OPINI: MENCOBA BERPISAH DARI SRI MULYANI


Goenawan Mohamad, pada acara perpisahan dengan Sri Mulyani, Jakarta, 19 Mei 2010.

Goenawan Mohamad

Malam ini kita mencoba berpisah dari Sri Mulyani. Saya katakan “mencoba”. Sebab sering kali, dan terutama malam ini, kita menyadari: orang bisa hanya sebentar mengucapkan “hallo”, tapi tak pernah bisa cuma sebentar mengucapkan “selamat berpisah”.Mungkin karena kita tak tahu apa sebenarnya arti “berpisah”.

Terutama dalam hal Sri Mulyani. Kita mengerti, ia akan pergi ke Washington DC untuk sebuah jabatan baru di Bank Dunia; tapi itu tak berarti ia akan berpisah dari kita di tanah air. Tentu saja ia akan sibuk di sana, sebagaimana kita akan sibuk di sini. Tapi kita bisa yakin ia akan tak putus-putusnya memikirkan kita — bukan “kita” sebagai teman-temannya, tapi “kita” sebagai bagian dari “Indonesia.” Dan begitu pula sebaliknya: kita tak akan bisa melupakan dia.

Lagipula, “berpisah” mengandung kesedihan, sementara peristiwa ini tak seluruhnya sebuah kesedihan. Saya melihat Sri Mulyani menerima jabatannya yang baru ini dengan gembira. Mungkin lega. Satu hal yang bisa dimaklumi. Sebab sejak Oktober 2009, ia sudah jadi sasaran tembak. Berbulan-bulan ia jadi target dari premanisme politik . Yang saya maksud dengan “premanisme” di sini tak jauh berbeda dengan kebrutalan yang kita saksikan di jalan-jalan — sebuah metode yang dipakai oleh sebuah kekuatan untuk menguasai satu posisi.

Metode premanisme itu adalah metode tiga jurus, dalam tiga fase. Mula-mula gangguan terus menerus, yang makin lama makin meningkat. Mula-mula ancaman yang membayang dari gangguan itu. Fase berikutnya adalah sebuah tawaran untuk “berdamai” kepada pihak yang diganggu. Dan akhirnya, pada fase yang ketiga, tatkala pihak yang diganggu tak tahan lagi, akan ada imbalan yang dibayarkan agar gangguan itu berhenti. Juga akan ada janji bahwa pihak yang diganggu akan selanjutnya diproteksi.

Sudah tentu, antara sang penganggu dan sang protektor (yang kadang-kadang bersikap santun) ada kerja sama. Bahkan bukan mustahil sang protektor itulah yang menggerakkan para penggangu. Makin sengit gangguannya, makin besar yang dipertaruhkan — dan akan makin besar pula imbalan yang diminta dan didapat. Bila premanisme di jalanan akan menghasilkan imbalan uang atau protection money, imbalan dalam premanisme politik adalah naiknya posisi kekuasaan.

Demikianlah yang terjadi dengan kasus Bank Century. Imbalan yang harus

Sri Mulyani

diserahkan adalah mundurnya Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan. Segala cara dipakai, segala daya dibayar. Politisi Senayan tak henti-hentinya membentak dan menggedor-gedor. Melalui media yang dikuasai dengan baik, kampanye anti Sri Mulyani (dan Boediono) digencarkan. Demonstrasi-demonstrasi yang brisik dan agresif muncul. Sri Mulyani diboikot di sidang DPR, meskipun ia oleh pimpinan DPR diundang dengan resmi sebagai Menteri Keuangan. Boediono dikesankan akan dimakzulkan dari posisinya sebagai wakil presiden.

Akhirnya semua kita tahu: Sri Mulyani dipaksa berubah dari sebuah asset menjadi sebuah liability bagi Pemerintahan SBY. Ia tidak bisa bertahan lagi. Ia tidak dipertahankan lagi oleh Presiden, yang barangkali merasa bahwa pemerintahannya akan habis enersi karena direcoki terus menerus.

Akhirnya semua kita tahu, hanya beberapa jam setelah Sri Mulyani dinyatakan turun dari jabatannya, konstelasi politik berubah. Akhirnya semua kita tahu, apa dan siapa yang mendapatkan kekuasaan yang lebih besar setelah itu. Dan akirnya kita menyaksikan, pengrecokan dan kebrisikan yang berlangsung berbulan-bulan itu dengan segera berhenti. Medan politik sepi kembali. Stabilitas tampak terjamin. Presiden lega.

Saya kira, Sri Mulyani juga lega: kini ia terbebas dari posisi sebagai bulan-bulanan kampanye buruk. Seperti sudah saya katakan di atas, kita semua maklum jika ia merasa lega. Kita semua merasa ikut senang karena dua hal: pertama, kini ia mendapatkan “masa libur” dari sebuah pekerjaan berat — beban yang makin lama makin terasa seperti dipanggulnya sendirian. Kedua, karena ia meninggalkan jabatannya dengan tak meninggalkan cacat. Bahkan, seperti diucapkannya dalam kuliah umumnya tadi malam, ia merasa menang, dan ia berhasil. Ia merasa menang dan berhasil karena ia tetap “tak bisa didikte” hingga meninggalkan prinsip hidupnya, hati nuraninya, dan kehormatan dirinya.

Dalam hal itu, perpisahan malam ini merupakan penglepasan yang rela dan senang hati untuk seseorang yang kita sayangi. Tapi saya akan berbohong jika mengatakan, perpisahan ini bebas dari rasa risau. Kita risau bukan karena Sri Mulyani turun; kita risau karena merasakan bahwa sebuah harapan telah jadi oleng, terguncang — harapan untuk mempunyai Indonesia yang lebih bersih. Kita risau karena kita jadi ragu, masih mungkinkah tumbuhnya kehidupan politik yang adil dan tak curang di tanah air kita.

Mampukah kita membebaskan diri dari premanisme politik? Bisakah berkurang kekuatan uang di parlemen, hukum dan media dalam demokrasi kita? Sanggupkah kita membersihkan kehidupan bernegara kita dari jual-beli dukungan, jual-beli kedudukan, jual-beli keputusan — bagian yang paling gawat dalam koreng besar yang bernama “korupsi” itu?

Pemerintahan SBY-Boediono punya janji yang seharusnya dianggap suci — yakni membangun sebuah pemerintahan yang bersih, melalui reformasi birokrasi, melalui pembrantasan korupsi. Semula kita punya keyakinan besar, janji itu akan jadi sikap yang teguh, dan sikap itu akan jadi program, dan program itu konsisten dijalankan. Tapi kini saya tak bisa mengatakan bahwa keyakinan itu masih sekuat dulu.

Tentu saja kita masih bisa percaya, pemerintah ini tetap ingin melanjutkan usaha ke arah Indonesia yang bebas dari korupsi; namun persoalannya, masih mampukah dia?Tak perlu diulangi panjang-lebar lagi, Sri Mulyani dengan berani dan bersungguh-sungguh memulai reformasi birokrasi di tempatnya bekerja. Selama bertahun-tahun, kementerian keuangan — terutama di bagian pajak dan bea cukai — jadi tempat yang sangat korup. Dalam sejarah Indonesia, mungkin baru Sri Mulyani-lah menteri keuangan yang dengan tangguh mencoba membersihkan aparatnya — sebuah langkah awal dari sebuah kerja yang panjang, yang mungkin baru akan selesai satu dua generasi lagi.

Tapi kini pemerintahan SBY-Boediono telah kehilangan menteri keuangan yang tangguh itu.Tentu saja Sri Mulyani bisa digantikan. Tak seorang pun seharusnya dianggap indespensable. Pengganti Sri Mulyani tidak dengan sendirinya seorang yang lemah.Tetapi beban jadi bertambah berat. Untuk membuat rakyat kembali yakin bahwa pemerintah ini masih ingin membangun sebuah republik yang bersih, Presiden SBY harus melipat-gandakan ikhtiar. Pemerintahan ini akan kehilangan kepercayaan rakyat jika ia tak mampu mengusahakan, dengan serius, paling sedikit lima hal:

Pertama, lahirnya sebuah KPK yang kuat, bersih, dan mandiri. Kedua, berfungsinya Tim Anti-Mafia Pengadilan yang efektif. Ketiga, tumbuhnya kepercayaan masyarakat kepada aparat perpajakan dan bea cukai. Keempat, mulai bersihnya kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Kelima, berlakunya legislasi yang tidak kompromistis terhadap korupsi.

Tapi mungkinkah kelima hal itu dapat terlaksana sekarang?

Sri Mulyani (kiri)

Kini politisi Senayan semakin merasa kuat dan semakin angkuh; mereka telah berhasil membuat Presiden berkompromi dan menyudutkan Sri Mulyani hingga jadi beban politik bagi Pemerintah. Pada saat yang sama kita lihat juga bagaimana politisi Senayan — terutama para pencari dan penadah suap — mencoba membuat KPK lemah dan Tim Anti-Mafia Pengadilan tak bergigi. Premanisme politik yang menang memang tidak mudah dijinakkan.

Pada saat yang sama kita pun layak ragu, bisakah kabinet menjalankan kebijakan yang merugikan kepentingan bisnis — ketika, Abu Rizal Bakrie, tokoh bisnis, politik dan penguasa media itu, berada dalam posisi yang sangat kuat di dekat kabinet dan DPR sekaligus.

Kita juga patut waswas, bahwa parang yang akan membabat korupsi akan

Sri Mulyani dengan para wartawan

tumpul, jika tampak kesan, pemerintah hanya “tebang pilih” dalam kebijakan dan perundang-undangan. Parang itu akan majal, jika terasa ada perlakukan yang berbeda dalam tindakan anti korupsi dan manipulasi pajak.

Sesuatu yang serius akan terjadi, jika pemerintahan SBY-Boediono gagal menjawab rasa waswas dan keraguan tadi. Bukan, bukan kekalahan Partai Demokrat di tahun 2014 nanti, tapi hilangnya sebuah momentum. Yakni momentum gerakan nasional melawan korupsi — panggilan perjuangan terpenting dalam sejarah Indonesia sekarang.

Sekali momentum itu hilang, susah benar untuk mendapatkannya lagi. Sekali momentum itu hilang, kita akan hidup dengan korupsi yang tak habis-habis. Tentu, Indonesia tak akan segera runtuh. Bahkan negeri ini akan mungkin berjalan dengan pertumbuhan ekonomi yang lumayan, 6% atau 7%. Tapi, ketika gereget anti korupsi melemah, ada sesuatu yang agaknya tak bisa diperbaiki lagi — yakni terkikisnya “modal sosial”, runtuhnya sikap saling percaya dalam masyarakat.

Sri Mulyani (kiri)

Sebab yang dirampok oleh para koruptor dari masyarakat bukan cuma uang, tapi juga kepercayaan dan harapan. Korupsi yang kita alami tiap hari akan membuat kita selamanya curiga kepada orang lain yang berhubungan dengan kita dalam bisnis dan politik. Korupsi yang kita alami tiap hari akan membuat kita hidup dengan sinisme — dengan keyakinan bahwa semua orang dapat dibeli.

Sinisme ini racun. Terutama ketika sebuah republik harus bisa membangun kerja sama buat kepentingan umum — misalnya dalam mengatasi lingkungan hidup yang rusak. Terkikisnya “modal sosial” akan membuat sebuah negeri setengah lumpuh dan menyerah.

Tapi baiklah. Saya tak ingin membuat acara kita berpisah dari Sri Mulyani ini hanya diisi dengan deretan kecemasan. Kita tak mungkin membiarkan Indonesia lumpuh dan menyerah; kita tak ingin pelan-pelan bunuh diri. Sebab itu, kita harus sanggup menanamkan kembali harapan, kita harus mampu menangkal sinisme. Tanpa ilusi.

Sejarah Indonesia menunjukkan, ilusi itu mungkin bukan sesuatu yang menyesatkan. Harapan itu tak pernah padam. Kita memang sering kecewa; kita memang tahu sejak 1945 Indonesia dibangun oleh potongan-potongan pendek optimisme. Tapi sejak 1945 pula Indonesia selalu bangkit kembali. Bangsa ini selalu berangkat kerja kembali, mengangkut batu berat cita-cita itu lagi, biarpun berkali-kali tangan patah, tubuh jatuh, dan semangat guyah.

Setidaknya makin lama kita makin arif: kita memang tidak akan bisa mencapai apa yang kita cita-citakan secara penuh. Tapi kita tahu dan merasakan bahwa Indonesia adalah sebuah amanah — sebuah tugas takdir dan sejarah. Kita tak bisa melepaskan diri dari komitmen kita buat Indonesia. Selama kita ada.

Perpisahan kita dari Sri Mulyani malam ini justru merupakan penegasan komitmen itu. “Jangan berhenti mencintai Indonesia”, itulah kata-kata Sri Mulyani kepada jajaran pejabat kementerian keuangan yang harus ditinggalkannya, agar melanjutkan reformasi.

Pada titik ini baiklah kita ucapkan: kita akan melanjutkan reformasi itu, Ani. Jika malam ini kita ucapkan “selamat jalan”, kita sekaligus juga mengucapkan: “You shall return”. (IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *