Selain menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/2015 tentang larangan impor pakaian bekas, saat ini pemerintah sedang menyiapkan peraturan presiden (perpres) agar pakaian bekas asal impor termasuk daftar yang dilarang diperdagangkan di dalam negeri.
Direktur Impor, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Thamrin Latuconsina menuturkan, latar berlakang dimasukkannya pakaian bekas dalam draft perpres tersebut lantaran pemerintah belum memiliki perangkat hukum yang mengatur perdagangan pakaian bekas di dalam negeri. “Di dalam draft perpres itu, pakaian bekas ikut masuk sebagai pelarangan. Mudah-mudahan akhir bulan Juli (perpres) sudah bisa ditandatangani. Sehingga, proses pelaksanaan terhadap pengawasan pakaian bekas ini simultan bisa dilaksanakan oleh K/L, karena memiliki payung hukum lebih baik,” ujar Thamrin, Jakarta, Senin (13/7/2015).
Thamrin menjelaskan, pemerintah perlu memiliki perangkat hukum untuk penegakan perdagangan pakaian bekas di dalam negeri. Pasalnya, dari kasus terakhir yang ditangani Pengadilan Negeri Surabaya, pemerintah dalam hal ini Bea Cukai kalah dalam sidang praperadilan.
Kasus perdagangan pakaian bekas dengan barang bukti 23 kontainer setara 5.100 bal tersebut akhirnya dimenangkan pemilik. Saat ini, pakaian bekas asal impor tersebut sudah dikembalikan ke pemiliknya.
Thamrin, mengatakan, hakim pengadilan mempertimbangkan fakta dan dasar hukum penangkapan barang dari Sulawesi Tenggara ke Jawa Timur. Menurut hakim, tidak ada dasar hukum yang kuat sehingga barang tersebut bisa disita. “Karena barang ini adalah barang yang dibeli (diperdagangkan) di dalam negeri. Ini menjadi persoalan karena walaupun importasi dilarang, perdagangan pakaian bekas di dalam negeri masih diperbolehkan,” jelas Thamrin.
Lebih lanjut dia bilang, perpres yang diharapkan segera terbit akhir Juli ini akan mencakup tiga hal, yaitu pelarangan, pembatasan, serta pengawasan terhadap barang impor. Perpres tidak secara spesifik menyebutkan sanksi yang bakal dikenakan terhadap pelanggarannya.
Kendati begitu, Thamrin menuturkan, ada unsur sanksi dari peraturan baru tersebut. “Tetapi dikembalikan ke perundang-undangan yang lebih tinggi. Kalau menyangkut kepabeanan ya pakai UU Kepabeanan, kalau terkait perdagangan ya payung hukumnya UU Perdagangan,” pungkas Thamrin.( Kps / IM )