Pengamat hukum perbankan Pradjoto berharap proses politik DPR RI terhadap eks Bank Century berhenti, mengingat hal ini bisa mempengaruhi proses divestasi Bank Mutiara. Bank Century yang berganti nama menjadi Bank Mutiara sedang dalam proses divestasi, dan target penyelesaian sampai akhir tahun ini. Proses politik diwarnai antara lain desakan Timwas (Tim Pengawas) DPR terhadap Wakil Presiden Boediono ‘tunduk’. Wapres, menurut Pradjoto harus menolak ‘perintah’ DPR. “Persoalan Century bukan politik, tetapi hukum. Kalau pak Boediono tidak hadir di DPR, sangat layak,” Pradjoto mengatakan kepada Redaksi (4/2).
Selain distorsi politik dan hukum, Pradjoto juga melihat distorsi dari pengakuan eks pemilik Bank Century, Robert Tantular. Selisih nilai dana RPJP atau bailout(talangan) sebesar Rp 6,7 triliun (T) adalah different animal. Robert pernah mengutarakan bahwa permintaan dana bailout hanya Rp 1 T, tetapi yang digelontorkan Rp 6,7 T. “Itu hal yang berbeda. Satu triliun adalah likuiditas, penyertaan modal sementara dari LPS (lembaga penjamin simpanan). Karena pada saat itu, penghitungan surat berharga bank Century tidak boleh masuk rating A, tapi hanya bisa masuk rating bawah.”
Bank Century yang sudah berganti nama menjadi Bank Mutiara terus menjadi komoditas politik DPR RI. Sehingga kegaduhan proses politik mempengaruhi divestasi Bank Mutiara yang seharusnya selesai tahun ini. Politisasi kasus Century oleh Timwas DPR juga membuat harga bank Mutiara merosot.
Proses politik terus memberi warna (hitam) pada proses hukum dan teknis perbankan yang berlaku pada umumnya. Krisis keuangan sempat menghantui perbankan Indonesia termasuk Bank Century, merupakan awal dari kebijakanbailout. Pada saat itu, Century alami mismanagement sampai akhirnya masuk rating bawah. Mismanagement nyata, sehingga kredit macet menumpuk. Pemerintah tidak ada cara lain, kecuali mencadangkan aktiva produktif. “Kalau jumlah kredit 3 T, harus ditambah 3 T juga. Kalau nggak, solvency rate nya bisa goyah. Tapi Robert Tantular bicara hal yang berbeda di KPK. Dia bicara hal dan persoalan kalah kliring. Rp 6,7 T itu PMS (penyertaan modal sementara), itudifferent animal.”
Pradjoto melihat RPJP sebagai kebutuhan likuiditas pada saat krisis. Nilai bailout Rp 6,7 T adalah jumlah untuk suatu proses pemberesan akibat situasi intern bank Century yang terus memburuk. Surat-surat berharga yang memburuk, LC (letter of credit) ‘bodong’, kredit macet dan lain sebagainya terakumulasi dalam persoalanmismanagement Bank Century. “Jumlah RPJP adalah konteks yang sama sekali berbeda, tetapi ada yang menyatu-padukan. Ini tidak masuk akal dalam konteks perbankan. Lebih tidak masuk akal lagi, kalau (tuduhan) 6,7 T dibawa pake container. Bagaimana mungkin uang 6,7 T dibawa pake container. Uang tidak bergerak kemana-mana, agar Bank Century bisa masuk lagi ke BI (Bank Indonesia).”
Pradjoto mengibaratkan seorang nasabah Bank Century A mengeluarkan cek untuk pembayaran kepada B dengan bank yang berbeda. Tetapi ketika B mau ambil dana dari bank, ternyata uangnya tidak ada. Hal ini terjadi, karena Bank Century dimana A membuka rekening kalah kliring. “Tetapi A betul-betul punya uang dan setor ke Bank Century pada saat itu. Tapi karena Bank Century kalah kliring, akhirnya merah. A tetap ngotot kepada B bahwa dia sudah setor uang ke rekening B. Ini persoalan sederhana dari kalah kliring Bank Century, sehingga dana RPJP digelontorkan supaya tidak adarush.”
Bank Mutiara sekarang ini potensial dijual dengan harga pasar. Hal ini sudah sesuai danperintah dari Undang Undang. Masyarakat akan berpikir inilah kerugian negara yang muncul akibat penjualan bank tersebut. Tetapi inti utama dalam proses ini adalah biaya PMS yang besar tadi, itu sekarang menjadi merosot. Karena kalau dijual dengan harga PMS tersebut, berarti meminta price book value sangat tinggi. “Padahal jika dihitung price book value-nya tidak seperti itu,” lanjut Pradjoto.
Menurutnya, persoalan Bank Century itu mau diakui atau tidak, berakar dari persoalan-persoalan miss management di masa lampau. Kegaduhan penjualan Bank Mutiara bisa menjadi persoalan. Karena di setiap negara maju, komunitas dan aktivitas bisnis industry harus jauh dari kegaduhan politik. Bank tidak bisa bekerja di tengah suasana politik yang gaduh. Politisi tidak bisa bicara teknis perbankan. “Saya seperti saya yang gagap kalau bicara politik. Saya hanya bicara teknis perbankan.”
Muncul pertanyaan di tengah kegaduhan politik. Apakah orang yang melakukan atau menggali lubang di dalam miss-management di masa lalu itu sudah diproses secara benar? Mengapa semuanya harus dipertanggungjawabkan oleh orang yang mengambil kebijakan disaat krisis terjadi. “Ada keseimbangan bahwa aset-aset Century di masa lampau dirampas semuanya untuk menutupi kerugian 6,7 T. Namun, faktanya selama ini hal tersebut tidak dilakukan.”
Belum lama ini pemerintah membekukan aset pemilik Century di Hong Kong. Tetapi menurut Pradjoto, jumlah aset yang dibekukan jumlahnya tidak memadai dibanding dengan jumlah kebocoran-kebocoran yang terjadi sebelumnya. Sebaliknya dia menyarankan agar proses divestasi Bank Mutiara sebaiknya dilakukan dengan mekanisme konsolidasi.
“Konsolidiasi ini menurut saya dapat melibatkan bank-bank BUMN. Ini saya kira bisa dipertimbangkan. Itu juga yang diusulkan pak Faisal Basri (ekonom, politisi). Konsolidasi akan memperkokoh, akan streamlining (perampingan) jumlah bank. Bisa dengan BUMN, bisa bukan BUMN. Tetapi saya tidak bisa mengomentari mengenai kemungkinan (konsolidasi) BUMN, karena saya di BUMN juga. Saya khawatir, kalau komentar saya nanti bisa menimbulkan persepsi, bahwa saya ada kepentingan.”
jadi kesimpulan dr penjelasan pak prajoto, yg GOBLOK itu timwas century ya pak?? bukannya menuntaskan masalah ,malah bikin masalah..ahhh dasar KADAL..