Riset, hibah hardcopy Sin Po bingkai peran etnis Tionghoa bagi Bangsa
dilaporkan: Setiawan Liu

Di Museum, ada koleksi biola asli Supratman. Biola tersebut merupakan saksi bisu lahirnya lagu kebangsaan Indonesia Raya. Lagu Indonesia Raya diperdengarkan Supratman dan bekerja keras menyosialisasikannya. Upaya Supratman dibantu sahabat Tionghoa Yo Kim Tjan. Yo memfasilitasi Supratman menciptakan piringan hitam Indonesia Raya versi keroncong. Karena keroncong sangat popular pada awal abad 20. Supratman berharap, dengan adanya Indonesia Raya versi keroncong, lagu Indonesia Raya semakin populer. “Di Museum, pengunjung bisa mendengarkan Indonesia Raya versi keroncong,” kata alumni Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) jurusan Sejarah, Universitas Indonesia.
Sin Po merupakan surat kabar pertama yang, pada bulan November 1928, menyiarkan lagu Indonesia Raya gubahan Supratman. Ia adalah wartawan harian ini sejak tahun 1925. Mengikuti peraturan pemerintah yang berlaku sejak bulan Oktober 1958, surat kabar ini mengubah namanya menjadi Pantjawarta dan kemudian Warta Bhakti. “Seorang kolektor artefak sejarah, Bagus Supriono sempat kontak melalui social media. Dia bertanya apakah Museum sudah punya koleksi Sin Po. Kami respons dan menjelaskan, sampai akhirnya beliau mau menghibahkan beberapa hardcopy yang asli kepada Museum,” kata laki-laki kelahiran Jakarta tahun 1992.
Supratman berniat merekam dan memperbanyak lagu tersebut dalam bentuk piringan hitam. Setelah sempat ditolak Odeon dan Tio Tek Hong lantaran takut berurusan dengan polisi Belanda, akhirnya Yo Kim Tjan, pemilik Roxi Cinema House dan Lido, bersedia memproduksi dan mendistribusikan rekaman lagu tersebut melalui Toko Populair. Yo Kim Tjan jugalah yang menyarankan Supratman untuk memproduksi rekaman Indonesia Raya dalam dua versi. Versi pertama adalah versi asli yang dinyanyikan Supratman, sedangkan versi lainnya dibuat dalam format keroncong. Seluruh proses rekaman dilakukan secara sembunyi-sembunyi di rumah Yo di Gunung Sahari 37, Batavia. “Cucunya (Yo Kim Tjan) masih sempat menghubungi kami, pak Sutjitra. Sekarang pak Sutjitra tinggal di Jl. Tanah Abang V (Jakarta Pusat). Kondisi kesehatannya, beliau sedang cuci darah, tapi masih mau bantu Museum terutama mengenai peran kakeknya,” kata Eko Septian. (sl/IM)















