Taman Latuharhary Menteng masih menyempil rumah tua Thio Tjiong Tho
dilaporkan: Setiawan Liu
Jakarta, 14 November 2021/Indonesia Media – Jalan Taman Latuharhary, Menteng Jakarta Pusat dulunya dipenuhi oleh para pedagang anjing peliharaan ras mini seperti Pom, Chow Chow dan lain sebagainya. Taman Latuharhary juga berdekatan dengan kedutaan negara Korea Utara dan beberapa perumahan mewah milik pengusaha dan pejabat tinggi. Suasana Taman Latuharhary asri karena masih banyak pohon-pohon rindang memagari rumah mewah, bahkan rumah tua yang dibangun semasa pemerintahan kolonial Belanda. Di tengah suasana rindang, asri dan rumah mewah, tersempil ‘pemandangan’ yang kontras. Misalkan ada tukang cukur rambut yang hanya mengandalkan satu bangku dan kaca gantung. Bisa dibayangkan, kalau pelanggan sedang dicukur, tiba-tiba hujan datang. Tukang cukur hanya mengandalkan rindangnya pohon sehingga meneduhi pelanggannya. Selain ada juga warteg atau warung makan pinggir jalan bersandar menempel pada Jembatan Kuningan, Jakarta Selatan (Jaksel). Pejalan kaki, termasuk penumpang kereta yang turun dari stasiun Sudirman juga sering melewati Jl. Taman Latuharhary. Bahkan ada juga yang memotong jalan, menapaki anak tangga samping warteg untuk menuju ke arah Kuningan, Jaksel. Ternyata ada sempilan antara Taman Latuharhary dengan jembatan dengan konstruksi kokoh dan masif, terbentang antara Menteng – Kuningan. Sempilan tersebut, yakni sebuah rumah tua milik alm. Tio Tjiong Tho. Sekarang rumah tersebut ditempati anaknya, yakni Juzak Tio. Rumah tersebut masih menampakan khas rumah Belanda, terutama teras dan lampu tempel. Sehingga di bawah lampu tempel, masih terpatri nama Tio Tjiong Tho. Rumahnya bertetanggaan dengan rumah pengusaha keturunan Arab Indonesia, walaupun arsitekturnya sudah modern. “Waktu zaman Belanda, ini (Taman Latuharhary) masih berupa ‘bulakan’, terutama sepanjang jalan Kuningan. Orang-orang Belanda, terutama para anggota Gerakan Pramuka (Belanda) sering main bola di bulakan, (yakni) istilah orang Betawi yang artinya tanah kosong,” kata Juzak dengan berapi-api semangat.
Ia mengaku sebagai ‘Asnawi’ atau asli China Betawi, artinya orang Indonesia keturunan Tionghoa yang sudah lama menetap di Jakarta. Sebagai warga di komplek perumahan elit Menteng, ia mengaku sangat peduli untuk menjaga bangunan cagar budaya. Sehingga rumahnya yang tersempil di antara Taman Latuharhary dan Jembatan Kuningan masih belum tersentuh dengan modernisme. “Kalau teras depan rumah sudah jarang dimanfaatkan untuk duduk-duduk, karena banyak nyamuk. Rumput (di halaman depan rumah) juga harus terus dipotong supaya tidak jadi semak,” kata Bapak kelahiran tahun 1945.
Ia mengaku sering ngobrol dengan semua orang terutama yang mencintai gedung-gedung tua di Jakarta. Kendatipun beberapa rumah berarsitektur kolonial Belanda juga sudah banyak yang berubah menjadi bangunan modern. Baginya, kenangan masa kolonial Belanda tidak lepas dari kawasan elit Menteng terutama rumah-rumahnya. “Dulunya, orang-orang Belanda juga suka main layangan di bulakan Kuningan. Sekitar tahun 1950 an, para anggota Pramuka Belanda bikin ‘racikan’ dari pecahan kaca sampai menjadi gelasan layangan. Serbuk gelasannya tajam sehingga main layangannya seperti pertandingan,” kata Juzak.
Belanda keluar dari Indonesia tahun 1958, dan rumah-rumah mewahnya beralih tangan. Pada deretan ‘sempilan’ Taman dan Jembatan, ada empat rumah mewah peninggalan kolonial Belanda. Rumah yang di hook sudah berubah menjadi mess karyawan Bank Mandiri. Dulunya, rumah tersebut juga dimanfaatkan untuk operasional Bank Belanda, yakni De Javasche Bank. “Sejak Belanda keluar dari Indonesia, semua perusahaan diambil atau dinasionalisasi. Perusahaan minyak dan gas yang menjadi PT Pertamina (BUMN). Rumah tetangga saya (WNI keturunan Arab) sudah modern. Ada satu lagi yang di pojok (terhimpit Jembatan Kuningan) yang juga sudah nggak dihuni. Saya tetap mempertahankan kekhasan rumah tua peninggalan Belanda ini,” kata Juzak. (sl/IM)