Kemandirian bangsa juga segera terwujud di bidang ini: garam kesehatan dan garam minuman.
Selama ini kebutuhan garam untuk kesehatan 100 persen harus diimpor. Ini baru saya ketahui
ketika awal-awal menjabat menteri BUMN. Waktu itu saya bertanya kepada direksi PT Kimia
Farma, obat apa saja yang kita belum bisa buat. Jawabnya ternyata: semua belum bisa bikin.
Bahan baku obat kita semuanya masih harus diimpor. Memang beberapa obat sudah dibuat di
dalam negeri, termasuk obat lamivudin untuk HIV, tapi bahan bakunya impor. Demikian juga
obat-obat generik, semuanya menggunakan bahan baku dari luar negeri. Dengan semangat
kebangkitan industri dalam negeri, saya minta direksi Kimia Farma menyusun daftar obat apa
saja yang mungkin akan bisa kita buat bahan bakunya. Saya minta dimulai dari yang paling
mudah.
Ternyata, ada 12 obat yang mungkin bisa kita buat sendiri. Asal ahli-ahli dari perguruan tinggi
dan lembaga-lembaga riset bekerja sama dengan BUMN. Dari 12 jenis obat itu, ada yang bisa
diwujudkan dalam satu tahun, tapi ada juga yang baru akan terwujud dalam tiga atau empat
tahun. Tidak mengapa. Yang penting masing-masing ada road map untuk mewujudkannya. Maka,
mulailah kita buat road map untuk yang paling mudah mewujudkannya: garam kesehatan dan
garam minuman. Kita punya garam. Teknologi untuk mengubah garam biasa menjadi garam
kesehatan dan garam minuman juga tidak terlalu rumit. Bahkan, ternyata anak-anak bangsa
sendiri sudah berhasil menemukan caranya. Mereka adalah ahli-ahli yang masih muda (waktu
itu) dari BPPT: Imam Paryanto, Bambang Marwoto, Bambang Sriyanto, dan Wahono sebagai
koordinator.
Mereka melakukan penelitian di pusat garam Madura. Bekerja sama dengan PT Garam (Persero).
Mereka saya sebut “masih muda” (waktu itu) karena penelitian itu dilakukan 16 tahun yang
lalu. Hasilnya langsung mereka patenkan atas nama BPPT. Berdasar informasi tersebut, kami
mengundang pimpinan BPPT untuk membicarakannya. Bolehkah penemuan anak bangsa itu
diimplementasikan? “Itu yang sudah lama kami tunggu-tunggu,” ujar Dr Listyani Wijayanti,
deputi kepala BPPT yang memimpin tim BPPT ke BUMN. Ketika mengucapkan kata “sudah
lamaaaaa”, terasa bunyi huruf “a”-nya mungkin lebih dari 25 buah.
Mengapa selama ini hasil penelitian itu tidak diwujudkan agar kita tidak perlu impor garam
farmasi?” Tidak ada yang membuat keputusan,” ujar Dr Listyani yang alumnus Saitama
University Jepang. “Sudah dua buku laporan yang kami terbitkan, tapi ya hanya sampai buku
itu,” tambahnya. Hari itu rapat lantas tidak hanya membicarakan penemuan garam farmasi dan
minuman. Tapi melebar ke penemuan apa lagi yang sudah dihasilkan BPPT dan akan dihasilkan
lembaga tersebut. Dari situlah kami sepakati ada 12 penemuan bahan baku obat yang akan bisa
diproduksi di dalam negeri.
Khusus untuk garam farmasi, waktu itu kami sepakati harus terwujud paling lambat akhir 2014.
Tahun ini. Dirut Kimia Farma Rusdi Rosman menyanggupi. Juga menganggarkan investasi Rp
25 miliar pada 2014. Kimia Farma sangat mampu menyediakannya. Rasanya target itu akan
terpenuhi. Kalaupun meleset hanya dua-tiga bulan. Apalagi, hasil riset BPPT itu memang sudah
sangat detail. Badan POM sudah langsung memprosesnya dan mengizinkannya. Selasa lalu
penandatanganan kerja sama dua BUMN dilakukan di depan saya. PT Kimia Farma dan PT
Garam. Maka, Kimia Farma segera membangun pabrik bahan baku garam kesehatan itu.
Pabrik tersebut akan dibangun di Watudakon, Mojokerto, Jawa Timur. Di sebelah pabrik yodium
milik Kimia Farma. Di situ memang ada sumber yodium. Pembangunan pabrik garam farmasi
dan garam minuman ini bisa cepat karena tanahnya sudah siap, sudah matang, uangnya sudah
siap, dan pabriknya sederhana.
Kalau toh tidak bisa tepat akhir tahun ini, paling lambat awal tahun depan. Kita segera mandiri
untuk bahan baku garam farmasi dan minuman. Kita bisa stop impor 100 persen. “Bahkan,
kami merencanakan ekspor,” ujar Rusdi. Pabrik itu tahap pertamanya akan berkapasitas 3.000
ton, tapi dengan mudah bisa ditingkatkan menjadi 6.000 ton. Garam farmasi ini paling banyak
untuk cairan infus, oralit, dialisat (cairan untuk cuci darah bagi pasien gagal ginjal), dan banyak
lagi. Demikian juga untuk membuat sabun dan sampo, memerlukan garam farmasi. Betapa
luasnya kegunaannya. Kedelai edamame yang jadi makanan pembuka di restoran Jepang juga
menggunakan garam farmasi.
Pabrik infus dari Jepang seperti Otsuka sudah berminat membeli produksi Kimia Farma.
Demikian juga pabrik-pabrik minuman seperti Pocari Sweat dan Coca-Cola. Tahun depan, kalau
Anda lagi diinfus, jangan terus mengira bahan bakunya masih impor. Itu sudah dari Madura.
Tapi, lebih baik kalau Anda tetap sehat dan tidak memerlukan infus sama sekali. (Penulis adalah
Menteri BUMN RI/IM)