PRESS BEBAS


Media Singapura sudah terbiasa menjadi sasaran serangan media Barat, terlebih pula dari media AS yang dengan bangga menamakan dirinya champion of free press. Masalah yang bersangkutan dengan chewing gum, toilet flushing hingga a fine city sering diambil sebagai bahan tertawa murahan yang tak habis habisnya. Semua kritikan ini dapat ditolelir oleh pemerintah setempat menganggapnya sebagai hiburan bagi media Barat yang kekurangan bahan memenuhi lembaran harian, tidak beda dengan comedian di late night tv talk show yang membuat kebiasaan menertawakan public figures, terutama politicians demi menaikan viewership. Biasanya yang diambil sebagai bahan tertawa adalah soal yang sudah banyak diketahui umum, lalu dijungkirbalikan, diberi bumbu humor ala Jay Leno, menjadi “laughing stock”, terbitlah bahan commercial yang sangat laku. Sebagian script writer telah berhasil meraih kekayaan dari profesinya melayani permintaan pasar lelucon.

Di AS segala berita, apalagi yang sensational, dengan menggunakan marketing yang rapih dapat menarik banyak perhatian. Inilah yang dinamakan commercialsation at its worst. Dibalik kondisi yang menampung terdapat faktor pasar, yakni entertaiment industry melayani permintaan masyarakat haus hiburan instant demi meredakan tekanan hidup sehari hari yang terasa semakin memberat berhubungan dengan dampak krisis ekonomi. Dampak negatif yang meluas sampai hari ini masih belum juga nampak adanya kemajuan signifikan, sekalipun ramainya slogan CHANGE yang dielu elukan oleh Obama pada campaign pemilu.

Sisi lain yang menjadi sasaran favorit target bagi media AS yalah tidak adanya kebebasan bicara, tidak ada kebebasan pess dan tidak ada kebebasan mengutarakan pendapat di Singapura. Dan lebih parah lagi tidak ada perlindungan HAM di negeri ini, terbukti dengan adanya capital punishment hukuman mati, dan hukum cambuk. Di Singapura tidak boleh sebarangan membuang sampah, tidak boleh mencoret graffiti di tempat umum. Tentunya sama sekali tidak ada demokrasi seperti yang didewa dewakan oleh media Barat. Tersebarnya siaran serupa memberi kesan bahwa masyarakat Singapura hidup dirundung ketakutan. Tidak berani berkutik, tidak berani bersuara, selalu menurut apa saja diterapkan oleh pemerintah berdasarkan negeri polisi.

Namun, kenyataan malah menunjukkan sebaliknya.

Para expatriate yang kerja dan berdiam di Singapura umumnya sangat puas dan ingin terus berdiam di negeri ini, kalau bisa selama mungkin. Demikian juga dengan para akademis yang didatangkan dari luar negeri. Di samping itu, warga Singapura sendiri perlu dianjurkan untuk keluar negeri demi menambah pengalaman dan meraih keberuntungan.Tanpa adanya anjuran dan dorongan, mereka umumnya tidak ingin keluar, karena sudah terbiasa hidup nyaman. Jadi, dimana adanya gejala bahwa kehidupan di negeri pulau kecil ini sangat merana seperti yang dilukiskan oleh press luar negeri?

Lain halnya jika  sistim judiciary mereka dikecam, pemerintah Singapura langsung bangkit mempertahankan intigritasnya yang selama ini dipegangteguh. “Tanpa intigritas judiciary, Singapura tidak akan bertahan sebagi sebuah negara hukum yang berwibawa,” berupa mantra pemerintah. Ini sebabnya ketika seorang warganegara Inggeris Alan Shadrake menulis buku “Once A Jolly Hangman: Singapore Justice On The Dock” penulis tersebut ditahan atas alasan criminal defamation dan pelecehan terhadap intigritas pengadilan. Kasusnya dibawa ke pengadilan, terbuka dan transparan bagi masyarakat umum termasuk press luar negeri.

Menanggapi kecaman yang bertubi tubi, K. Shanmugam, Minister for Law and Home Affairs ketika berada di Columbia University hadir di forum tahunan dengan tema A Free Press In A Global Society berbalik bertanya, “Apakah benar bahwa media di AS selalu tanpa ragu menyatakan kebenaran dengan polos? Bukankah apa yang diberitakan sebagai kebenaran, pada hakekatnya hanya berupa separuh kebenaran; sedangkan separuhnya lagi berupa bahan campaign bagi melayani kepentingan politik dan kepentingan yang mempunyai uang?” Ia selanjutnya menanggapi apa yang diberitakan oleh columnist Thomas Friedman dari New York Times, Carl Bernstein seorang senior dari Washington Post, dan George Stephanapoulos dari ABC,

“Bukankah pandangan yang mereka tonjolkan dalam commentary berupa satu contoh nyata bahwa berita telah dimandulkan menjadi bahan gossip, sebuah sensasi demi mengelakkan perhatian dari masalah yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat, dan menciptakan sebuah budaya kebodohan? Kredibal press Amerika telah demikian memburuk sehingga tidak lagi berfungsi sebagai penyumbang berita  yang dapat memberi pengertian mengenai masalah nasional. Jurnalis telah meninggalkan misi asalnya, menjadi sinis yang senantiasa mendramatiskan masalah.”

Shanmugam juga mengatakan, bahwa coverage media Barat dalam laporan mengenai China selalu dipusatkan pada isu HAM, namun sering kali berupa berita yang penuh dengan prejudice. Seharusnya para commentator lebih memperkenalkan kemajuan China yang luar biasa, terbukti telah mampu meningkatkan ratusan juta rakyatnya keluar dari kemiskinan dalam jangka waktu tiga puluh tahun. Dan coba mau mengerti masalah yang mereka hadapi, jangan hanya mengkritik dan mencela. (IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *