Begitu Hina Dan Rendahnya Harga Diri Orang Indonesia Saat Pemilu?


Berapa harga satu suara orang Indonesia saat pemilu?

Mengapa orang Indonesia suka menjual suaranya begitu murah?

Menjelang tanggal  9 April 2014, yang merupakan hari pemungutan suara untuk pemilihan anggota legislatif, muncul sejumlah anekdot yang menggelitik tentang  harga seorang rakyat  dalam Pemilu.

Melalui pesan singkat (SMS) di telepon selular, ada yang menyebutkan jika tarif pekerja seks komersil (PSK) lebih tinggi dari pada harga rakyat dalam Pemilu.

“Dalam satu malam, PSK disewa sekitar Rp2 juta, sedangkan harga rakyat hanya Rp100 ribu untuk lima tahun,” kata isi pesan singkat tersebut.

Dalam pesan singkat lainnya, disebutkan juga kalau harga rakyat dalam Pemilu juga lebih rendah dari harga seekor kambing dewasa.

“Satu ekor kambing dewasa harganya sekitar Rp1,5 juta. Sedangkan harga rakyat hanya Rp100 ribu. Berarti dalam Pemilu, kambing lebih terhormat dari pada manusia,” kata isi pesan singkat itu.

Begitu hina dan rendahkah rakyat Indonesia dalam Pemilu sehingga hanya dihargai Rp100 ribu? 

Pembiaran Miskin

Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Sohibul Ansor Siregar menilai, praktik politik uang tersebut terus terjadi karena adanya pembiaran agar rakyat terus berada dalam kemiskinan.

Sebagian politisi di Tanah Air menyadari bahwa rakyat yang miskin biasanya mudah didekati dan dimintai suaranya, asalkan disertai pemberian materi yang jumlahnya sebenarnya sangat kecil.

Ketika sudah berhasil mendapatkan suara rakyat dan menjadi pejabat, tidak sedikit politisi itu sengaja tidak melakukan kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau konstituennya.

Dengan kata lain, masyarakat tersebut akan diupayakan untuk terus miskin sehingga bisa dijadikan objek politik uang pada Pemilu selanjutnya, bahkan untuk proses pilkada.

Ironisnya, dengan kondisi kemiskinan yang ada, apalagi dengan pengetahuan dan kesadaran politik yang terbatas, tidak sedikit rakyat miskin tersebut rela menjadi objek politik uang.

“Bagi rakyat yang melarat, lebih penting bisa makan hari ini dari pada sejahtera lima tahun mendatang,” katanya.

Kondisi itu diperparah dengan sulitnya menjegal praktik politik uang tersebut karena aturan yang dibuat juga banyak yang bermasalah, baik disengaja atau hanya kebetulan.

Dengan pemeliharaan kemiskinan tersebut, kalangan politisi itu tetap berpeluang untuk mempertahankan jabatan dan kekuasaannya karena rakyat yang akan “dieksploitasi” suaranya dengan praktik politik uang terus ada.

“Pragmatisme itu sering ada pada rakyat yang miskin. Dengan kemiskinan itu, mereka sasaran empuk politik uang karena prinsipnya ‘safety first’ (selamat duluan untuk makan),” ujar Siregar.

Sebenarnya, demokrasi adalah “gawean” bangsa yang berbudaya dan berdaulat, baik dari aspek perekonomian mau pun keinginan kuat untuk menjaga harga diri dengan tidak mengizinkan hak politik rakyat “dijual” dengan materi yang murahan.

Namun, dengan kondisi rakyat yang masih miskin, baik secara ekonomi mau pun pemahaman politik, termasuk kalangan politisi yang menganggap politik masih sebagai jalan untuk meraih kekuasaan, maka politik uang sulit dihindarkan.

“Politik uang itu bentuk ketidakpahaman atas nilai dan pilosofis demokrasi, baik rakyatnya mau pun politisi yang sedang menjajakan diri lewat parpol,” katanya.

Najis

Masyarakat harus disadarkan bahwa politik uang tersebut merupakan perbuatan yang sangat kotor, bahkan perlu dikatogorikan “najis” yang tidak boleh disentuh.

“Dengan begitu, akan muncul rasa jijik di kalangan masyarakat untuk menerima sesuatu dalam sebuah proses demokrasi,” kata sosiolog dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara Dr H Ansari Yamamah.

Untuk menimbulkan kesadaran dan pemahaman tersebut, seluruh pemangku kepentingan, termasuk kalangan pemuka agama perlu memberikan pendidikan politik agar masyarakat cerdas dalam Pemilu.

Selama ini, ada fenomena yang kuat jika masyarakat kurang peduli dengan politik uang, bahkan terkesan mengharapkan sesuatu dari seorang tokoh yang sedang “bertarung” dalam sebuah proses demokrasi seperti Pemilu.

Fenomena itu muncul disebabkan masyarakat tidak menyadari bahaya dari praktik politik uang sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah.

Salah satu penyebab munculnya fenomena itu karena tidak adanya larangan yang tegas dari pemuka agama, sekaligus menjelaskan hukum politik uang dalam pandangan agama.

Apalagi, sebagian pemuka agama justru menyatakan boleh menerima pemberian seorang calon pejabat atau politisi meski pilihan politik yang diberikan tergantung pada hati nurani masing-masing.

“Itu ajaran yang tidak baik karena seolah-olah mengajarkan masyarakat untuk bersikap munafik,” katanya.

Pemberian uang atau suatu benda yang dilakukan dalam sebuah proses demokrasi seperti Pemilu dapat dikategorikan sebagai upaya penyuapan terhadap masyarakat. Padahal, yang dibutuhkan rakyat bukan pemberian secara instan yang mudah habis dan tidak memberikan manfaat untuk jangka panjang.

Dalam sebuah proses demokrasi, yang paling dibutuhkan masyarakat adalah kepedulian dan rasa tanggung jawab pemimpin yang dibuktikan dengan penerapan kebijakan yang berpihak pada kepentingan khalayak ramai jika berhasil mendapatkan mandat masyarakat.

Jika melakukan praktik politik uang dalam Pemilu, seorang politisi terpaksa harus mengeluarkan dana yang cukup besar, baik dengan berhutang, menjual aset, atau meminjam pada orang lain.

Karena itu, ketika politisi itu berkuasa atau mendapatkan jabatan melalui praktik politik uang, tidak heran jika perhatian utamanya untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, tetapi mengembalikan modal yang telah terkuras.

Meski bukan jaminan, tetapi politisi yang tidak terlalu banyak mengeluarkan modal dalam Pemilu mungkin lebih dapat diharapkan untuk fokus dalam mencari dan menerapkan kebijakan yang peduli masyarakat kecil.

“Namun, kalau kekayaannya sudah terkuras akibat politik uang, wajarlah dia berupaya mengembalikan modalnya. Tidak ada orang yang mau rugi,” ujar Ansari.

Tak Bertangung Jawab 

Ketua DPD PDI-P Sumatera Utara, Panda Nababan menganggap praktik politik uang tersebut adalah perilaku politisi yang tidak bertanggung jawab.

Sebagai politisi, ia pernah berdialog sejumlah dengan anggota legislatif yang enggan memperjuangkan aspirasi rakyat, bahkan tidak mau menerima konstituennya yang berkunjung ke gedung dewan.

Ketika dipertanyakan, Panda Nababan mengaku mendapatkan jawaban yang cukup mengejutkan yakni anggota legislatif itu merasa tidak memiliki tanggung jawab lagi terhadap rakyatnya karena sudah memberikan materi ketika dalam proses Pemilu.

“Mereka bilang, untuk apa ku urus lagi rakyat itu. Sudah kukasi dulu duit waktu Pemilu,” katanya.

Karena itu, masyarakat diharapkan dapat bersikap bijaksana dalam menghadapi politisi yang suka membagi-bagikan uang untuk mendapatkan suara dalam Pemilu.

Selain itu, mantan anggota DPR RI itu juga tidak terlalu yakin dengan praktik politik karena tidak adanya jaminan dari masyarakat yang masyarakat mendapatkan materi tersebut.

Meski telah menerima uang, tetapi tidak ada jaminan dan kepastian bahwa rakyat tersebut akan memilih politisi yang memberikan materi itu.

“Dalam bilik suara nanti, hanya dia dan Tuhan yang tahu siapa yang dicoblosnya,” kata Panda.

Sebagai gambaran, mungkin menarik untuk menyimak kalimat Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Sumut Budiman Nadapdap yang enggan melakukan politik uang dengan memberikan uang dalam jumlah tertentu.

Biasanya, rakyat sering diberikan uang sekitar Rp100 ribu atau Rp200 ribu untuk memilih politisi tertentu dalam Pemilu.

Pihaknya menilai pemberian tersebut sangat merendahkan rakyat sebagai manusia yang bermartabat, apalagi jika dibandingkan dengan benda lain yang harganya justru lebih mahal.

“Di Tapanuli, harga kepala babi saja Rp300 ribu. Masa lebih mahal kepala babi dari manusia,” kata Budiman.

Nah, masih mau memilih karena pemberian uang? Silahkan berpikir sendiri. Tepuk dada, tanya selera

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

5 thoughts on “Begitu Hina Dan Rendahnya Harga Diri Orang Indonesia Saat Pemilu?

  1. james
    April 9, 2014 at 12:51 am

    memangnya juga dimata Internasional Harga Diri Orang Indonesia sudah sangat Rendah banget, gak pernah ada yang Menghargainya sudah banyak Corengan Hitamnya

    1. ronald
      July 10, 2014 at 2:40 pm

      jokowi – jk klemer klemer ..
      bisa hancur negri ini klo di pimpin jokowi ..
      itu kata2 dari cawapres nya ..
      cawapres nya saja bilang begitu ..
      hahahaha

    2. James
      July 11, 2014 at 12:59 am

      Jokowi-JK MENANG !!!

  2. elfan
    April 10, 2014 at 12:11 am

    ya faktor kemiskinan rakyat kitalah yg mengharuskan demikian. kita minta pertanggungjawaban para cerdik pandai yang berkarya di pemerintahan dan negara.

  3. Donny+Rahmat
    June 16, 2014 at 10:53 pm

    ini biasanya orang bermental “Wani piro “……. ini yang harus di cuci otak…. dengan Revolusi Mental !!!!

Leave a Reply to james Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *