Paham radikalisme yang mengatasnamakan agama serta berujung pada terorisme tidak akan mati jika ideologi dan pemahaman itu tidak dicegah sedini mungkin. Diperlukan deradikalisasi secara terus menerus agar tak terpengaruh oleh ideologi semacam itu.
“Teroris itu kan suatu ideologi besar. Selama orang Indonesia beranggapan bahwa ISIS itu benar ya sampai seterusnya masih ada terorisme. Karena ideologis ISIS itu menginginkan terorisme,” ujar pengamat terorisme Ridlwan Habib kepada merdeka.com , Selasa (19/7).
Meskipun jaringan terorisnya sudah hancur tetapi ideologinya masih ada maka akan muncul jaringan yang baru. Maka dari itu menurutnya yang paling penting adalah deradikalisasi melalui ideologi dan pemahaman yang benar.
Sebelumnya, di Indonesia dan Asia Tenggara ada jaringan teroris bernama Jemaah Islamiyah (JI) dengan pentolannya yakni dua warga negara Malaysia Noordin M Top dan Dokter Azhari. Keduanya seringkali melakukan aksi teror di Indonesia, tapi keduanya kandas di tangan densus 88 Polri. Begitu juga dengan pelaku dan otak dari Bom Bali yakni Imam Samudra dan Amrozi yang kini sudah dieksekusi mati.
Tidak hanya itu jaringan Santoso di pedalaman Sulawesi Tengah. Operasi Tinombala berhasil menembak mati Santoso. Buronan sejak tahun 2011 ini diduga tewas bersama seorang anggota kelompoknya, sedangkan dua perempuan yang bersamanya melarikan diri.
Menurutnya Ridlwan, dengan tewasnya Santoso dia menyakini ancaman teror di dalam kota justru akan meningkat. Hal ini yang harus diwaspadai aparat.
“Ada retaliasi atau pembalasan dendam, ini harus jadi kewaspadaan aparat,” ujarnya.
Meski demikian, tidak semua jaringan teroris akan melawan. Ridlwan menduga beberapa sisa anggota kelompok Santoso di hutan Poso justru akan menyerah dan akan turun gunung.
“Ada dua tokoh selain Santoso yakni Basri dan Ali Kalora. Kalau yang tewas Santoso dan Ali, Basri akan turun gunung, “katanya.
Tewasnya Santoso akan menjadi pukulan telak bagi kelompok ini. “Selama ini mereka bertahan karena takut dengan Santoso,” bebernya.
Mabes Polri sendiri menyebut bahwa tongkat kepemimpinan Santoso akan beralih kepada Ali Kalora. Ali Kalora disebut-sebut saat ini memimpin 16 pasukan pecahan dari kelompok Santoso.
Kemunculan nama Ali Kalora dipertanyakan banyak pihak. Ali hanya akan dijadikan sosok agar ‘proyek’ pemberantasan teroris terus berjalan. Sehingga selalu akan ada musuh bagi aparat yang harus diberantas dan musuh itu bernama teroris.
Namun asumsi ini dibantah oleh mantan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai. Munculnya nama Ali, kata Ansyaad murni karena karakteristik dan jaringan pergerakan teroris memang seperti demikian, hilang dan muncul lagi sosok yang baru.
“Itu karakter teroris. Contoh Osama terus ISIS muncul ya seperti itulah,” tegas Ansyaad.
Menurut dia asumsi yang menyebut bahwa Ali adalah nama yang sengaja dibuat agar proyek perang terhadap teroris terus berjalan adalah pemikiran yang sesat. Indonesia, kata Ansyaad harus belajar dari negara-negara lain yang tengah memerangi terorisme.
“(Proyek) itu pikiran orang sakit. Jangan cari-cari, tolong kita ini sakit dengarnya. Satu negara beri dana untuk melindungi HAM perangi teroris, lalu ada dana yang lindungi teroris, ada gerakan bubarkan Densus 88. Pikiran seperti itu harus jauh, belajar dari negara lain,” kata dia. ( Mdk / IM )
Tidak pernah mati kalau tidak ditangani secara serius dan tidak di hukum mati habis semuanya