Pusat Studi Pramoedya Ananta Toer


Pramoedya Ananta Toer

Selama kekuasaan rezim Orba, pujangga besar Indonesia ini merupakan fenomena tersendiri, ia terus-menerus berkonfrontasi berhadapan langsung. Pramoedya (1925-2006) amat kenyang menjadi tapol. Ia pernah menjadi tahanan pada masa pendudukan tentara Belanda di Indonesia (1946-1949).Selanjutnya ia dijebloskan ke penjara oleh penguasa militer di masa kejayaan Nasution (1960) di antaranya dalam kasus buku Hoakiau di Indonesia.Ia menjadi salah satu korban pertama rezim militer Orba, disiksa dan mendekam di penjara Salemba, Nusakambangan dan pembuangan serta kerja rodi di Pulau Buru (1965-1979).

Setelah dibebaskan, ia menjadi penyandang ‘ET’ bersama ribuan kaum paria warga kelas dua. Dengan seluruh karyanya sejak 1945 sampai karya Pulau Buru, ia menjadi satu-satunya orang Indonesia yang berkali-kali dinominasikan sebagai peraih hadiah Nobel sastra.

Tentu saja rezim Orba tidak sayang terus-menerus pula mengerahkan upaya diplomatik dan operasi intelijennya untuk menggagalkan hal tersebut, agar sang rezim tidak dipermalukan, padahal tidak tahu malu. Sementara itu seluruh karya pujangga besar ini yang dilarang oleh Kejaksaan Agung belum pernah dicabut sampai saat ini. Akan tetapi larangan itu dewasa ini tidak digubris oleh seluruh peminat sastra dan pendukung akal sehat. Yang paling masuk akal ialah menjadikan buku-buku karyanya sebagai buku bacaan wajib untuk sekolah menengah maupun perguruan tinggi, sesuatu yang sudah berjalan berpuluh tahun di perguruan tinggi sastra di Kualalumpur.

Buku karangan Pram

Seorang anggota suatu milis dari New Zealand, beberapa hari setelah wafatnya Pak Pram menulis tentang gagasannya untuk mendirikan Monumen Pramoedya Ananta Toer (PAT). Saya bermimpi bukan sekedar monumen, tetapi juga museum, perpustakaan, bahkan suatu Pusat Studi Pramoedya atau Pramoedya Center. Suatu institusi dengan segala peralatannya tempat anak muda dan siapa saja dapat melakukan studi, pertemuan, diskusi, perdebatan, pentas, ceramah, pameran, seminar, pemutaran film dsb.Bukan saja tentang PAT dan karya-karyanya, tetapi tentang humaniora Indonesia khususnya, jangkauan seluruh perhatian dan intelektualitas sang pujangga.

Ini merupakan mimpi indah yang terbetik ketika pada 22 April 2006 saya

Pram

berkunjung ke rumah Pak Pram di Bojonggede, Bogor (beliau meninggal 30 April 2006). Saya menyaksikan kliping di perpustakaan beliau. Seperti kita ketahui sampai akhir hayatnya setiap hari Pak Pram melakukan pekerjaan kliping untuk menyusun buku Ensiklopedia Indonesia. Saya hampir yakin mimpi indah ini akan menjadi kenyataan di hari depan tidak jauh, ketika korupsi sudah hampir dihabisi.

Korupsi merupakan muka sebelah dari keping mata uang yang sama rezim penindas yang dilawan oleh Pak Pram dan karyanya. Yang saya maksudkan hari depan tak jauh itu tidak harus menunggu 100 tahun lagi.Nama para

Sebuah buku karangan Pram

jenderal pethak dan menteri pethak (yang menjadi bagian dari tindak penistaan terhadap PAT cs serta pemberangusan karyanya) akan segera disapu sejarah, akan tetapi nama PAT sebagai sastrawan besar, juga sejarawan, bahkan patut kita sebut pujangga besar Indonesia akan tercatat dalam sejarah untuk waktu panjang ke depan, betapapun sejumlah orang berupaya hendak mengecilkan namanya.Seperti disimpulkan Prof Dr Teeuw, pakar sastra dan bahasa Indonesia yang begitu banyak menjadi acuan sastra Indonesia, hanya ada satu Pramoedya pada abad 20.

Sebelum mimpi indah tersebut di atas terwujud tentu perlu langkah-langkah kecil terukur dari segi kemampuan intelektual dan fisik kita. Bukankah tembok Tiongkok pun dibangun mulai dengan satu bata. Kaum muda pemilik masa depan yang akan mewujudkannya.(IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *