YOGYAKARTA – Suasana kantor AhmaÂdiÂyah yang terletak di Jalan Abubakar Ali, YogÂyÂaÂkarta, tampak lengang. Suasananya seperti rumah biasa, bukan perkantoran. Tak ada papan nama yang menunjukkan baÂngunÂÂan tersebut merupakan kantor Ahmadiyah.
Selain itu, tak ada penjagaan khusus menyusul keruÂsuhÂan yang terjadi di Cikeusik maupun TemangÂgung beberapa waktu lalu.
Hal itu bisa dipahami, kaÂreÂna kantor Ahmadiyah terÂÂseÂbut berada di depan kanÂtor PolÂsek Danurejan, Yogya. SeÂmentara itu, suaÂsaÂna di KamÂpung KeÂtangÂgungÂan, Yogya, tepatnya di Gang Nakulo, yang merupakan lingÂkungan tempat tinggal salah satu pengurus AhmaÂdiyah Yogya, Suhadi, juga adem ayem. Aktivitas warÂgaÂnya juga berjalan norÂmal, saling sapa di antara teÂtangÂga ketika bertemu. “Memang ada pendataan bagi warga Ahmadiyah beberapa waktu lalu setelah pecah kerusuhan Cikeusik. Para intel mendata kami sekeluarga. Ya tak apa-apa, wong hanya ditanya identitas saja. Petugas juga saya kenal karena sering ketemu di kantor kelurahan,” ungkap Suhadi, yang menjaÂbat Ketua Lansia di AhmaÂdiyah Yogya, ketika berbinÂcang-bincang dengan SH.
Lelaki yang telah berusia 75 tahun dan hidup bersama anak dan cucunya di KamÂpung Ketanggungan ini meÂraÂsa tak takut sedikit pun deÂngan adanya gonjang-ganÂjing kabar tentang AhmaÂdiyah. “Suasana rukun terÂjalin di kampung ini. Rumah saya juga sering dipakai untuk keronÂcong-an warga,” tutur penÂsiunan guru bahasa Inggris SMA 5 Yogya ini. Bahkan, lanjut Suhadi yang masuk Ahmadiyah sejak 1963, dirinya juga membantu pembangunan masjid di kampungnya pada 1993. “Kala itu di rumah ada beberapa ratus bata, gamping, dan pasir yang kami sumbangkan untuk pembangunan masjid,” tutur Suhadi yang mengaku lahir di lingkungan Muhammadiyah.
Tak hanya itu, Suhadi yang menciptakan Himne IAIN (kini UIN Sunan Kalijaga) dan Himne UII. Di kampungnya, ia merintis pengajian Jumat Kliwon. “Sampai sekarang pengajian tersebut masih jalan, hanya saja harinya diganti menjadi Selasa Kliwon,” katanya.
Dalam pengamatannya selama ini, Yogya adem ayem dan betul-betul menunjukkan kota yang toleran. Buktinya, semua tetangganya yang berbeda agama dan suku bisa hidup dengan rukun dan damai, serta saling menolong. Terlebih lagi dirinya baru mendengar penegasan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang tidak akan mengeluarkan surat keputusan (SK) pelarangan terhadap kegiatan Ahmadiyah.
“Saya tidak akan mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur tentang pelarangan Ahmadiyah,” tegas Sultan ketika ditanya wartawan saat berkunjung ke Bantul, Kamis (3/3). Menurut Sultan, kalau ada daerah lain yang mengeluarkan SK pelarangan, itu adalah inisiatif mereka sendiri. “Kita tidak perlu, karena kehidupan masyarakat di sini aman dan baik saja. Ahmadiyah di Yogyakarta tidak ada masalah dan semuanya berjalan dengan damai, sehingga tidak perlu diprovokasi dan terprovokasi,” tegas Sultan.
Ikrar Perdamaian
Sementara itu, secara terpisah, Wali Kota Yogya, Herry Zudianto, usai menyaksikan ikrar perdamaian Yogya sebagai Kota Toleran bersama 48 perwakilan forum yang tergabung dalam Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (AJI Damai), Kamis siang, di aula Balai Kota Yogya, dengan tegas pula menolak dan mengatakan tidak perlu mengeluarkan SK pelarangan Ahmadiyah.
Ia menjelaskan, warga Yogya sangat dewasa dan hidup dengan rukun serta saling toleran. “Jadi nggak perlu ada SK pelarangan. Selama ini juga tak ada desakan agar saya mengeluarkan SK itu. Saya juga yakin tak akan ada desakan untuk itu,” tuturnya. Atas pernyataan kedua penguasa Yogya tersebut, Suhadi mengacungkan jempol.
“Ini hebatnya manajemen Ngarso Dalem (Sultan—red). Beliau memang pantas menyandang gelar Panatagama. Beliau menjalankan fungsinya dengan benar,” tegas Suhadi. Sementara itu, Ketua Ahmadiyah Yogya, Syaifudin, yang dihubungi SH via telepon, mengaku prihatin atas keluarnya SK pelarangan yang dikeluarkan oleh gubernur di beberapa daerah. “Kami bisanya hanya berdoa. Saya berharap Yogya masih istimewa,” ujarnya