Kesemrawutan data pemerintah masih terus terjadi dan sangat mrmprihatinkan karena menunjukkan tata kelola yang buruk dan tidak akuntabel. Kita ternyata masih sangat jauh dari kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab. Hal tersebut antara lain dibuktikan dengan makin terungkapnya kesemrawutan data yang di balik itu tercium aroma korupsi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri mengakui akurasi data pemerintah masih rendah. “Perihal akurasi data juga masih menjadi persoalan sampai saat ini, dampaknya ke mana-mana. Contohnya data bansos (bantuan sosial) tidak akurat, tumpang tindih, membuat penyaluran tidak cepat, lambat dan ada yang tidak tepat sasaran. Begitu juga data penyaluran bantuan pemerintah lainnya,” kata Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/5).
Banyak data pemerintah pusat dan daerah yang sering tidak sambung, kata Jokowi. Ini harus diperbaiki. BPKP diminta membantu peningkatan kualitas data yang dikelola pemerintah. BPKP diminta mengawal integrasi, sinkronisasi basis data antar-program untuk meningkatkan keandalan data.”Manfaatkan laboratorium data forensik dan data analitis yang dimiliki, BPKP kan punya ini gunakan, manfaatkan,” Presiden menegaskan.
Presiden menilai masih ada kesalahan-kesalahan yang terus diulang dari tahun ke tahun karena tidak mengikuti rekomendasi dari BPKP dan APIP. “Saya tekankan kepada bapak, ibu menteri, kepala lembaga, kepala daerah agar menindaklanjuti dengan serius rekomendasi dari BPKP dan APIP, jangan dibiarkan berlarut-larut, membesar dan dan akhirnya bisa menjadi masalah hukum,” tutur Presiden.
Publik pernah terkejut mendengar adanya data desa fiktif di beberapa daerah. Kasus tersebut sangat memprihatinkan karena terkait dengan pengucuran anggaran. Sayangnya, hingga hari ini tidak pernah dibuka duduk persoalannya, siapa yang harus bertanggungjawab atas munculnya desa-desa fiktif tersebut, berapa jumlahnya dan berapa kerugian negara yang diakibatkannya.
Yang paling mengegerka adalah kesemrawutan data penerima bantuan social karena terjadi duplikasi jutaan data penerima. Kasus ini sangat memalukan karena teradi di tengah pandemic, ketika pemerintah bermaksud menolong rakyat miskin, tapi pejabat pemerintah sendiri yang mengorupsinya. Nilainya pun bertrilyun-trilyun rupiah.
Belakangan ini muncul berita mengenai data pegawai pemerintah (PNS) fiktif. Jumlahnya sangat banyak, hampir satu juta. Ini sangat memprihatinkan karena “para PNS fiktif” tersebut bertahun-tahun menerma gaji dan berbagai tunjangan lainnya. Siapa penerima sebenarnya dan berapa banyak kerugian negara terkait maslah ini, hingga sekarang juga belum jelas.
Jadi kesemrawutan data itu karena penggelembungan yang dilakukan aparat pemerintah sendiri. Bukan mustahil masih banyak sector lain yang juga mengalami kesemrawutan data. Melihat pengalaman selama ini, nanti akan terbuka sendiri, yang ujung-ujungnya korupsi yang dirancang oleh aparatur korup yang tidak memiliki komitmen kebangsaan.
Lihat saja setiap kali pemerintah merancang kebutuhan bahan pangan pokok seperti beras, gula, bawang, garam, bahkan teri ikan asin. Selalu terjadi silang pendapat antara sejumlah kementrian. Argumentasinya hebat-hebat, tapi ujung-ujungnya hanya untuk menentukan berapa banyak pemerintah harus mengimpornya. Yang terakhir kasus impor beras dan gula, sampai teradi “perang terbuka” antar pejabat.
Rakyat mencatat hal-hal tersebut sangat memalukan. Rakyat mencium aroma korupsi yang menyengat. Impor kebutuhan pokok merupakan cara paling mudah bagi pemerintah untuk menutup “perhitungan” kelangkaan barang, tak peduli di dalam negeri sediang berlangsung panen. Itu cara paling mudah mengeruk fee yang dinikmati segelintir orang.
Karenanya kita pesimis BPKP akan mampu mengatsi kesemrawutan data tersebut. Masalah ini sudah kronis, yang timbul karena ego sektoral kementrian dan nafsu korupsi segelintir orang. Itu terjadi karena mentalitas korupsi masih mekar , yang terus berkembang karena korupsi belum dipandang sebagai musuh bersama. Karena penegakan hukum lemah dan mereka yang “bersih” justru dipinggirkan.
Syukur bila Presiden Jokowi menaruh perhatian untuk membereskan kesemrawutan data pemerintah karena masalah ini memang tidak bisa dibiarkan. Kerugiannya terlalu besar bagi bangsa dan negara ini. Bukan hanya kerugian anggaran, melainkan makin tergerusnya komitmen penyelenggara negara untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. (SH / IM )