13 Mei 1998 di Jl. Pangeran Tubagus Angke, Pesing Jakarta-Barat
Lokasi: Kompleks Pertokoan BNI’46.
Mendekati akhir tahun 1997 dan memasuki tahun 1998 keadaan perekonomian di Indonesia, khususnya Jakarta mengalami masa-masa kritisnya, di mana kurs rupiah terhadap dollar US semakin tidak stabil dan sudah berkisar sekitar 1US$ = Rp 10.000 dan mencapai puncaknya pada bulan-bulan berikutnya sesudah 13 Mei 1998 menjadi sekitar Rp. 16.000 di mana adik saya pernah membelinya dan saya sendiri membeli sebelumnya untuk membayar ticket pesawat ke Amrik dengan nilai Rp 15.000 June/July 1998.
Berhubung dengan itu usaha bisnis yang tergantung dari import, sudah sulit dijalankan. Bank-bank juga sudah mulai collapse dan pemerintahpun berusaha untuk meringankan beban penduduk yang pendapatannya di bawah standar minimum rata-rata. Dengan bantuan yang diberi nama sembako (sembilan bahan pokok).
Pada tanggal 12 Mei 1998 terjadi penembakan di Trisakti University, ketika diadakan demo oleh mahasiswanya terhadap kewibawaan pemerintahan Suharto yang di ujung tombak waktu itu. Beberapa mahasiswanya meninggal kena peluru tajam (siapa penembaknya?). Keesokan harinya 13 Mei 1998 kembali demo dan membakar pompa bensin seberang Trisakti Jl. Kyai Tapa dan massa berusaha bergerak kearah gedung MPR/Senayan.
Akan tetapi berhubung ketatnya dari pihak keamanan, balik kembali kearah Daan Mogot dan membelok ke kiri menuju kearah Pesing/Tangerang dan dimulailah aksi pengrusakan dan pembakaran dan penjarahan yang juga dimulai adanya perkosaan dan pembunuhan terhadap ras tertentu. Di jalan mulai tampak bangkai-bangkai kendaraan yang dibakar dan kadang-kadang apinya masih menyala. Ini saya melihat sendiri dalam perjalanan pulang ke rumah dari Bekasi menuju Jl. Pangeran Tubagus Angke.
Sampai November 2007 bekas-bekas pengrusakan dan pembakaran di beberapa tempat masih bisa dilihat pada gedung-gedung dan ruko-ruko, terutama di jalan Daan Mogot menuju Cengkareng di sebelah kanan sebelum halte Busway jika anda membelok ke kanan mau menuju ke Taman Palem Lestari dan juga di jalan Pintu Besar Selatan sederetan Hotel Metropole selewatnya Pasar Lindeteves.
Kaca-kaca jendela ruko di lantai 2 dan 3 hampir semuanya pecah dan batu-batu yang dipakai untuk melempar itu bukan didapat dari pinggir jalan/ruko,tapi memang sudah dipersiapkan dan dibawa dari tempat yang tertentu. Batu-batu itu jenis koral sebesar mangga golek/dermayu dan bersih-bersih di mana jenis-jenis ini tidak terdapat di pelataran ruko yang kebanyakan hanya jenis batu bata dan kotor bercampur pasir dan debu.
Pintu-pintu ruko itu tidak bisa dibongkar dengan tangan kosong harus dengan alat seperti linggis dan crawlbar, apalagi ruko saya dirantai dan digembok. Jadi alat-alat untuk itu sudah dipersiapkan semuanya dan mereka yang melakukan pendobrakan pertama/pembongkaran adalah yang merupakan motornya/penggeraknya.
Dan ketika penggerak kerusuhan mulai menggedor PUSKESMAS, salah seorang anggota hansip kami menegornya….”Pak, jangan Pak ini Puskesmas, banyak menolong orang susah yang sakit”……. eehhhh malah hansip kami yang bernama Yusup dikejar-kejar, untung ia segera menghilang, tapi malang pos hansipnya yang dibakar. Semua peralatan kedokteran digasak penjarah, termasuk gunting operasi dan ikan mas koki milik mantri yang di aquariumnya.
Si “motor penggerak” setelah berhasil dengan situasinya, apa yang direncanakannya, langsung mengadakan radio kontak dengan pihak komandonya, seperti kira-kira berbunyi situasi di lokasi setempat telah berhasil, dijalankan dan kini menuju lokasi berikutnya. Dan mereka menuju kearah Cengkareng, jika kebetulan anda-anda penggemar ORARI frekwensinya bisa anda tangkap saat itu kira-kira 13 Mei 1998 jam 21.00-22.00 WIB.
Setelah beberapa ruko yang terbakar, pihak pemadam yang memang bermarkas berdekatan dengan kelurahan tidak berani keluar untuk memadamkan, tapi berkat kesigapan beberapa tokoh pemuda setempat, kebakaran yang lebih besar dapat dihindari dengan membawa mobil pemadam ke lokasi kebakaran dan memadamkan kebakaran beberapa buah ruko.
Semenjak 13 Mei 1998 sampai pertengahan July 1998, penulis masih bolak balik mencari sisa-sisa apa saja yang masih bisa ditemukan dalam ruko kami yang sudah porak poranda dan kebetulan terdapat koleksi anak saya berupa perangko-perangko bekas dari seluruh dunia, satu buku album yang saya pikir, mungkin ada nilainya dan saya perlihatkan ke kawan saya yang memang hobbynya dan usahanya sebagai pilatelis di Petojo/Cideng Timur dan dari saat itu saya menjadi mengerti perangko itu baru ada nilainya dari satu jenis komplit berseri dan rupanya saya tidak ada yang begitu.
Ooh, Ibu seandainya saja, engkau datang dan menghibur kami, selama dua bulan antara Mei July 1998 sebelum kami hijrah, dengan kata-kata yang menghibur ooh, anakku janganlah kau pergi dan takut, Ibu akan menggantikan tempat kamu berteduh, akan Ibu lindungi dari ketakutanmu akan Ibu berikan pekerjaan supaya kamu bisa tetap hidup………
Aacchh Ibu, bermimpikah aku, siapakah aku ini, sehingga Ibu sangat memperhatikan kami, biarkanlah yang bisa kami bawa akan kami bawa yaitu hanya SEBUAH NAMA dan WARGA NEGARA INDONESIA dan janganlah Ibu menyusul dan mengejar kami untuk juga mengambil apa yang sisa pada kami, hanya sebuah nama dan warga negara Indonesia….
Wahai Ibu, masih adakah surga di telapak kakimu, wahai rumput yang bergoyang, bisakah kau menjawabnya?
Ke Djakarta akoe akan kembali, karena akoe tahu dan percaya SURGA TETAP BERADA DI TELAPAK KAKI IBOE