berapa banyak juga Pahlawan asal Keturunan Tionghoa yang tidak pernah disebut atau dikenal luas oleh Masyarakat Indonesia sendiri, hanya orang2 yang berpikiran Kerdil Cupek yang masih menggunakan cara Rasis Iri Merampok dan Membunuh keturunan Tiongha dalam segala bidang

  2. Perselingkuhan+Intelek
    August 29, 2016 at 11:03 pm

    itu yang membuat juga Negara Indonesia lebih lambat kemajuannya dibanding Negara Tetangga lainnya dan Internasional secara umumnya, karena ke Cuoekkan itulah maka Indonesia lambat untuk maju

  3. pengamat
    August 30, 2016 at 12:20 am

    Kalau yg koruptor nomor wahid, rekor masih dipegang orang tiongkok ex-WNI edi tansil. Habis korupsi langsung kabur keluar negri ganti warga negara.

Leave a Reply to pengamat Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *