Rumah semi permanen kayu, patchwork warga keturunan di Jl. Keadilan – Gang Cemara
dilaporkan: Setiawan Liu
Jakarta, 21 April 2022/Indonesia Media – Saat menyusuri jalan sempit, tidak rata dan gelap gulita pada malam hari, dari Jalan (Jl) Keadilan Raya menuju ke Gang Cemara atau sebaliknya, ada dua rumah yang menyempil yakni milik ketua RT dan seorang warga keturunan Tionghoa, Tjan Wi Tjan (63). Rumah ketua RT lebih kelihatan permanen dengan konstruksi beton. Sebaliknya, rumah Wi Tjan berkonstruksi semi permanen dengan kayu serta patchwork berbagai bahan plastik, bambu, kardus, kayu bekas dan lain sebagainya. Ketika ia masuk ke rumahnya, ada kayu papan yang menutupi selokan pas depan rumahnya. Sementara satu titik lampu dari aliran listrik rumah di belakangnya yang pintunya menghadap Jalan Keadilan. “(kayu papan) sudah reyot (hampir mau patah), kalau mau masuk rumah, saya agak melompat. Kalau tidak (melompat), bisa terjeblos. Kondisi sekarang, hujan terus, sudah pasti bocor,” kata Wi Tjan.
Dulunya ia tinggal bersama Ibu kandung dan kedua kakaknya. Tapi semuanya sudah meninggal, bahkan salah satu kakaknya meninggal pada tahun 1987, ketika berusia sekitar 30 tahun. Sementara Ibunya meninggal karena faktor usia. Selama bulan puasa, ia bangun lebih pagi untuk bantu kegiatan di warung Sragen di ujung Gang Cemara yang sempit tersebut. “Karena beberapa satpam (security) GCC apartment (Chandra Naya) sering sahur sekitar jam 4 pagi. Saya bantu ibu Sukinah (pemilik warung) untuk seduh kopi, bikin mie instan untuk satpam GCC yang mau berpuasa. Sekitar jam 7, saya pergi ke depan Gang Keadilan, untuk memarkir kendaraan yang lalu lalang. Tapi hanya (pengendara) mobil yang kasih duit, kalau motor tidak ada yang kasih,” kata Wi Tjan.
Ia mengaku, bekerja di warung Sragen sejak awal, tidak terlalu banyak berharap. Sehingga ‘bayaran’ yang ia terima hanya berupa ‘makan gratis’ dua kali sehari. Bekerja serabutan atau tidak terencana sudah pernah dilakukan, salah satunya menjaga orang yang meninggal. Karena pada saat itu, keluarga yang meninggal sudah sangat lelah untuk jaga malam di rumah duka Jelambar – Jabar Agung, Jl. Pangeran Tubagus Angke, Jakarta Barat. “Waktu saya diminta jaga malam (oleh keluarga yang meninggal), dibayar Rp 60.000/malam. Saya bersama dua orang lagi. Saya lihat (jualan) es jeruk, kopi, air mineral ternyata laku. Pengunjung rumah duka pesan kopi, es jeruk tanpa tawar menawar lagi. Sehingga saya punya keinginan untuk buka usaha warung kopi di Rumah Duka. Kalau kondisi seputar Glodok, warung sudah sangat banyak, saling bersaing. Seperti Warung Sragen, hampir setiap hari ada makanan sisa,” kata Wi Tjan. (sl/IM)