100 Pengacara Konyol Siap Menggugat Ahok


Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI)  Ali Mahsun di Jakarta, pada Sabtu, 3 Agustus 2013, mengatakan sudah mempersiapkan sebanyak 100 pengacara untuk menggugat secara hukum Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

 

Gugatan hukum itu dilakukan terkait pernyataan Ahok bahwa dia  akan mempidanakan PKL yang menolak direlokasi dan tetap berjualan di badan jalan, atau di lokasi yang dilarang untuk itu di kawasan Tanah Abang, Jakarta.

 

Ali Mahsun mengatakan bahwa pernyataan Ahok itu merupakan preseden terburuk selama Republik Indonesia merdeka. Seharusnya, kata dia, seorang pimpinan negara tidak boleh mengancam, mengintimidasi, dan melakukan diskriminasi kepada rakyat.

 

Gugatan hukum itu, kata Ali Mahsun, jika somasi yang sebelumnya sudah dikirim kepada Ahok itu tidak direspon. Pihaknya akan melapor Ahok ke Polda Metro Jaya dengan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.

 

Ahok juga akan dilaporkan ke Menteri Dalam Negeri karena menurut Ali Ahok adalah pimpinan yang tidak bisa dijadikan teladan dan tidak memasang badan untuk kepentingan rakyatnya.

 

Tidak cukup sampai di situ, Ahok juga akan dilaporkan ke Komnas HAM, dengan tuduhan Ahok telah melanggar HAM PKL Tanah Abang, berdasarkan Pembukaan UUD 1945, Pasal 27, 33, dan 34 UUD 1945.

 

Somasi yang dimaksud sudah dikirim kepada Ahok pada 23 Juli 2013. Isinya menuntut Ahok dalam tempo 14 hari sejak tanggal somasi itu (6 Agustus 2014), meminta maaf kepada PKL Tanah Abang atas ancamannya akan mempidanakan PKL yang menolak direlokasi dan tetap berjualan di jalanan atau lokasi lain yang dilarang untuk itu.

 

Tentu saja Ahok tidak bakalan memenuhi somasi konyol ini

 

“100 Pengacara Konyol”

 

Seandainya benar-benar terjadi ada 100 pengacara atas nama PKL Tanah Abang mengajukan gugatan tersebut, maka hal ini membuktikan bahwa sedikitnya ada 100 pengacara bodoh konyol yang berpraktek di DKI Jakarta. Entah bagaimana caranya mereka bisa lulus ujian Sarjana Hukum dan mendapat izin berpraktek sebagai pengacara.

 

Peristiwa ini juga akan menjadi peristiwa hukum terkonyol selama Republik Indonesia merdeka. Betapa tidak dasar gugatannya mengatasnamakan PKL Tanah Abang tersebut. Padahal semua PKL itu sudah menyatakan mendukung kebijakan Pemprov DKI Jakarta itu dengan bersedia direlokasi ke Blok G Pasar Tanah Abang itu. Tidak ada lagi yang mau berjualan di jalanan.

 

Bahkan saking tingginya antusiasme PKL-PKL itu untuk masuk ke Blok G itu, kapasitas Blok G itu akhirnya melebihi kapasitas. Pendaftarannya pun telah ditutup pada Sabtu, 3 Agustus 2013. Sebanyak 961 lapak yang disediakan telah terisi semuanya.

 

Terus, 100 pengacara itu mau menggugat Ahok untuk dan atas nama siapa?

 

Apa yang salah dari pernyataan Ahok bahwa dia akan mempidanakan siapa saja PKL yang masih berjualan di jalanan di kawasan Tanah Abang itu? Pernyataan itu lebih tepat sebagai suatu peringatan daripada sebagai suatu ancaman atau intimidasi.

 

Pernyataan Ahok Punya Dasar Hukum yang Sangat Kuat

 

Ahok mau digugat karena perbuatan tidak menyenangkan? Justru PKL-PKL itulah yang selama 20 tahun lebih telah melakukan “perbuatan tidak menyenangkan”, yang membuat warga pengguna jalan di sana sengsara setiap hari karena jalanannya macet dan semrawut luar biasa. Jalan raya yang seharusnya digunakan untuk lalu-lintas kendaraan bermotor, dan trotoar yang seharusnya diperuntukkan pejalan kaki, malah nyaris semuanya dipakai berjualan. Itu lebih parah daripada sekadar suatu perbuatan tidak menyenangkan.

 

Konyol lagi, Ketua APKLI Jakarta Hoiza Siregar menyatakan tidak ada dalam peraturan tertulis yang melarang warga negara untuk bekerja, berjualan, di suatu tempat di mana pun. Bagaimana jika PKL-PKL itu membuka lapaknya di pekarangan rumah anda?

 

Semua warga negara memang mempunyai hak untuk berusaha/berjualan di mana pun, tetapi sebagaimana hak-hak lainnya, pasti ada batasannya, demi ketertiban dan kepentingan umum yang lebih tinggi. Batasan-batasan yang berupa larangan disertai sanksi hukumnnya diatur di dalam peraturan hukum tertulis. Baik berbentuk Perda, maupun Undang-undang.

 

Dasar hukum Pemprov DKI Jakarta untuk mempidanakan PKL yang tetap berjualan di jalanan (jika masih ada) adalah Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, dengan sanksi pidana berupa kurungan 10 hingga 60 hari, denda Rp. 100 ribu sampai Rp. 20 juta. Dengan berjualannya PKL di kawasan publik seperti di Tanah Abang itu sangat jelas mengganggu ketertiban umum.

 

Itu mengenai ketertiban umumnya yang memang menjadi wewenang Pemprov DKI Jakarta. Sedangkan mengenai penyalahgunaan jalan raya. mengganggu arus lalu-lintas, atau bahkan mengubah fungsi jalan raya menjadi lokasi dagang seperti yang selama ini terjadi di PKL Tanah Abang diancam dengan pidana yang jauh lebih berat.

 

Pasal 12 UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, mengatur:

(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan.

(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan.

(3) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan.

 

Bagi pelaku pelanggarannya diancam sanksi pidana di Pasal 63:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

Pasal 28 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, mengatur:

(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.

(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).

 

Bagi pelaku pelanggarannya diancam sanksi pidana di Pasal 274:

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

(2) Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2).

Dari sini jelaslah bahwa pernyataan Ahok itu bukan asal bunyi, bukan pula sebuah ancaman. Pernyataan Ahok mempunyai dasar hukum yang sangat kuat. Pernyataannya tersebut lebih tepat dikatakan sebagai suatu peringatan agar para PKL itu tidak melanggar hukum. Sangat logis, dan memang sudah seharusnya begitu: Setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum harus dipidana. Kalau tidak mau dipidanakan, ya, jangan melakukan pelanggaran hukum, kan? Logika yang sederhana.

Ali Mahsun bilang, dia juga akan melaporkan Ahok ke Menteri Dalam Negeri karena menurut Ali Ahok adalah pimpinan yang tidak bisa dijadikan teladan dan tidak memasang badan untuk kepentingan rakyatnya.

 

Ini jelas logika jungkir balik. Justru Ahok telah memasang badan dalam menghadapi preman-preman pembeking PKL Tanah Abang itu, demi tegaknya hukum dan Konstitusi yang selama ini hanya dijadikan barang pajangan. Ketegasan Ahok yang non-kompromi dan non-toleransi itu sejalan dengan sikap Gubernur Jokowi, merupakan sikap pejabat negara idaman rakyat. Tak heran dwi-tunggal ini jauh lebih banyak mendapat dukungan publik daripada mereka yang menentangnya.

 

Komnas HAM yang Sama Konyolnya

Logika jungkir balik Ali Mahsun (dan 100 pengacaranya) itu terus berlanjut dengan niat mereka akan melaporkan Ahok ke Komnas HAM dengan tudingan telah melakukan pelanggaran HAM kepada PKL Tanah Abang.

 

Justru selama ini PKL Tanah Abang berikut preman-preman pembeking merekalah yang telah melakukan pelanggaran HAM habis-habisan dan terang-terangan terhadap warga Jakarta pengguna jalan raya di kawasan Tanah Abang itu.

 

Hak pengguna jalan raya untuk bisa mengendarai kendaraan mereka dengan aman dan nyaman, demikian juga bagi pejalan kaki di trotoar jalan, yang dilindungi UU, selama lebih dari 20 tahun telah dirampas oleh PKL Tanah Abang. Kini ketika Pemprov DKI Jakarta (dalam hal ini Ahok) hendak menegakkan kembali hukum, dan hak-hak pengguna jalan raya dan trotoar itu hendak dipulihkan, dengan tetap memperhatikan kepentingan PKL-PKL itu, kok ada yang malah menuduh Ahok telah melakukan pelanggaran HAM?

 

Tapi, jangan kaget kalau Komnas HAM nanti akan mengeluarkan pernyataan yang mendukung Ali Mahsun dan PKL Tanah Abang itu. Sebab, sebelumnya mereka sudah melakukan hal yang sama dalam kasus penghuni ilegal di bantaran Waduk Pluit ketika hendak digusur Jokowi-Ahok. Komnas HAM waktu itu juga bilang, Pemprov DKI Jakarta telah melakukan pelanggaran HAM kepada para penghuni ilegal tersebut. Dan, bahwa Pemprov DKI Jakarta wajib memberi ganti rugi kepada para penghuni liar yang hendak digusur itu.  Entah logika apa yang dipakai mereka. Orang menduduki tanah negara secara ilegal, kok, ketika disuruh pindah, dituding melanggar HAM, dan harus bayar ganti rugi.

 

 

Dalam kasus PKL Tanah Abang juga Komnas HAM akan bersikap demikian.

Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, satu suara dengan Ali Mahsun.

 

Komisioner Komnas HAM ini bilang, pemerintah tidak boleh melakukan diskriminasi, dan tidak boleh memberikan pernyataan yang mengancam PKL Tanah Abang itu. Seperti yang dilakukan oleh Ahok tersebut di atas.  Bahkan menurutnya, dalam konteks HAM Pemerintah tidak boleh melakukan pembatasan di mana PKL itu hendak berdagang.

 

Entah apa yang mereka maksudkan dengan Pemprov DKI telah melakukan diskrimansi terhadap PKL Tanah Abang.

 

“Kalau dalam konteks HAM, Perda tidak bisa membatasi (hak-hak PKL),” kata Pigai

 

Artinya, menurut orang ini, Perda No 7/2008 tentang Ketertiban Umum tidak bisa digunakan Pemprov DKI untuk penertiban PKL Tanah Abang. Menurutnya, yang bisa membatasi HAM adalah undang-undang. Ini berdasarkan Pasal 73, UU No 39/1999 tentang HAM, katanya.

 

Di sisi lain, deklarasi HAM dunia menyatakan pemerintah harus respek terhadap HAM, memproteksi, dan memenuhi kebutuhan mereka. “Dalam UU No 39/1999 tentang HAM, yang berkewajiban memenuhi HAM itu adalah pemerintah,” kata Pigai.

 

Orang ini lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa justru selama ini PKL Tanah Abang telah melanggar HAM pengguna jalan raya, telah melanggar hukum, bukan hanya perda, tetapi Undang-undang, sebagaimana saya sebutkan di atas. Apakah bagi Komnas HAM, hak PKL itu harus lebih diutamakan daripada hak-hak publik yang lebih besar?

 

Pigai mengatakan yang bisa membatasi HAM (PKL Tanah Abang) itu hanyalah UU. Rupanya dia tidak tahu ada UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang memang membatasi hak-hak PKL berjualan di jalan raya, maupun di trotoar sebagaimana saya ulas di atas itu.

 

Terus terang, untuk Komnas HAM periode ini, saya kehilangan respek kepada Komnas HAM yang kinerjanya sampai hari ini tidak jelas. Malah yang menonjol adalah sikap mereka yang saling rebutan fasilitas mewah Ketua Komnas itu, sebagaimana saya pernah tulis di Kompasiana ini. ***

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *